Two – I’m in My Dream?A Chapter by Aga ALanaKepalaku mulai ringan walau sedikit pusing. Aku berada di atas kasur. Ruang tidur siapa ini? Kecil,
namun perabotannya terlihat mewah, salah satunya kasur ini, termasuk seprainya. Aku rasa ini bukan kamarku. Sangat tidak mungkin. Karena
kamarku hanyalah ruang petak tiga kali tiga meter dengan kasur kapas yang agak
keras dan sebuah lemari baju serta meja belajar kayu kecil. Pintu kamar terbuka. Seseorang masuk ke ruangan ini. Aku
mengenalnya, beberapa menit atau mungkin beberapa jam yang lalu? Iya, dia Yuki.
Cowok yang ngaku-ngaku jadi… ukh, aku nggak mau nyebutinnya. Bukan berarti aku
lesbian dan nggak suka cowok, tapi aku agak benci melihat orang yang sok-sok
akrab denganku. Yah, walau wajahnya tampan. Apalagi kalau tersenyum, bikin
deg-degan! “Bagaimana keadaanmu?” Ia mulai mendekat dan duduk di kasur. Aku menjauh. Kalau
dapat aku mau lari. Kalaupun ini lantai dua, tiga atau seratus sekalian, gak
apa-apa, aku akan tetap loncat. Sumpah, gak tahan lihat senyum nih orang yang
terkadang terkesan... menindas! “Bagaimana-nya bagaimana? Aku semakin bingung, tahu!”
kesalku. Yuki tertawa. “Ih, please,
deh! Jelasin ini semua! Aku di mana, kamu siapa? Kenapa aku bisa ada di Green apa? Hijau, hijau, green, Green Heaven, ya?” Dia tetap tertawa. “Ha~h! ternyata kesadaranmu sudah
beberpa persen berada di sini.” “Heh?” aku masih bingung. “Dunia Mimpi.” “Apa?” “Ini, Dunia Mimpi.” What
the? Ini
orang bercanda, kan? Tapi, wajahnya terlihat serius. Aku mencoba beradaptasi. Kucoba
mencubit pipiku. Rasanya, gak sakit? “Gak akan sakit. Percaya, deh!” Aku diam. Mulai mencerna dan memahami maksudnya. “Lalu, kalau ini mimpi, kenapa aku gak bangun-bangun?” “Aku yang memanggilmu.” “Hm.. Apa?” “Ah, c’mon, girl,
apa harus kujelaskan?” Aku mengangguk. Antusias. “Ternyata kamu seorang yang kritis! Baik. Mulai dari aku,
namaku Yuki, anggap saja begitu. Dan
jangan tanyakan namaku yang mirip dengan nama cewek! Aku tahu kamu ingin
tertawa saat kukatakan namaku.” Aku sedikit tertawa mendengarnya. Namun dia cuek dan mulai
menjelaskan kembali. “Dan kamu, anggap saja namamu Mai, bukan yang lain, karena bulan lahirmu Mei, umurmu tujuh belas
tahun. Dan statusmu adalah pacarku.” “Stop, stop, stop! Kenapa kamu ngatur-ngatur gitu?!”
kesalku. “Anggap saja seperti itu. Anggap aku memberi sugesti,
Mai! Di dunia ini kamu harus punya identitas lain, lain dari identitas aslimu
yang ada di dunia sana, oke? Bolehkah aku lanjutkan?” Aku mengangguk, mulai memahami kondisiku. “Boleh, asal
jangan pacar. Adik, kek, sepupu, kek, kakak, kek, asal jangan nenek-nenek, KEK!” “Cih! Cerewet banget, sih. Tapi aku suka.” Dia tersenyum. Ukh! Lagi-lagi tebar pesona! Males deh, liatnya. Aku
buang muka. “Hm.. kalau tidak mau jadi pacar, pembantuku saja!”
candanya. “Buset, dah! Keterlaluan!” kesalku. “Istri?” “Ditolak!” Dia, Yuki tertawa lagi. “Kamu ini benar-benar lucu.
