Plus 01 – a story that makes him turn to his (world’s) dreamA Chapter by Aga ALana“Suatu hari nanti
aku akan menjadi detektif!” Aku sangat
bersemangat mengatakan hal bodoh itu pada seorang gadis yang kini tengah jalan
bersamaku. Namun ia hanya tersenyum, tak ada niat untuk mematahkan semangatku
atau pun mengejek keinginan kekanak-kanakanku. Ia menatapku lama. “Apa
kau meragukanku?” tanyaku berpikir negatif. “Tidak, tidak. Aku
tahu, dari dulu kamu memang terobsesi akan hal itu. Menurutku, itu cita-cita
yang keren!” “Benarkah?” “Hm! Makanya, dari
sekarang kamu harus belajar dengan giat! Jangan bolos lagi, ya, Jun.” Karena semangatnya
itulah aku semakin bersemangat dalam belajar dan menghentikan
kenakalan-kenakalanku di sekolah. Yang biasanya sering bolos saat jam pelajaran
tertentu atau pun cabut, tak mendengarkan pelajaran yang diterangkan guru, kini
mulai menghentikan segala hal buruk itu dan mengerjakan PR tanpa menyontoh PR
milik Mai. Ya, gadis yang kini
sangat dekat denganku, namanya Nakashima Mai. Aku mengenalnya sejak kelas satu
sekolah menengah pertama. Kami sekelas, tapi dulu kami tak begitu akrab. Namun
semenjak kami tahu bahwa orangtua kami berteman telah lama, kami sering bertemu
dan semakin akrab. Mungkin jodoh, atau
perjodohan antara kami oleh kedua orangtua, bagiku tak masalah karena semenjak
itu aku mulai menyukai gadis itu. Dia baik, gadis yang
ceria. Tak ada yang tak kusuka darinya. Bagiku, dia sempurna untuk seorang gadis
idaman. Aku tak memandang parasnya, tapi memang ia sangat cantik apalagi
semenjak kami sekolah menengah akhir. Jujur, ada perasaan cemburu saat ia
berbincang akrab dengan laki-laki lain. Sengaja bagiku
untuk mampir sebentar di pantai setelah pulang sekolah bersama Mai. Ya, tentu
saja agar banyak waktu untuk kita berduaan. Membelikannya es krim sambil
berjalan menulusuri tepi pantai. Banyak yang salah menyangka bahwa kami telah
berpacaran, walau kini tidak tapi kuharap suatu saat nanti itu benar. Walau demikian, aku
sama sekali tak tahu perasaannya padaku. Ia selalu tersenyum dan bersikap baik
padaku, itulah yang membuatku salah sangka akan pengertiannya padaku. Namun,
belum ada keberanian akan mengutarakan perasaanku padanya. Bukan berarti aku
laki-laki yang payah, tapi belum ada waktu yang tepat. “Lalu kamu
bagaimana?” tanyaku. “Hm? Maksudnya?” “Masa depan. Di masa depan nanti kamu mau jadi apa?” tanyaku kembali. “Oh,” ia tertawa.
“Aku, ya? Hm, apa ya? Mungkin dokter.” “Mungkin? Kenapa
jawabanmu ragu?” heranku. “Haha... mungkin
karena aku masih bingung.” “Lalu kenapa kamu
terpikirkan untuk jadi dokter?” tanyaku bingung. “Hm, kenapa, ya?
Mungkin karena cocok saja.” “Cocok? Dari mana?” bingungku. “Kamu ‘kan akan
jadi detektif, profesi itu menurutku agak berbahaya. Jadi, kalau kamu
terluka aku bisa mengobatimu.” Kaget, bingung. Aku belum mengerti
maksud perkataannya. Namun yang jelas kulihat ia tersipu saat mengatakan itu.
Mai tertunduk dan mengarahkan pandangannya ke lautan yang luas, ia tak akan melihat
pipiku yang merah karena perkataannya. “Ma, kalau begitu... mari berusaha
bersama-sama,” kataku dengan malu-malu. Mai menatapku
dengan penuh semangat. “Hm!”
