Tomodachi to Ai no kotoA Story by Aga ALanaTak terasa waktu berganti begitu cepat, dan kini aku telah SMA. Masa-masa saat SMP yang membuatku harus dijauhi dari sosial karena ibuku
seorang pecandu judi. Hal itu berawal setelah ayah meninggal dunia. Ayah
meninggal saat aku berumur sepuluh tahun. Ia meninggal karena kecelakaan.
Mungkin karena ibu terlalu sedih karena ditinggal suami tercinta, ia
menghabiskan waktunya di luar bersama teman-temannya dan memasang taruhan. Walau begitu, aku tetap melangkah maju. Aku tetap melanjutkan sekolah
dengan beasiswa yang ku dapatkan. Jika di SMP teman-teman menjauhiku, aku berusaha agar mendapat banyak teman
dan itu pun berhasil! Dan lagi, aku memiliki seorang sahabat, Amahara Chiyu,
keahliannya adalah meramal dengan kartu tarot. Walau aku sendiri tidak terlalu
percaya dengan yang namanya ramalan. Kejadian kami berkenalan itu sangat lucu bagiku. Itu terjadi ketika aku berbelanja beberapa bahan makanan di
minimarket dekat dengan jalan arah rumah. Di sana aku bertemu dengan Chiyu, ia
tersenyum padaku. “Ah, Nakajima-chan!” sapa Chiyu. “Do..domo[1],” jawabku gugup. “Ma..mau beli apa?” tanyaku. “Tolong gulanya sekarung, ya!” “Eh?” heranku. Maksudnya apa? Chiyu mulai tertawa. “Habisnya, kamu
bertanya seperti pelayan di minimarket ini. ‘Mau beli apa?’ lucuu.. Haha!” “Itu tak lucu, Chiyu!” jawabku kesal. “‘Chiyu’? Kamu memanggil nama
belakangku?” beralih Chiyu yang heran melihatku. Aku jadi gugup, tentu saja
rasanya tak mungkin orang yang tidak terlalu dekat satu sama lain memanggil
nama belakang seseorang dengan mudahnya. Aku selalu terbiasa memanggil
seseorang dengan nama belakangnya baik sudah lama kenal maupun baru. Karena rasanya
bagiku akan lebih mudah mengingat nama belakangnya. “CURANG!!” pekik Chiyu. Aku kaget.
“Kenapa Nakajima-chan saja yang memanggil nama belakangku!” tiba-tiba ia mulai
merengek, “kalau begitu, aku juga akan memanggil nama belakang kamu! E..to…Ri…ri..ku-chan,” ia terlihat
sangat gugup memanggil namaku. Kali ini akulah yang tertawa dibuatnya. Ia
bertambah sewot. “Gomen[2]. Habis kamu lucu,” kataku sambil menahan tawa. Chiyu tetap cemberut. Saat kupanggil
namanya lagi, ia memanggil namaku lagi tanpa gugup dan kami saling tersenyum
dan tertawa.
Saat ini, kami sedang menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah untuk makan bento[3] kami. Tak biasanya Chiyu memakai earphone, mendengarkan lagu dari telepon genggamnya. “Kamu sedang mendengar lagu apa, Chiyu?”