Itulah yang aku suka darimu. Oke, oke, to
do point aja. Aku adalah seorang detektif. Aku punya sebuah misi, dan misi
ini telah berjalan sebulan. Di sini, aku harus mengawasi dan melindungi seorang
anak dewan yang keselamatannya terancam. Nama dewan itu Daryosh, ia tengah sukses dalam karirnya karena ia berhasil
memecahkan masalah korupsi yang ada di negara ini. “Pak Daryosh, memintaku untuk melindungi putri semata
wayangnya, karena ia berfirasat anak semata wayangnya tidak aman. Apalagi
setalah ada beberapa ancaman yang datang lewat surat dan sebagai macam lainnya
langsung ke putrinya. Namun setelah sebulan, tak ada hal aneh yang terjadi.
Putrinya baik-baik saja.” “Lalu, hubungannya denganku?” “Sebulan yang lalu, aku di transfer ke sekolahnya, Sawada Nia D., anaknya, namun aku dapat
kelas yang berbeda dengannya. Aku telah meminta saran untuk satu kelas
dengannya, namun sia-sia dan ini akan menghalangiku dalam misi ini. Dalam misi
ini, tak satupun yang bisa kupercayai untuk menjadi partner-ku. Karena ini dunia mimpi, aku berharap ada sesesorang yang
masuk ke dunia ini dan membantuku dalam misi ini. Dan pada saat itulah, aku
melihatmu. Maaf, pada awalnya aku tidak sopan.” “Memang tidak sopan!” jawabku spontan. Dia agak sedih. “Begitu, ya? Maaf.” Ia tertunduk. Melihatnya seperti itu, aku jadi iba. “Jika seandainya aku membantumu dan menyelesaikan tugas
ini, apa aku bisa pulang? Hm.. maksudku bisa bangun tepat waktu? Karena kalau
aku bangun telat, ibuku akan marah dan aku bisa telat ke kampus.” Yuki mulai tersenyum kembali. “Akan kupastikan kau pulang
tanpa cidera. Aku tak akan memberikan tugas yang berat, hanya menjadi temannya
Nia. I give you my words on that.” Aku mencoba tersenyum, menandakan aku mulai memahami
situasiku. “Lalu, kapan kita berangkat?” “Besok.” “Apa? Kalau besok, bagaimana dengan aku yang tertidur di
dunia nyata? Keluargaku bisa curiga!” panikku. “Hei, calm down! Akan kupastikan kau akan bangun
sebelum subuh, dan kamu gak akan terlambat untuk bersekolah. Lihatlah jam itu,”
Yuki menunjuk kearah jam dinding. Jam
satu? “Lihatlah jam itu, berjalan sangat lambat, bukan? Jam
satu, berarti jam satu malam di dunia nyata. Akan kupastikan misi kita selesai
sebelum jam itu mengatakan jam lima. Tidurlah. Waktu di sini lebih cepat dari
yang kamu kira.” “Baiklah, aku mulai mengerti dan aku akan tidur sekarang.
Lalu, bagaimana denganmu? Kamu tidur dimana?” “Jangan bilang kau takut tidur sendirian. Mau kutemani?” “Ah, tidak! Terimakasih!” tolakku. Dia tersenyum. Ia bangkit dan pamit keluar. “Jika ada hal yang kau butuhkan, katakana saja padaku.
Aku ada di luar.” “Okay.” Pintu tertutup. Aku mulai mengawasi jam dinding itu.
Entah mengapa aku mulai mengerti, dan langsung merelakan tubuhku tidur di atas
kasur yang empuk, terempuk yang pernah aku rasakan, yah, walau hanya mimpi.
© 2015 Aga ALana |
Stats
184 Views
Added on March 11, 2015 Last Updated on March 12, 2015 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|