Three – It’s Time to Act!

Three – It’s Time to Act!

A Chapter by Aga ALana

Aku merasa ada yang membangunkanku. Apa itu ibu?

“Lima menit lagi, bu. Ngantuk.”

“Ampun deh, Tuhan. Kamu masih mengira ini semua fiktif belaka? Hayalan? C’mon!” kesal Yuki.

Aku mulai membuka mata. Dan ku kira aku mulai bermimpi. Aku melihat seorang pangeran dari kayangan membangunkanku, dengan seragam sekolah yang cool. Eh, seragam sekolah?

Aku bangun, menguap. “Pagi,” sapaku.

Yuki tersenyum dan mencubit pipiku, “Pagi, babe!”

Ku tepis tangannya yang ada di pipiku, “Ih, hentai! (ganjen!)”

Dia tertawa. “Hahaa… hanya ke kamu, kok!”

“Justru itu yang membuatku tambah kesal, Yu-ki!”

Dia hanya tersenyum. Yuki melangkah ke lemari, membuka salah satu pintunya dan mengambil sebuah seragam. Seragam sekolah yang sama persis dengan yang ia kenakan, tapi ini pakai rok. Hm.. sepertinya untukku.

“Apa kita bisa beraksi sekarang, nona?” tanyanya sopan seperti seorang butler.

“Sejak kapan namaku berubah begitu cepat? Aku Mai, bukan ‘Nona’,” candaku.

“Haha… c’mon, jangan bercanda. Segera mandi dan pakai seragam ini. Aku menunggumu di luar dan juga sarapan pagi hari ini.”

“Ini ‘kan dunia mimpi. Apa mesti mandi dan sarapan?”

Please, deh. Jangan bercanda, Mai. Cobalah untuk serius di dunia ini walau hanya empat jam di duniamu, mungkin kurang.”

Aku mulai melihat jam dinding itu. Jam satu lewat lima belas menit. Walau di sini telah sehari, di duniaku hanya terlewat beberapa menit saja. Aku beranjak dari kasur empuk ini, mengambil seragam yang ada di tangan Yuki dan melangkah ke kamar mandi. Menutup pintu kamar mandi.

“Jangan ngintip!” kataku saat kubuka lagi pintu, melihat Yuki telah berada di depan pintu kamar mandi. Kututup lagi pintu kamar mandi, kukunci. Benar-benar kukunci dan memastikan tak ada celah untuk si hentai, Yuki, mencoba mengintipku.

Kugedor pintu kamar mandi, “Hentai, pergi!”

“Oke, tak akan kuintip! Ge-er.” Ia juga mengedor pintu kamar mandi.

Kumulai ritual mandiku. Dan, tak perlu kuceritakan, bukan?

Setelah selesai mandi, kucoba memakai seragam itu dan kulihat parasku di cermin. Ukurannya pas. Hm.. aku jadi curiga, jangan-jangan… Ah! Aku mikir apa, sih? Mungkin saja seragam ini langsung pas, ‘kan dunia mimpi!

Setelah berpakaian, aku segera ke ruang depan, dan benar, sarapan pagi telah tersedia. Sepertinya buatan Yuki sendiri. Beberapa sandwich dan dua gelas susu hangat berada di atas meja makan kecil ini.

“Ayo, duduk. Maaf, aku makan duluan.”

“Tak apa,” jawabku ringan.

Aku duduk berhadapan dengannya. Kuambil sandwich yang ada di hadapanku. Kucicipi, “Hmm… enak! Kok bisa? Inikan..”

“Makanya, kubilang untuk serius di dunia ini, bukan?” potong Yuki.

“Oke, aku tak akan mempermasalahkan dunia ini, lagi.”

“Baguslah!”

Kami menyelesaikan sarapan dan keluar dari rumah. Eh! Ternyata ini bukan rumah, tapi apartemen. Kutengok ke bawah. Wah, ini lantai berapa? Tinggi banget!

“Jangan terkejut. Ini lantai lima. Apa kakimu sanggup melewati tangga-tangga ini? Di sini tak ada lift, lho!”

“Hm.. sepertinya sudah terbiasa,” jawabku ringan.

“Benarkah? Hm.. mungkin juga,” kata Yuki tersenyum.

Kami pergi ke SMA entahlah, aku tak tahu namanya, dengan motornya Yuki. Walau sempat dilihat banyak mata yang memperhatikan kami jalan bersama ke arah parkiran, mulai dari anak-anak sampai nenek-nenek. Apa Yuki segitu populernya, ya? Di tambah mereka selalu menyapanya. Yuki membalas sapaan mereka dengan senyumannya, dan aku tahu senyumannya seperti malaikat alias sangat memikat hati siapa saja yang melihatnya. Agak risih, tapi aku bersikap cuek dengan tersenyum dan menyapa kembali pada orang-orang yang menyapaku.

Tak berapa lama kami berkendara, kami sampai ditujuan. Wah, tak kusangka sekolah ini sangat bagus! Tatanannya rapi dan bersih, benar menggambarkan sebuah sekolah yang elit. Gedung sekolahnya bertingkat tiga. Sangat berbeda dari sekolahku dulu.

Apa dunia mimpi selalu mengesankan seperti yang kulihat saat ini?

“Mai, ada satu hal lagi yang belum kusampaikan.” Yuki membuka percakapan setelah kami memarkirkan motornya. “Ingat, di sini kamu sebagai Nakashima Mai. Dan namaku bukan Yuki, tapi Makoto Jun’ichi. Kamu mengerti, bukan?”

“Hm.. aku mengerti. Detektif harus merahasiakan identitasnya, bukan?”

“Iya. Terimakasih atas perhatianmu, sayang.”

“Uh, gak pake sayang-sayangan. Tubuhku merinding dengernya.”

