a Guitar GirlA Story by Aga ALanaRasanya, aku bisa mendengarkan setiap alunan melodi perasaannya yang ia ciptakan lewat petikan gitarnya. Entah dari mana perasaan itu terus meluap dan ingin memeluk erat tangannya lalu mengatakan semua akan baik-baik saja atau aku akan selalu di sisimu, kedengarannya sangat romantis. Tapi itu hanyalah
hayalan belaka. Hidupku bukanlah drama percintaan yang ada dalam televisi. Yang
dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu pada seorang gadis, dengan gaya cool, mengulurkan tangan dan saling
memandang satu sama lain. Tidak mungkin! Lelaki seperti aku dengan gaya biasa-biasa
saja dan tak ada yang bisa kubanggakan dalam diriku. Aku hanya laki-laki
pengecut yang hanya bisa melihat gadis yang kusukai dari jauh. Ruka, itulah nama
gadis itu. Sedikit aneh untuk nama seorang gadis, tapi ia tidaklah aneh, ia
terlihat mempesona jika ia memetik gitarnya. Dan suaranya indah, mampu
membuatku berhayal dan merasakan setiap liriknya. Dan lagi, dia teman satu
sekolahku. Setiap pulang
sekolah, ia akan pergi ke taman kota dan mulai mengatur nada pada senar
gitarnya, lalu mencoba memainkan jarinya dengan melodi yang sembarangan keluar
namun tetap terdengar merdu. Dan di saat ia bernyanyi, semakin lama banyak yang
berhenti hanya karena ingin mendengarkan ia bernyanyi. Dan aku pun begitu.
Diam-diam setelah pulang sekolah mengikutinya dari belakang hanya demi
mendengarkan ia bernyanyi di taman itu. Lama-lama aku bisa disebutnya stalker olehnya. Tapi, tak apa, selama
aku tak mengganggu hidupnya dan selama aku bisa mengaguminya hanya dari jauh,
itu sudah cukup. Tak perlu berusaha menjadi orang lain, kau yang sekarang
telah membuatku selalu memikirkanmu, hanya bayanganmu yang kini ada dalam imajinasi.
Kau taklah hebat, biasa saja, tapi karena itulah yang aku suka, tak perlu jadi
orang lain. . .
Tanpa ia sadari,
suatu hari aku menyamar dan menjadi salah satu pendengarnya dari dekat dan
merekamnya saat ia bernyanyi. Walau hasil rekamannya tak begitu bagus, ada
suara bising disekeliling. Tapi tak masalah. Dengan mendengarnya saja aku dapat
membayangkan bagaimana ia memetik gitarnya dan bernyanyi dengan suka cita. Dan kini, aku
sedang mendengarkan lagu-lagunya dari rekamanku di kamar. Awalnya aku sedang
mengerjakan PR, tapi karena begitu menghayati lagunya, aku jadi tertidur di
atas meja belajar. “Kouji, bangun!
Bangun!” Aku mendengar suara
ibu membangunkanku, tapi tetap tak kuhiraukan. Aku tetap dalam mimpiku. “Kouji, bangun!
Sudah pagi! Nanti kamu terlambat ke sekolah!” Sentak aku bangun.