Setelah lulus, aku
mendaftarkan diri pada sekolah kepolisian. Ya, yang aku tuju adalah menjadi
detektif kepolisian. Aku lulus dengan nilai yang sempurna, semua berkat hasil
belajar kerasku. Saat kuberi tahu tentang penerimaanku di sekolah ini pada
ibuku "ayahku telah meninggal saat umurku dua belas tahun jadi tinggal ibuku
yang membesarkanku, beliau sangat senang dan mendukung pilihanku ini. Dan Mai, ia lulus
di fakultas kedokteran di salah satu universitas yang ada di Tokyo. Setelah
sibuk dengan study kami
masing-masing, kami jarang bertemu maupun berkomunikasi. Hingga suatu hari
aku tak sengaja terlibat dalam sebuah kasus penangkapan bandar narkoba di
angkatan pertamaku ini. Tentu saja membuat pimpinan kepolisian marah akan hal
itu, tapi karena aku sudah terlibat dan aku tak bisa kembali, malah atasan
memerintahkanku untuk ikut menyelesaikan kasus tersebut. Tentu saja
kumanfaatkan momen itu untuk menunjukkan bakatku. Siapa tahu aku bisa lulus
cepat dan langsung diterima oleh mereka tahun depan? Aku dan beberapa polisi
lain yang beroperasi pada kasus itu berhasil menangkap para penjahat dan membawanya
dengan mobil polisi. Namun, saat kasus telah
terselesaikan, salah satu penjahat yang berhasil kabur! Aku dan dua polisi
lainnya mengejarnya hingga ke jalanan umum. Kami harus hati-hati berlari,
meminta para warga sipil untuk memberi kami jalan agar kami berhasil mengejar
si bandar narkoba yang lolos itu. Tapi si penjahat itu memanfaatkan salah
seorang warga yang tak sengaja lewat dan menyandranya. Ia seorang gadis! Ia
sangat kaget dan ketakutan. Aku sendiri lebih terkejut saat tahu kalau
gadis itu ialah Mai! Dilihat dari penampilannya, sepertinya Mai baru dari
kampusnya. Mai kaget dan menatapku, ia meminta pertolongan dariku. Tentu saja aku
langsung bertindak saat Mai disekap oleh penjahat itu. Tapi aku tak bisa diam
karena ia menawan gadis yang kusuka. Walau ceroboh tapi aku berhasil memisahkan
Mai dari penjahat itu. Dan dua polisi yang lainnya langsung menangkap si
penjahat. Tapi kejadian itu begitu cepat. Saat aku berhasil membawa Mai menjauh
dari penjahat dan si penjahat ditangkap oleh dua polisi seniorku, aku dan Mai
tak menyadari adanya truk yang berjalan ke arah kami. Dan menabrak kami
berdua. . .
Aku tak mengingat
apapun. Tapi aku yakin untuk beberapa saat aku telah kehilangan kesadaran. Aku
terbangun di sebuah ranjang, sebuah ruangan yang asing. Bukan rumah sakit
ataupun kamar apartemenku. Dimana? Aku ada dimana? Ada sebuah gerakan
di sisi kananku. Aku terkejut saat melihat Mai terbaring disampingku. Ia masih
tertidur. Kulihat wajahnya begitu indah tanpa ekspresi apapun. Aku semakin
menatap seluruh tubuh gadis itu, wajah, rambut yang sedikit acakan, kulit
tangan hingga kaki, kancing baju paling atas yang terbuka hingga terlihat
sedikit apa yang ada di dalamnya. Saat aku sadar, wajahku telah memerah dan
secepatnya aku mengalihkan pandanganku. Hampir saja aku memiliki pikiran kotor
terhadap Mai. Sangat rendah! Aku kembali
terpikir, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Kulihat Mai kembali, dan
sekeliling kamar, benar-benar aneh. Tak mungkin, bukan, aku menyewa sebuah
kamar hotel untuk tidur berdua dengan Mai? Aku yakin Mai pun tak akan setuju
dengan ide itu. Aku mengingat-ingat lagi, terakhir kali yang terjadi denganku.
Dan kenapa Mai ada disini bersamaku? Terlintas sebuah
truk . . . kuingat lebih keras lagi, semakin menyakitkan otakku. Kulihat Mai. .