tanyaku. Chiyu tersenyum. Ia mengambil salah satu
earphone-nya dan memasangkannya di
telingaku. “Lagu yang indah!” pujiku setelah
mendengar sepotong lagu itu. “Akan lebih indah jika dia yang
menyanyikannya,” jawab Chiyu dengan wajah yang memerah. Aku bingung, “Dia? Siapa?” Chiyu kaget dan langsung menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Apa aku berkata yang aneh?” tanyanya. Aku menggeleng. Lalu ia menceritakan seorang laki-laki
yang sering bermain gitar di taman dekat minimarket di mana aku dan Chiyu untuk
pertama kali berbincang layaknya teman yang sudah sangat dekat. Ia sering
menyanyikan lagu itu dan Chiyu secara tak sengaja selalu mendengarkan laki-laki
itu bernyanyi walau selalu menjaga jarak dan tak pernah menyapa laki-laki itu. “Riku-chan, kamu mau tidak menemaniku
hari ini untuk bertemu dengannya?” pinta Chiyu. Untuk pertama kalinya seorang
teman meminta bantuanku dalam hal percintaan. Apalagi, entah kenapa hatiku
berbicara bantulah! “Walau… ramalanku berkata hari ini
bukanlah hari yang tepat untuk menyatakan cinta pada orang itu. Tapi, jika
tidak hari ini kapan lagi aku akan bertemu dengannya? Kini ia telah jarang
berada di taman itu.” Wajah Chiyu tampak ragu dan kecewa. “Daijoubu![4]” aku mencoba menyemangatinya. “Jangan terlalu percaya pada ramalan. Aku yakin, kamu pasti bisa! Aku akan menemanimu. Ganbatte[5], Chiyu-chan!” Chiyu tampak mulai bersemangat kembali.
Kami segera menghabiskan bento kami dan segera masuk ke kelas. Tampak dari
wajah Chiyu yang tak sabar akan menyelesaikan waktu dan segera bertemu dengan
orang yang ia sukai. Namun entah mengapa, perasaanku tidak
enak. *** Tiba juga waktu yang di nanti oleh
Chiyu. Kami pergi bersama ke taman yang ia maksud. Dari beberapa meter sebelum
ke taman saja suara petikan gitar terdengar, diikuti suara seseorang yang
bernyanyi. Orang itu menayanyikan lagu persis dengan lagu yang diputar oleh
Chiyu di handphone-nya. Saat kami memasuki taman, laki-laki itu
berhenti bernyanyi, ia menyadari kehadiran kami. Menatap kami yang hendak
mendekat. Namun saat Chiyu berjalan lebih dulu dariku dan memberanikan diri
mendekati laki-laki itu seorang diri, aku berhenti dan mencoba menjaga jarak.
Aku berpura-pura seolah-olah tak menghiraukan mereka berdua. “Riku?” Aduh, Tuhan. Kenapa ia memanggil namaku di saat seperti ini?
Chiyu… Chiyu tertegun. Ia berpikir sejenak,
melihat laki-laki yang ia sukai tak menatapnya, melainkan gadis lain yang ada
di belakangnya. Chiyu melihat gadis itu, menatap laki-laki itu sekali lagi.
Chiyu sangat shok! Ia mencoba menahan air mata yang keluar dari matanya, namun
itu sia-sia dan ia pergi begitu saja. Chiyu berlari meninggalkanku dengan
laki-laki itu. Aku memanggil Chiyu dan mencoba mengejarnya, namun tanganku
telah ditangkap dulu oleh laki-laki itu dan mencegatku pergi. “Lepaskan aku!” pekikku. “Apa maksud semua ini, Riku?” Aku mencoba membuang muka dari laki-laki
ini. Ekor mataku sibuk mencari jejak Chiyu yang berlari keluar taman. Laki-laki
itu bersikeras memegangku dan membuatku untuk beralih pandangan padanya. “Seharusnya kamu tidak memanggil namaku,
bodoh! Dia adalah sahabat baikku, aku tak mungkin menghianatinya!” “Apa kamu sengaja menghindar dariku?”