“PAGI?” kataku kaget. Mataku terbelalak saat melihat ke arah jendela, hari
sudah sangat terang dan jam handphone-ku
sudah menunjukkan jam setengah delapan. “HAH!!” Spontan aku
langsung bergegas ke kamar mandi dan langsung siap-siap pergi ke sekolah. Saat
akan membereskan buku, tiba-tiba ibu menarik kupingku. “A..aduh, aduh,
aduh, sakit, bu,” kataku memelas. “Kamu ngapain aja
semalaman? Ibu lihat kamu belum siap mengerjakan PR mu! Bagaimana bisa kamu
semalas ini?!!” Kemarahan ibu pagi
ini telah melanda hariku. Saat bangun, yang terpikir olehku hanyalah pergi ke
sekolah dan bertemu dengan Ruka. Dan ibu menyadarkanku akan betapa rendahnya
aku dan bodohnya diriku untuk dapat berdampingan dengan Ruka suatu hari. Aku
hanya terduduk lemas. “Ya sudahlah. Pergi
saja ke sekolah, biar guru yang menghukummu.” Aku pun pergi ke
sekolah dengan berat hati dan tak ada semangat sama sekali. Kukayuh sepedaku
dengan suasana hatiku yang rapuh. Setiba di sekolah,
kuparkirkan sepeda dan rasanya sangat malas untuk pergi ke kelas. Rencananya
tidak ingin masuk pada jam pelajaran pertama karena jam pelajaran pertama
adalah pelajaran yang PR-nya belum kusiapkan. Aku pergi saja ke kantin utnuk membeli
roti dan sekotak susu kecil dan pergi ke belakang sekolah. Semoga guru tak
merazia sampai ke belakang. “Oh, Kouji! Kenapa
kamu ada di sini?” Tiba-tiba saja sesosok
gadis yang paling ingin kutemui ada di belakang sekolah. Ah, Tuhan, mungkinkah
ini takdir? Tidak, tidak, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan berharap! “Seharusnya aku
yang bertanya seperti itu padamu,” jawabku heran padanya. Aku ikut duduk di
dekatnya. “Eh, itu...itu...”
ia kegagapan untuk menjawab pertanyaanku. Iya, seharusnya ia tak disini. Tidak
untuk siswi rajin seperti dia. “Kalau aku ke sini
karena tak membuat PR. Aku malas kena teguran lagi,” kataku jujur. “Kalau gitu sama
dong,” jawabnya terkekeh. Eh? Aku bingung. Tak mungkin anak rajin seperti dia bisa
lupa mengerjakan PR. “Saking
bersemangatnya membuat lagu baru, aku menghabiskan malamku dengan bermain
gitar,” tambahnya lemah. “Oh, begitu,”
jawabku malu-malu. Jujur saja, begitu mendengar Ruka membuat lagu baru, aku
begitu penasaran. Tentu saja karena aku adalah fans beratnya. Kami pun terdiam.
Terpikir olehku, hal seperti tak pernah terjadi olehku, berduaan dengan seorang
gadis, dan dalam situasi yang sama. “Oh, iya...” “Silahkan duluan!” Kami sama-sama
mengungkapkan kata yang sama membuat kegugupan muncul diantara kami. Muka kami
sama-sama memerah. Kalau aku tentu jelas memerah karena bersama dengannya,
berdua dengannya membuat jantungku berdegup kencang. Ruka? Kulirik ia dari
ujung pandanganku, wajah memerahnya malu karena apa? Tak mungkin karena berdua
denganku, atau itu karena perasaan normal seorang gadis yang berduaan dengan
laki-laki? Atau karena ia malu tak membuat PR, sama dengan aku yang pemalas
ini? “Apa... kita tak
ditemui oleh guru disini?” tanyanya masih dengan kegugupan. “Biasanya sih
tidak. Aku sering kesini saat bolos, jadi tak masalah,” jawabku berpura-pura
terlihat kalem. Kusedot susu kotakku, dan aku menyadari roti yakisoba tak kusentuh sama sekali karena
gugup di dekat Ruka. Kusodorkan roti itu padanya. “Apa tak apa?”
tanyanya. Aku mengangguk. “Terimakasih. Lagi
pula aku juga lagi lapar. Hehe....” Ia mengambil roti ditanganku, memotongnya
menjadi dua, sebagiannya diberikan padaku. “Makan sendirian itu tak enak.”
Kuambil bagian roti itu dan melahapnya tanpa ragu. “Gara-gara ketiduran... aku
jadi tergesa-gesa pergi sekolah jadi tak sempat sarapan. Ibuku jadi marah besar
padaku.” “Bukan seperti
dirimu saja,” terkaku spontan. Ia hanya terdiam,
memaksa untuk menelan roti yang tak terkunyah, setelah itu tangannya tampak
lemas hingga turun ke pangkuan, hingga tak sanggup memegang seringan roti. Untung
aku bersegera menagkap roti itu hingga tak jatuh ke tanah. “Ah, maaf,” ia
kaget sendiri saat rotinya jatuh. Kulihat matanya.