. . . aku mengenggam tangannya. . . . . truk. . . . . cahaya dari truk. . . .
bukan! “TIDAAAK!!” Aku terperanjat
saat Mai terbangun dengan teriakannya. Setelah itu, Mai bereaksi sama seperti
aku pertama kali bangun. Ia melihat dirinya, baju yang ia kenakan, kasur yang
agak berantakan dan terakhir pandangannya padaku. Aku tersenyum lega padanya.
Ia kembali memandangku sebelum ia menjauh. “Jun!” “Tunggu, Mai! Aku
juga tidak mengerti kenapa kita ada disini,” jelasku. Aku takut Mai salah paham
terhadapku. “Bagaimana dengan
truknya?” tanyanya kemudian. Aku terkejut,
kenapa Mai lebih mudah mengingat kejadian sebelumnya daripada aku yang terjaga
lebih cepat darinya. Aku menggeleng, kulihat kedua tanganku, meraba tubuhku
sendiri lalu mencubit pipiku, terasa sakit? Mai juga mencubit
pipinya. “Aku pikir... aku pikir kita sudah ma""” Kututup mulutnya
dengan telunjuk. Aku tak mau mendengar kata akhirnya. Mana mungkin aku rela
menyetujui keadaan kita sekarang. Aku tak ingin mati begitu saja! Tidak sebelum
aku menyatakan perasaanku pada gadis yang tepat di depanku, tidak sebelum aku
menjadi detektif terkenal di Jepang. Dan tidak juga sebelum membahagiakan ibuku
yang ada di rumah. Mai melepaskan
tanganku dari bibirnya. Dengan isengnya ia mencubit pipiku hingga aku
mengatakan aduh padanya. Ia
tersenyum. “Ini membuktikan kalau kita masih hidup,” katanya lega. Aku menatapnya
lebih dalam. Syukurlah kalau memang begitu, pikirku. Kuambil tangan yang
mencubit pipiku, dengan respon kukecup dan meletakkannya di dadaku. Kepalaku
tertunduk, tak berani memperlihatkan wajah kemerahan di hadapannya. Dan juga
sedikit agak berat yang ada dalam benakku. Aku hampir berpikir, jika benar kita
berdua telah meninggal, setidaknya Tuhan telah menyatukan kita di kehidupan kedua ini. Apapun itu yang
sekarang ini, di tempat yang tak kami ketahui, aku merasa senang jika berdua
dengannya. Tak akan ada yang memisahkan kita, bukan? Bahkan Tuhan menghargai
perasaanku dan memberiku kesempatan hidup bersamanya. “Jun,” panggil Mai
lembut. “Kau kenapa? Apa terasa sakit disini?” tangannya sedikit meninju
dadaku. Aku menggeleng. “Lalu?” ia seakan tak mengerti dengan jalan pikiranku.
Ayolah, Mai, coba mengikuti alur cerita yang terekam dalam pikiranku. Untuk sesaat kami
tak bicara apapun dengan aku yang masih memegang tangannya. Aku rasa peganganku
semakin erat, dan Mai seakan membiarkannya seperti itu. “Kita harus
memastikan apa yang ada diluar, Jun,” katanya kemudian. Barulah aku menegakkan
kepala dan menatapnya. Senyumnya seakan memberiku sebuah kekuatan untuk
menyadarkan diri. “Kita harus tahu kita ada dimana,” tambahnya. Aku mengangguk
setuju. Kami hampir akan turun dari ranjang sebelum kami terpekik oleh sesosok
anak perempuan di hadapan kami. Awalnya ia tanpa ekspresi, namun kemudian ia
menunjukkan senyumnya. Dan itu membuatnya terlihat sangat lucu. “Perkenalkan,
namaku Kana. Aku pengawas dunia ini
yang datang untuk menyapa kalian berdua. Selamat datang di Dunia Perantara,
Makoto Jun, Nakashima Mai.” Kami terdiam untuk
beberapa saat, menyerap maksud dari perkataan anak perempuan ini. Kukira ia
terlihat seperti anak perempuan berumur tiga belas sampai lima belas tahun,
dengan rambut panjang pirang keabuan sepinggang. Kulit putih yang bersinar dan
gaun putih yang dipakainya, bagiku ia terlihat seperti malaikat kecil. “Dunia Perantara?