tanya laki-laki itu. Aku terdiam. Tak ada niat untukku
menghilangkan perasaanku pada laki-laki yang ada di depanku. Ia adalah sosok
yang membuatku untuk tetap bertahan hidup. Namun, tak kusangka yang disukai
Chiyu adalah teman satu SMP-ku dulu yang pernah dekat denganku. “Yang aku suka hanya kamu, Riku. Bukan
yang lain, hingga detik ini.” Air mataku mengalir. Ada perasaan yang
bercampur aduk, antara rasa senang dan juga bersalah. “Saat itu, aku selalu menunggumu di
sini. Bernyanyi, berharap suatu saat nanti kamu datang menemuiku. Namun… yang
terpancing bukan kamu malah orang lain. Padahal ku pikir, setidaknya sekali
saja kamu mendengarkan suara itu saat berjalan pulang, ternyata perasaan itu
terbuang sia-sia.” Ia melepaskan tanganku, memandangi
langit sore yang lumayan cerah hari ini. Ia mengambil tasnya dan akan beranjak
pergi. Saat itu aku memegang ujung bawah kemejanya, mencoba menghentikan
langkahnya. Air mata begitu saja jatuh dari kelopak
mataku, “Apa yang harus aku lakukan?” Aku bingung, tak tahu harus berkata apa. “Katakan saja apa pun yang ingin kau
katakan. Dan biarkan aku menjelaskan semuanya pada sahabatmu itu.” Aku mulai terdiam kembali. “Hidupku
sangatlah sulit. Aku selalu berusaha menjaganya dan tak pernah berhenti untuk
mengejar mimpiku. Aku…kamu… akan menyesal…” Dia memelukku, “Dasar bodoh! Jangan
pernah memendam perasaanmu. Jika kau tahu, aku akan selalu di sampingmu. Aku
akan menolongmu dan melindungi semua yang kamu lindungi selama ini.” Ia melepaskan pelukannya dan pergi
meninggalkanku. “Tunggu aku di sini. Aku akan menjelaskan apa yang sebenarnya
pada gadis itu.” “Tapi…” belum sempat aku bicara,
laki-laki itu berlari keluar dari taman. Ia meninggalkan tas dan gitarnya
padaku. Kira-kira lima belas menit berlalu, ia
kembali ke hadapanku. Mengantarku pulang dan tak bicara sepatah kata pun
tentang Chiyu, walau aku telah menanyainya. *** Esok hari di sekolah, aku melihat Chiyu
di lorong menuju kelas. Saat itu, aku tak tahu harus melakukan apa, bicara pun
aku takut pada Chiyu karena kejadian kemarin. “Chiyu,” Akhirnya aku mencoba untuk mendekati Chiyu dan menyapanya, “Ohayou gozaimasu[6]…” Ia melihatku dengan wajah cemberut. Aku
takut ia tak akan memaafkanku karena kejadian kemarin. “Riku-chan payah! Kenapa laki-laki
tampan seperti Fujimoto Tetsuya kamu tolak? Kalau aku jadi kamu, aku sudah
meng-iya-kan dari dulu.” Aku hanya diam dan sedikit kaget dengan
reaksi yang diberikan Chiyu padaku. Aku pikir, Chiyu akan memarahiku langsung. “Sayangnya, aku juga payah! Seharusnya
kukatakan sejak awal siapa yang aku suka. Dan tak disangka, Fujimoto-kun telah
lebih dulu mengenal sahabatku. Benar ‘kan, Riku-chan?” “Chiyu,” walau kurasa kata Chiyu benar, aku benar-benar merasa bersalah. “Chiyu, Hounto ni gomen![7]” aku membungkuk, menyesal. “Aku sendiri juga tidak tahu bakal seperti ini. Aku…” “Riku-chan,” potong Chiyu, “Aku rasa, memang
Fujimoto-kun bukanlah jodohku. Jadi untuk apa aku paksakan?” “Chiyu…” “Da-ka-ra[8]! Kamu harus menerima perasaanmu sendiri pada orang itu. Aku mendukungmu!” Chiyu menyemangatiku, walau aku tahu