“Kau ada masalah, ya?” terkaku. Kediamannya
menjawab iya akan pertanyaanku. “Bukan karena PR,
bukan? Pastinya lebih berat dari itu.” Aku tak berani lagi
bicara, takut ia bertambah sedih. Kuputuskan untuk diam. Kami terdiam hingga
beberapa menit, dan aku tak perlu menghitung berapa menit kami terdiam. “Sebenarnya aku
bohong.” Akhirnya ia mulai bicara. Bohong?
Soal apa? “Aku tak masuk
kelas karena. . . aku, aku ingin menghindari ibuku sendiri. Ibuku guru home room kelasku sendiri, dan aku sudah
disini sejak dini hari.” Ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya
padaku dengan menahan air mata, aku tahu karena ia sedikit terisak dari
suaranya. “Ibuku tak membolehkanku bermain gitar lagi, dan menyita gitarku di
kamarnya. Kami bertengkar hebat semalam, sejak itu aku tak mau menyapanya. Ia
tak mau anaknya menjadi musisi, apalagi berkeliaran di jalanan sambil membawa
gitar.” Aku ingin sekali
menyemangatinya, memberi kata-kata yang tepat agar ia tak menangis. Tapi
kenyataannya bibirku membeku, tak ada satupun kata terucap bahkan saat ia telah
mengeluarkan air mata. Dengan bodohnya aku
menggumamkan salah satu lagu yang ia ciptakan dengan gumaman yang payah. Tentu
membuatnya berhenti menangis dan melihat ke arahku. “Kau sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Menjadi diri sendiri,
melakukan hal disukai adalah hal terbaik. Tak perlu berusaha menjadi orang
lain, kau yang sekarang telah membuatku selalu memikirkanmu. . .” Aku tersentak
dengan lirik terakhir yang kuucapkan dan membuat wajahku memerah. “Maaf. Aku...
aku hanya menyukai lagu itu,” jawabku beralasan agar ia tak keheranan kenapa
aku bisa hapal dengan lagunya. Kulihat ia, ia mulai tersenyum walau itu
dipaksakan. “Terimakasih,
Kouji.” “Hm.” Kami kembali
terdiam. Akh! Bodohnya diriku! Kenapa
harus bernyanyi? Dan kenapa juga harus lagunya, cari lagu lain tak bisa apa?!
Aku malah berbalik menyalahkan diri sendiri. Tapi, Ruka tak lagi menangis.
Andai aku punya sapu tangan untuk menghapus air matanya. Dasar, tak bisa
romantis! “Apa... apa kamu
pernah bernyanyi di depan ibumu?” Akh!
Pertanyaan bodoh apa lagi yang kulontarkan pada gadis yang sedang bertengkar
dengan ibunya? “Belum pernah.” “Coba meminta
pengertian pada ibumu dengan bernyanyi di depannya, dengan lagumu. Mungkin ia
bisa mengerti dengan bakat yang kau miliki.” Entah ini nasehat
yang baik atau tidak, sudah terlanjur terlontar padanya. Dan aku merasa,
mungkin dengan lagu yang ia nyanyikan, ibunya mau memahami perasaan Ruka dan
keinginannya yang kuat akan bermain musik. Kalau dipikir, jika Ruka tak lagi
bermain gitar di taman kota, aku tak bisa lagi mendengar suaranya yang merdu
itu, lagu-lagu yang seolah seperti magnet membawaku padanya. Dan tak ada alasan
bagiku untuk mendekatinya, karena selama ini aku tak pernah sekelas dengannya. “Apa yang sedang
kalian lakukan disini?!!” “HEH!!”