Maksudmu?” tanyaku heran. “Aku tak akan bosan
dengan pertanyaan itu. Dan aku tak akan bosan untuk menjawabnya, karena aku tak
terprogram memiliki sifat manusia. Baiklah, aku akan menjelaskan tentang dunia
ini. Dunia Perantara merupakan kesempatan kehidupan yang diberikan oleh setiap
jiwa yang belum bisa kembali ke dunia yang sebenarnya ataupun kembali ke Sang
Pencipta.” Kami tak percaya
mendengarnya. “Jadi maksudmu, kami berdua diambang antara hidup dan mati?!”
kataku shok. “Iya,” jawabnya
singkat. “Tidak mungkin,”
kata Mai lemas. Aku langsung menangkap punggungnya yang hampir pingsan. “Masih
banyak yang ingin aku lakukan, kenapa... kenapa bisa seperti ini!” “Tenanglah, Mai,”
bujukku. Tapi aku setuju dengan pernyataannya. Masih banyak hal yang ingin aku
lakukan. “Karena kalian
masih muda, jiwa yang bebas, karena itulah Tuhan memberi kalian kesempatan
kehidupan di dunia ini. Jika kalian bisa menjalani kehidupan kalian disini,
mempertimbangkan untuk hidup atau merelakan hidup, kami akan mempertimbangkan
keinginan kalian apapun itu. Sebagai balasannya, di dunia ini kalian bebas
memilih pekerjaan apa yang ingin kalian lakukan jika kalian kembali ke dunia
yang sesungguhnya.”
Karena tawaran dari
Kana, kami menjalani kehidupan kami di Dunia Perantara ini. Aku tentu saja
memilih menjadi detektif kepolisian dan Mai sebagai dokter. Dan yang anehnya,
dunia ini memiliki kehidupan yang hampir sama dengan dunia yang sesungguhnya,
yang berbeda ialah disini lebih banyak remaja daripada orang dewasa. Inikah yang disebut
kesempatan hidup yang kedua?
Namun semakin lama,
aku semakin menyukai pekerjaanku di dunia ini. Aku menjadi detektif kepolisian
muda yang terkenal, hingga membuatku lupa bahwa seharusnya aku tak ada di dunia
ini, melupakan tujuan hidupku di dunia sana dan semakin melupakan tujuan
hidupku di dunia sana. Mungkin karena aku
hidup berdua dengan Mai, di dunia ini, di apartemen kecil kami. Namun begitu,
kami tak tidur bersama. Aku masih berpikir Mai masih belum siap untuk hal itu,
melakukan hubungan yang lebih dalam padaku. Aku menerima saja, karena aku tak
mau melukai perasaannya. Semakin lama hubungan kami semakin akrab dan aku
berhasil menyatakan perasaanku terhadapnya. Hingga ia mulai
bosan dengan kehidupan kami di dunia ini.
Ia mulai memaksa keinginannya untuk kembali ke dunia kami yang sebenarnya. Tapi
Kana tak lagi memperlihatkan sosoknya sejak saat pertama kali ia hadir di
hadapan kami. Setiap malam Mai menangis, ia merindukan kedua orangtuanya "ya,
aku juga, ia ingin melanjutkan studinya sebagai mahasiswa kedokteran, ia juga
merindukan teman-temannya. Pada akhirnya Kana
muncul di hadapan Mai. Ia akan mengabulkan permintaannya. Mai merasa sangat
senang. Tapi..... “Kamu akan kembali
ke dunia sesungguhnya. Sendirian,” jawab Kana. “Eh? Lalu,
bagaimana dengan Jun?” kaget Mai. Aku yang baru saja
sampai di apartemen setelah dari kantor kepolisian terkejut dengan kehadiran
Kana dan mendengar percakapan mereka. Mai menatapku yang ada di depan pintu.