pasti berat mengatakan hal itu. Ia memaksakan untuk tegar dengan tersenyum
padaku. Aku tak tega melihatnya, aku tak ingin ia sedih. Tak ingin! Kutatap sahabatku itu, meyakinkannya
bahwa aku benar-benar menyesal. “Chiyu, jika kamu ingin marah padaku, marahlah
padaku. Saat itu aku juga salah, membiarkanmu pergi begitu saja tanpa
mencegatmu pergi.” “Ya! Kamu jahat! Kenapa kamu biarin aja aku pergi? Kamu juga bodoh! Kenapa tak kamu terima perasaan Fujimoto-kun? Riku-chan, BA-KA!![9]” Teriakan Chiyu mengejutkan semua murid
yang ada di seluruh lorong sekolah, juga yang ada di kelas pada keluar
mendengarnya, mencari tahu siapa yang berteriak keras. Aku sendiri kaget dan
juga malu berat karena semua mata tertuju pada kami berdua. “Chiyu,” aku tertegun. Chiyu benar-benar
marah padaku. Namun setelah itu ia tersenyum dan
sedikit tertawa. Ia meraih tanganku, menarikku, “Ayo kita masuk kelas! Berantam
itu tak enak, lho! Dilihat sama yang lain.” Ia menarikku masuk ke kelas. “Chiyu, gomen,” kataku dengan suara lemah. “Hmm? Riku-chan tak perlu merasa
bersalah, karena ini bukan salahnya kamu.” Saat itu aku merasa, Chiyu sangat
berbeda. Ia lebih dewasa hanya karena perkataannya. Apa karena cinta dapat
membuat seseorang dewasa? Karena pengalamannya? “Chiyu, sepertinya aku menyukaimu,”
kataku spontan. “HEH??” Chiyu kaget mendengar
pernyataanku. “Apa yang sedang kamu katakan? Aneh!” Ia merinding mendengar kataku
tadi. Aku tertawa melihat responnya. Aku bersyukur telah baikan dengan Chiyu.
Aku harap kejadian yang seperti kemarin tak akan terulang kedua kalinya, atau
pun kejadian yang lain yang akan membuat persahabatanku dengan Chiyu akan
berakhir. Aku tak ingin hal itu terjadi. Chiyu terlihat tegar menghadapi
perasaannya. Ia menceritakan segalanya padaku hingga kejadian kemarin dan saat Tetsuya
mengejarnya, menjelaskan hubunganku dengannya. Saat itu aku masih takut Chiyu
akan sedih. Ia meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja, hingga menghubungkan
ramalannya yang akan segera bertemu dengan cinta sejatinya. Walau itu hanya
ramalan, aku berdoa hal itu akan terkabul segera. *** Seminggu telah berlalu. Setelah kejadian itu, sekali pun aku
belum bertemu dengan Tetsuya. Jujur dalam hatiku, aku ingin mengatakan segala
hal padanya. Ia adalah satu-satunya teman laki-laki di SMP yang mau berteman
denganku dan tak mengejekku karena aku adalah anak dari seorang tukang judi. Kini aku sedang berjalan sendirian
pulang ke rumah. Biasanya aku pulang dengan Chiyu, tapi akhir-akhir ini ia
disibukkan oleh kegiatan klubnya. Sepi. “Riku!” Seseorang memanggilku. Aku penasaran,
aku menoleh ke belakang, melihat orang yang menyapaku tersenyum. “Tetsuya,” aku membalas sapaannya dengan
sedikit malu-malu. Kami berjalan bersama menuju halte.
Kebetulan, arah rumah kami sama walau rumahku agak jauh dari rumahnya. Rasanya
agak risih saat berjalan bersama dengannya, apalagi dengan seragam sekolah yang
berbeda. Belum lagi saat dilihat oleh orang lain, terutama para siswi.