Kami habis-habisan
kena marah oleh guru pembimbing di ruang guru. Dengan tuduhan tak mau masuk
kelas dan kedapatan berduaan di jam pelajaran. Itu membuat kami menjadi pusat
perhatian oleh guru-guru lain, terutama ibunya Ruka, Ibu Guru Hasegawa. Ia
terlihat sangat marah besar pada anaknya, ia terlihat sangat malu akan kelakuan
anaknya yang tak mencerminkan anak dari seorang guru yang teladan. Aku tahu tak
seharusnya ikut campur dalam masalah ibu-anak ini, aku hanya orang luar. Tapi,
aku tak tahan melihat gadis yang kusukai bersedih dan menahan perasaannya. Aku
memegang tangan Ruka saat Guru Hasegawa membawanya keluar untuk bicara. Itu
membuatnya kesal. “Apa Ibu tahu
kenapa Ruka seperi ini? Ia hanya tak bisa belajar dengan perasaan yang
tertekan. Ia sedih karena ibunya tak memberinya izin bermain gitar kembali.” Ruka kaget dengan
sikapku dan apa yang kukatakan pada ibunya. Aku sendiri juga heran dari mana
dapat kekuatan untuk bicara tak sopan seperti itu pada seorang guru. Ibu
Hasegawa membetulkan posisi kacamatanya. “Aku hanya tak
ingin masa depan anakku sendiri kacau karena bermain musik. Menjadi musisi itu
tak mudah, ia... ia tak punya bakat di musik, tidak turunan dariku maupun
ayahnya, tak juga dari kakek atau neneknya.” “Lalu, Anda ingin
ia menjadi apa dimasa depan? Menjadi seorang guru seperti Anda atau wanita
karir? Mencari pekerjaan juga sulit, jika Anda tahu hal itu. Apapun
pekerjaannya tak ada yang mudah, masa depan tak ada yang tahu. Apa Anda mau ia
hanya menjadi seorang ibu rumah tangga karena tak bisa bekerja? Apa kau mau,
Ruka?” Ruka menggeleng. “Lalu, kau mau jadi
apa?” tanyaku mendesaknya. Masih dengan rasa
takut, Ruka mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab pertanyaanku. “Gitaris.” Ibu Hasegawa
memegang keningnya yang berkerut. Ia tak senang mendengar jawaban anaknya. “Kalau boleh jujur,
aku menyukai Ruka yang menyanyi sambil memetik gitarnya.” Aku paham dengan apa
yang aku katakan hingga membuat pipiku memerah. Tak hanya aku, Ruka pun begitu,
Ibu Hasegawa terkejut dengan pernyataanku. “Bakatnya tak diturunkan, tapi
terlahir begitu saja dari dalam dirinya. Pernahkah Anda melihatnya dengan baik
bagaimana ia bernyanyi dan bermain gitar dengan begitu indah. Setidaknya beri
ia kesempatan membuktikan bahwa ia memiliki bakat.” “Ruka satu-satunya
anakku, ia perempuan. Aku tak mau ia bergaul dengan para musisi, kau tahu
sendiri bagaimana dunia musisi itu. Aku hanya mencemaskannya. Bagaimana ia
pulang larut malam membuatku takut dengan keadaannya, ia pergi sesuka hatinya
tanpa memberitahu padaku. Aku tak melarangnya, hanya mencemaskannya.” “Tapi tak harus
menyita gitarku!” Ruka memberanikan diri untuk bicara, nada kesal dan sedih
bercampur dalam suaranya yang bergetar. “Ibu hanya tak mau
kamu pulang larut malam!” “Kalau begitu,
izinkan aku untuk menjaganya saat ia pulang malam.” “Apa?” “Eh... mak..maksudku...