Kana menatapku tanpa ekspresi. “Iya, bagaimana
denganku?” desakku tak mempercayai hal itu. “Bagaimana? Kamu
sendiri terlihat sangat menyukai dunia ini. Aku bahkan tak merasakan kamu ingin
kembali ke duniamu, Jun.” “Bohong! Mana
mungkin Jun berpikir seperti itu!” nada kesal Mai mulai menggema di telingaku. Aku shok mendengar
pernyataan Kana. Aku mengakuinya. Kutatap mata Mai yang berkaca-kaca, ia
menahan air matanya. “Katakan padaku, Jun, kamu juga ingin kembali ke dunia
kita, bukan? Melanjutkan hidup kita yang sesungguhnya.” Aku tak tahu,
kenapa aku mulai menyukai dunia ini walau tak sebenarnya. Tapi aku merasa
seakan lebih hidup disini. Terlebih aku memiliki Mai disini. Aku tak mau
melepaskan Mai begitu saja, tak ada jaminan bagi kami bisa mengingat apa-apa
saja yang telah terjadi di dunia ini jika kita kembali. Apa di dunia yang
sebenarnya aku akan tetap memilikinya atau hal sebaliknya yang tidak aku
inginkan. “Aku akan datang
besok. Hingga saat itu tiba, tetapkan pilihan kalian.” “Tunggu sebentar,
Kana!” “Apa?” Aku menahan Kana
yang hampir saja menghilang dari hadapan kami. Ada satu hal yang ingin aku
pastikan. “Apa.... seandainya kita kembali ke dunia nyata, dunia kami yang
sebenarnya, apa kita akan mengingat apa yang telah terjadi di dunia ini?” “Jika hal itu
terjadi, akan menyebabkan kontaminasi pada memori kalian. Tentu saja itu tak
akan terjadi.” Jawaban Kana
membuatku lemas hingga aku harus bersandar pada rangka pintu. “Jika tak ada lagi
yang ingin kalian katakan, aku permisi pergi.” Lalu dengan cepat
Kana menghilang. Mai mendekatiku,
meraba pundakku dengan lembut. “Ada apa, Jun? Kenapa kamu tak senang dengan
kesempatan yang diberikan Kana? Kita harus segera keluar dari dunia ini, sudah
seharusnya kita melanjutkan kehidupan kita yang sesungguhnya.” “Aku tahu, Mai, aku
tahu. Tapi.... tidakkah kamu mendengar jawaban Kana?” “Yang mana?” “Tak ada jaminan
kita akan mengingat apa yang terjadi dengan kita disini. Apa yang telah kita
lalui bersama, Mai. Aku... aku....” “Apa?” “Aku tak bisa
kehilanganmu begitu saja,” jawabku dengan mata sembab. “Kau bodoh, ya?
Disini kita tak akan bisa saling memiliki. Dunia ini hanyalah permainan
perasaan kita, ujian bagi kita memilih. Dunia kita memanglah sangat sulit, Jun,
tapi itulah kehidupan. Aku tak mau menjadi dokter secara instan seperti ini.” “Tapi aku sangat
menyukai pekerjaanku disini!” “Ini bukanlah
kenyataan, Jun! Buka matamu!” “Mimpi pun bagiku
tak apa asal kau selalu ada di sisiku, Mai.” “Jun.... aku... aku
mengerti perasaanmu tapi aku, aku ingin kita kembali, kita akan kembali
melanjutkan kehidupan kita. Kita akan mulai semuanya dari awal.” “Dari awal? Apa aku
bisa?” “Pastinya,” “Benarkah? Dengan
kamu yang selalu sibuk dengan studimu, aku sibuk dengan studiku? Setiap aku
ingin mengajakmu berkencan dan setiap kalinya kau menolaknya? Aku sudah
memendam perasaan ini, Mai! Jika kita ulang dari awal, bagimu mungkin sebuah
permulaan, tapi bagiku yang menantinya sudah begitu panjang.” Mai terdiam dengan
perkataanku yang sangat berani mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku. “Apa ada seseorang
yang lebih baik dariku, Mai? Disana? Yang membuat perhatianmu teralih padanya?” Aku mulai
mencurigai Mai. Dan ia hanya terdiam tanpa membantah. Jika ia benar-benar
menyukaiku, ia pasti akan membantah perkataanku. “Jun, dengar! Itu
bukan urusan kita saat ini. Yang terpenting ialah kita harus kembali ke dunia
kita. Aku yakin orangtua kita pasti cemas menantikan kita siuman dari
kecelakaan saat itu. Aku mohon, Jun, jika kamu menyayangiku, kamu akan mengerti
perasaanku. Kita akan kembali bersama-sama, bukan?” Perasaanku begitu
berkecamuk. Begitu kesal, dan tak menentu. Walau disini pun ternyata Mai
benar-benar tak menyukaiku. Apa ia hanya melihatku sebagai teman masa kecil?