Kebanyakan para gadis sekolah menganggap percintaan dengan beda sekolah akan
terasa menantang dan juga lebih romantis? “Apa kamu masih kepikiran dengan
kejadian itu?” tanya Tetsuya. Aku menggeleng. Sepertinya ia masih
memikirkan kejadian itu. “Aku juga kaget saat itu, temanmu
mencoba untuk mengutarakan perasaannya padaku. Aku juga takut, penolakanku akan
membuatnya sedih. Tapi, lihatlah…” Tetsuya menunjuk ke sebuah minimarket
yang ada di seberang kami. Aku melihat seorang gadis dan laki-laki keluar dari
minimarket itu dan tampaknya mereka sangat akrab, seperti sepasang kekasih. “Chiyu?!” kagetku. Ternyata gadis itu Chiyu. Ia tengah membawa barang belanjaan, lalu diberikan pada laki-laki yang disampingnya. Dia… senpai[10] yang ada di klubnya Chiyu! “Aku kenal laki-laki yang bersama temanmu.
Aku sering bermain basket dengannya. Kemarin, ia bilang kalau ia sedang dekat
dengan juniornya yang ada di klubnya.” Jika benar mereka saling menyukai, aku
benar-benar bersyukur. Sebagai sahabat, aku hanya berharap agar Chiyu bahagia. Chiyu… “Jadi, jangan dipikirkan kejadian itu,
ya,” ulang Tetsuya. “Siapa yang memikirkannya? Jangan-jangan
kamu sendiri yang tak bisa lupa dengan kejadian itu?” ledekku. Tetsuya terdiam,
bukan pipinya yang memerah tapi telinganya. Terlihat lucu. “Siapa bilang aku tidak pernah mendengar
orang itu bernyanyi sendu di taman itu. Jelas sering! Taman itu dekat dengan
jalan rumahku. Aku sendiri… agak risih dengan lagu itu. Aku tak suka lagu
sedih!” ejekku. Mendengar itu Tetsuya langsung menjitak
kepalaku. Aku mengaduh sakit, tapi tertawa setelah itu. Aku rasa berhasil
mengerjainya. “Kalau begitu, esok aku akan menyanyi; kimiga..yo wa..chiyou ni yachiyo ni…[11]” “Udah, udah!” aku mencoba menghentikannya
bernyanyi dengan suara seriosa yang tidak karuan. Walau begitu, aku sempat
tertawa karena tingkahnya yang agak aneh. Aku memang menyukai Tetsuya yang suka
melucu dan kadang bertingkah konyol, walau dari luar orang lain pasti mengira
dia laki-laki yang cool. “Apa perlu aku menyanyikan lagu, Kimi no koto ga, suki dakara![12]” Tetsuya bernyanyi dan meniru gerakan AKB48. Ia sangat sukses membuat perutku sakit karena tertawa. “Ah! Aneh banget!” ia langsung menyindir
dirinya sendiri. “Walau aneh, aku suka,” balasku spontan. Walau kurasa kata-kataku tak romantis,
tapi untuk pertama kalinya aku menyatakan perasaanku yang sesungguhnya tanpa
keraguan. Dan kali ini bukan hanya telinga Tetsuya yang memerah, tapi juga
hidungnya. Aku terpaksa menahan tawa agar ia tak tersinggung. Tetsuya menggaruk kepalanya dan membuang
pandangannya. Aku rasa ia tak akan memandangku untuk sementara karena malu. Tanpa kusadari, ada sesuatu yang
menyentuh tangan kiriku. Hal itu tak akan ku tolak lagi. Genggaman tangannya
yang hangat. Ya, aku merasakannya, Tetsuya, aku tak akan lagi lari dari
perasaan ini.
Finish
[1] Domo = hai, halo. [2] Gomen = maaf. [3] Bento = makanan bekal [4] Daijoubu! = tenang saja [5] Ganbatte! = berjuanglah! "kata pemberi semangat [6] Ohayou gozaimasu = selamat pagi [7] Hounto ni gomen! = saya sangat menyesal! [8] Dakara = karena itu [9] Baka!! = bodoh!! [10] Senpai = senior [11] Lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. [12] Salah satu lagu AKB48, Kimi no koto ga suki dakara (karena ku suka dirimu). © 2015 Aga ALana |
Stats
289 Views
Added on March 12, 2015 Last Updated on March 12, 2015 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|