Itu... Aku...” aku kembali gugup tak bisa mengungkapkan apa yang ingin
kukatakan. Payah sekali! “Kouji selalu
melihatku bermain gitar di taman kota, secara tak sengaja ia menjagaku dari
jauh,” Ruka mengatakan hal yang membuatku malu. Wajah merahku tak bisa ditahan
lagi. “Karena itu...” “Karena itu mohon
izinnya, untuk mengizinkan Ruka bermain gitar kembali, saya janji untuk
menjaganya.” Aku memotong perkataan Ruka, membungkuk dalam di depan ibunya agar
ia diberi izin. Ini sama halnya dengan melamar putrinya, pikirku dalam hati
hingga aku tak sanggup untuk menaikkan badanku kembali, malu bertatap muka
dengan ibunya. Tak tahu reaksi
Ruka dan ibunya seperti apa, aku menaikkan badanku saat ibunya melangkah pergi. “Kalau begitu,
mungkin aku akan sedikit lega.” Ibu Hasegawa melangkah meninggalkan kami.
Tiba-tiba ia berbalik ke arah kami, “Pulang sekolah nanti kau boleh ambil
gitarmu di rumah, Ruka. Tapi... untuk kali ini bermain di rumah, tak boleh
kemana-mana. Dan Kouji-kun!” Aku terpekik dalam
hati saat namaku dipanggil. “Tolong jaga Ruka
setelah pulang sekolah HINGGA ia sampai di RUMAH! Mengerti?” ia memberi titah
dengan menekankan beberapa kata di dalamnya. Aku mulai
tersenyum, membungkuk sedikit padanya. “Iya,” gumamku. “Terimakasih!” Ibu Hasegawa
berbalik dan pergi melangkah pergi. Ia seorang guru dan ibu yang tegas akan hal
apapun, pikirku. “Kouji,
terimakasih,” kata Ruka. “I..iya,” aku gugup
menjawabnya. “Besok, tolong, ya!”
Esok pulang sekolah
aku menunggu Ruka di pintu luar sekolah. Aku masih tak mengerti kata tolongnya, apa itu artinya baik padaku
hingga aku punya kesempatan mendekatinya atau hal lain. Aku ingin berharap tapi
tak mau berharap lebih. Ia akhirnya tahu perasaanku dan selama ini yang
kulakukan, tapi aku sama sekali tak tahu perasaannya padaku. “Maaf, sudah
menunggu lama?” Ruka tiba di
sampingku tanpa kusadari. Ia sudah menggendong gitarnya di punggungnya. Aku
menawarkan diri untuk membawakan gitarnya tapi ia tak mau, ia malah memintaku
membawakan tasnya saja, jika tak keberatan. Tentu saja tak masalah buatku. Sesuai janji, aku
menemaninya bermain gitar di taman kota, tapi aku melihatnya dari jauh agar ia
memiliki ruang untuk berkonsentrasi dalam memulai permainannya. Ia mulai
bernyanyi. Dan semakin lama orang-orang yang lewatpun berkumpul. Kebanyakan
orang yang pernah dan mungkin mengagumi suara Ruka, aku hapal dengan wajah
orang-orang yang sering melihat Ruka bernyanyi. Tapi menurutku, akulah orang
yang sangat mengaguminya.
Setiap orang selalu memiliki masalah. Mencari jalan keluar dan jawaban dari
masalah yang dihadapi. Terkadang menjadi pesimis ingin meninggalkannya, tapi
hati kecil berkata untuk tidak menyerah. Kau sudah berusaha untuk menjadi yang
terbaik. Menjadi diri sendiri, melakukan hal disukai adalah hal terbaik. Tak
perlu berusaha menjadi orang lain. Kau yang sekarang telah membuatku selalu
memikirkanmu, hanya bayanganmu yang kini ada dalam imajinasi. Kau taklah hebat,
biasa saja, tapi karena itulah yang aku suka, tak perlu jadi orang lain. . . .
Selalu temani diriku di setiap waktu. Kau menjagaku walau dari jarak jauh. Ku
tak tahu bagaimana mengucapkan terimakasih padamu. Walau jarak kita kini taklah
jauh. Maka kusampaikan perasaanku lewat lagu untukmu. . . © 2015 Aga ALana |
Stats
496 Views
Added on March 12, 2015 Last Updated on March 12, 2015 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|