Tidak bisakah lebih dari itu? Aku menepis sentuhannya. Kututup pintu dan
berjalan ke kamar. “Lakukan apapun
yang kau suka, Mai. Aku sudah tak peduli lagi.” “Jun! Maksudmu
apa?” Mai menahan pintu
kamar yang ingin kututup. Tanpa memandangnya, aku menghindari pandangan dari
matanya. “Pergilah. Aku akan menetap, karena... aku lebih hidup disini.” “Apa? Jangan egois
seperti itu, Jun!” Kututup pintu kamar. “JUN!!” Aku tak mengacuhkan suara Mai
yang memanggil namaku. Ya, benar... Karena keegoisanku,
untuk kedua kalinya aku kehilangan orang yang aku cintai. Dan karena
keegoisanku, aku melanjutkan kehidupanku yang fana, tak peduli lagi dunia ini
akan membuatku bagaimana pada akhirnya. Rasanya matipun tak apa..... Setidaknya
aku telah bahagia.
Hingga aku
menyadari kesepian yang membuatku menangis sepanjang malam. Sudah berapa lama
waktuku kuhabiskan di dunia ini, aku tak tahu dunia nyata sudah berapa lama
tubuhku tertidur, apa Mai akan menjenguk tubuh itu? Apa perasannya tumbuh
tentangku atau hanya merasa simpati? Sesekali aku malah bermimpi ibu yang
menangis di samping tubuhku yang terbaring dengan alat bantu pernapasan dan
selang yang terhubung ke tanganku. “Kana... aku ingin
kembali ke duniaku yang sesungguhnya,” kataku lemah. Aku memohon pada Tuhan
untuk membawa Kana ke hadapanku. “Aku yakin suatu
hari nanti kamu akan meminta hal itu, Jun. Tapi...” “Tapi apa?” “Ada syarat yang
harus kamu penuhi.” “Apa?” “Akhirilah
pekerjaanmu disini dengan baik. Ada sebuah kasus yang tak seharusnya terjadi di
dunia ini, Jun. Dan itu diluar dugaanku. Ada kontaminasi yang tak aku pahami.” “Apa itu?” tanyaku
penasaran.
Lalu aku diberi
tugas untuk menyelamatkan memori seorang gadis dengan ia dibiarkan seolah ia
diculik di dunia ini dan aku akan menyelamatkannya. Dan yang paling membuatku
terkejut, seorang gadis lain muncul di hadapanku, ia bukan terjebak si dunia
ini seperti diriku, ia tak sengaja dibawa Kana untukku, entah kenapa. Lalu aku
berpura-pura memperkenalkan diriku padanya sebagai kekasihnya, dan memberinya
nama sama seperti gadis yang aku sukai. Dan aku terlalu memaksakan diri agar ia
sama persis dengan Mai. Terlalu memaksakan diri untuk tetap ceria seperti tak
ada apapun yang terjadi sebelumnya, hal yang membuatku selalu sedih. Namun, aku
sangat berterimakasih pada Kana, gadis yang ia bawakan padaku semakin lama
mengikis kesepianku, ia selalu menghangatkan hatiku, walau pertemuan kita
sangat singkat, bahkan aku tak merasakan waktu begitu cepat dan harus
membawanya kembali pulang. “Kana...” “Apa?” “Aku ingin bertemu
dengan gadis itu lagi di dunia yang sesungguhnya.” Untuk terakhir
kalinya Kana memperlihatkan senyum indahnya membuat perasaanku lega. © 2015 Aga ALana |
Stats
292 Views
Added on March 12, 2015 Last Updated on March 12, 2015 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|