“Hahaa… benarkah?”

“Sudah dari awal, kau tahu. Ngomong-ngomong, Makoto Jun’ichi, apa itu nama aslimu?” tanyaku penasaran.

“Kenapa kau ingin tahu tentangku? Kamu mulai naksir denganku?”

Aku menggerutu. Tentu saja aku kesal dengan setiap candaannya. Apa karena hal itu tak pernah kurasakan? Setiap kali ia bercanda, jantungku berdetak tak normal, tentu saja aliran darah serasa lebih cepat dan menaikkan suhu tubuhku. Semoga saja tubuhku yang tertidur tidak kepanasan. Entahlah.

Setelah mengurus beberapa data untukku yang jadi siswi baru di sekolah ini, Yuki meninggalkanku menuju ruang kelasnya, karena kami beda kelas. Dan tentu saja, aku sekelas dengan Nia, gadis yang akan kuawasi.

Saat masuk ke kelas, guru yang mengajar pada saat itu mempersilahkanku untuk memperkenalkan diri. Sepertinya, murid-murid di sini ramah-ramah. Lalu mataku tertuju pada gadis berambut panjang berkepang dua, cantik! Dialah Nia, Sawada Nia yang akan kuawasi. Aku mengenalinya dari foto yang diperlihatkan Yuki saat sarapan pagi tadi.

Aku pun dipersilahkan duduk, bersebelahan dengan Nia. Sekilas, tampaknya ia agak sombong. Dia membuang muka dariku. Hmm… apa aku bisa akrab dengannya hanya dalam sehari?

 

Jam istirahat…

Dari  jam pelajaran pertama sampai pelajaran sebelum jam istirahat ini rasanya pernah kupelajari, namun tetap saja otakku gak bisa menampungnya, lha wong aku terus konsentrasi mengawasi Nia, walau tak melihatnya langsung, nanti bakalan berabe kalau ekor mataku terus mengawasinya.

Aku juga sedih. Karena sudah setengah hari aku belum juga mendapat kesempatan berbicara dengannya. Huft! Bagaimana caranya, ya? Tuhan, beri aku kesempatan!

“Kamu yang pergi sekolah bareng Makoto tadi, bukan?” tanya salah seorang siswi sekelasku menghampiri, dan diikuti oleh beberapa siswi lainnya. Ya, yang cowok juga ada sih, mungkin yang suka nimprung urusan cewek. Mereka mengerumuniku dan mendesakku untuk menjawab pertanyaan mereka.

“Eh, itu…”

“Nakashima, jadi benar, ya, kamu pacarnya Makoto?”

“Eh, anu…”

“”Ah, pasti senang, ya, pacaran sama Jun.”

“Iya, dia ‘kan ganteng, pintar, olahraga pun dia jago!”

“Jadi, Nakashima, apa tanggapanmu?”

Dalam kewalahanku menghadapi gadis-gadis yang kasmaran ini, akhirnya aku mencoba untuk tenang dan menjawab pertanyaan mereka.

“Hm… well, first, aku bukanlah pacarnya Makoto. Then, aku ini sepupu jauhnya, and the last, benar kalau aku pergi bareng dengan Makoto tadi pagi. Kalau kalian terganggu, besok aku akan pergi sendiri.”

Entah apa yang telah kukatakan, semuanya pada terkagum-kagum. Aku sendiri juga kaget melihat respon mereka. Padahal aku bicara biasa-biasa saja.

“Wah, gaya bicaranya juga persis Makoto. Jadi benar kalau kamu sepupunya. Syukurlah!”

Dari respon mereka, sepertinya mereka lega karena orang yang bernama Makoto Jun’ichi belum punya pacar. Sepertinya mereka fans-nya Yuki. Kucoba membuat kericuhan.

“Hm… by the way, Makoto bilang dia belum punya pacar, lho! Dia lagi cari cewek.”

Tepat! Mereka benar-benar ricuh dan berbincang satu sama lain. Mereka tampak senang, karena ada kesempatan mendekati Yuki.

“Hei, hei! Sudah! Segudang pertanyaan kalian dan senyum-senyum gak karuan gitu membuat Naka bingung, tahu! Benar ‘kan, Naka?”

Tiba-tiba saja Nia berbicara dan mengambil baris pertama dan menatapku dengan pesonanya. Kalau aku cowok, mungkin aku udah jatuh cinta. Dan lagi… kenapa ia memanggilku ‘Naka’? rasanya memanggil nama orang dengan setengah nama asli rasanya seperti kehilangan setengah harga diri.. -_-

“Naka, apa kamu bawa bekal makan siang?”

“Heh?” aku bingung. Nia yang tiba-tiba saja menjadi friendly padaku, lebih membingungkan saraf otakku.

“Hm… sepertinya kamu memang gak bawa bekal. Ya, udah kalau begitu, ayo kita ke kantin. Kebetulan juga aku lupa bawa bekal. Kita makan bareng, ya?” Mulailah Nia tebar pesona. Tapi aku masih belum merespon. Aku masih bingung jawab apa.

“Hah, Nia. Bukannya setiap hari kamu emang gak pernah bawa bekal? Bilang aja mau ambil kesempatan,” kata seorang siswi jutek.

Kerut di dahi Nia muncul, tampak ia kesal dengan apa yang telah dikatakan oleh gadis itu. “Diam! Sewot amet!”

Nia menarik tanganku keluar dari kelas. “Ayo, kita ke kantin! By the way, namaku Sawada Nia. Panggil Nia aja.”

“Namaku Nakashima Mai. Panggil aja aku Mai, jangan Naka, agak risih,” jawabku.


© 2015 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

213 Views
Added on March 12, 2015
Last Updated on March 12, 2015


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 – Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana