Chapter 1 (2/5)

Chapter 1 (2/5)

A Chapter by Aga ALana

Hutan Khompyare

Seorang anak perempuan berambut pendek dengan kuncir satu sebelah kiri tengah berlari dalam hutan sendirian. Ia memegang sebuah kertas yang digulung dengan pita biru. Ia seolah tengah melindungi kertas gulungan itu dengan sangat hati-hati.

“Aku... aku tak akan... memberikan gulungan ini pada siapapun!” katanya sambil berlari. Ia bicara sendiri untuk menguatkan dirinya agar tak takut. Ia telah lelah berlari namun ia terpaksa berlari atau ia akan mati. Para pengejar itu terus berlari di belakangnya. Tersirat mata ingin memburu gadis kecil yang malang itu.

Gadis itu terus berlari, lari, lari hingga tak tahu harus kemana ia lari. Ia sudah di tengah hutan, ia tahu ia tersesat. Ia tak pernah masuk ke hutan sejauh ini. Para pengejar itu mulai mendekat. Malang, gadis itu harus terantuk batu dan jatuh hingga melukai kedua lututnya. Ia tak bisa lari lebih kencang lagi.

Namun gadis kecil itu tak ingin menyerah. Ia ingin menyelesaikan amanah yang diberikan kakeknya untuk terakhir kali. Ia kembali berdiri dan menahan rasa sakit di lututnya sambil menggenggam erat gulungan kertas itu ke badannya. Ia terkejut saat tahu para pengejar telah mengelilinginya.

“Pergi kalian! Jangan ganggu aku! Pergi! Ini bukan milik kalian!!” harik gadis itu.

Namun para pengejar tak mau mendengar gadis kecil itu. Mereka terus mendekat perlahan, memperlihatkan gigi taring mereka. Mereka para ras monster binatang berbentuk anjing hutan yang tak bisa bahasa manusia. Mereka hanya bisa meraung dan mengerang.

Semakin mendekat para pengejar, semakin kuat gadis itu menggenggam gulungan kertas itu. Ia melindungi kertas itu dibalik mantelnya. Ia akan melindungi kertas itu walau ia harus mati. Ia berpikir kembali, jika ia mati sekarang maka kertas itu akan diambil darinya, ia tak mau hal itu terjadi. Kematian yang sia-sia.

“Auuuuuuuu!!!”

Terdengar raungan lain di atas pohon dekat dengan gadis itu. Gadis itu mendongak, melihat ada anjing lain di atas kepalanya. Namun ia sepertinya beda. Apa ia ketuanya?

“Pergi kalian semua!!” kata monster itu. “Walau kalian mengambil gulungan itu dari tangan gadis itu, kalian tak akan bisa menggunakannya! Hanya manusia yang bisa melakukan summon! Monster rendahan seperti kalian akan membuang tenaga saja!”

Monster itu turun tepat di depan gadis kecil itu, seolah melindunginya. Gadis kecil itu terkejut dan terduduk. Badan monster itu begitu besar baginya. Bulunya berwarna merah membara. Taringnya terlihat sangat tajam. Ia tak tahu maksud monster yang satu ini, apa ia ingin melindunginya atau malah sebaliknya.

Monster lain begitu ketakutan melihat monster yang satu ini. Ia sangat berbeda. Aura yang terpancar begitu kuat dan menakutkan.

“Kau begitu sombong, dasar penghianat! Apa yang kau lakukan setelah keluar dari kelompok? Kau pasti mencuri ramuan dari peri hingga auramu telah berubah?”

“Aku tak pernah berteman dengan peri. Setelah aku keluar aku hidup sendiri.”

“Untuk apa kau bela anak kecil itu? Padahal ia dengan mudah dimakan! Dagingnya pasti sangat lembut dan organnya begitu segar! Kau pun dapat bagian jika kau tak menghalangi kami!”

“Aku tak tertarik dengan daging dan darah manusia! Aku tak perlu memberikan alasanku membela gadis ini! Pergi kalian jika tak ingin mati di dalam taringku!!”

Gadis kecil itu hanya terdiam. Ia tak mengerti dengan raungan dan erangan monster Hellhound tersebut. Mereka pasti memakai bahasa mereka, pikir sang gadis. Tapi apa? Apa cara untuk mengambil kertas ini dariku? Cara membunuhku? Mencabikku? Tidak! Aku tidak mau mati!!

“Pergilah! Atau coba saja melawanku!!”

“Grrrr...”

“Pergi!!”

Para pengejarpun pergi dengan langkah ragu. Namun mereka telah membuat keputusan untuk berhenti merebut gulungan kertas itu. Benar apa yang dikatakan Hellhound merah itu. Mereka pergi dengan kekesalan karena tak dapat kertas itu dan juga tak dapat menandingi monster yang mereka sebut penghianat tersebut.

“Mereka...... pergi?” heran gadis kecil itu. Ia melihat Hellhound merah yang ada di depannya. Ia tak tahu harus bagaimana, apa harus lari?

“Apa yang kau katakan pada mereka? Apa maumu?”

Hellhound merah itu berbalik pada gadis kecil itu. Pandagan matanya begitu tajam, lebih tajam dari gigi taringnya yang muncul dari mulutnya. Gadis itu sangat ketakutan, monster mengerikan itu sangat dekat dari ia berdiri. Ia tak bisa bergerak. Ia ingin melarikan diri dari pandangan itu.

“K...ka..ka..kau..ma...u...a..pa?”

Ia sadar akan pandangannya membuat gadis itu takut. Ia menutup matanya dan menggeleng. Ia mencoba merubah cara pandangannya agar tak membuat gadis itu takut.

“Isabellia, jangan takut. Aku tak berniat jahat padamu,” kata Hellhound itu kemudian.

“Kau tahu namaku?” kagetnya.

“Iya. Tentu saja. Karena aku datang untuk melindungimu,” jawabnya dengan nada ramah.

“Melindungiku? Benarkah? Tapi bagaimana bisa.... kau... tentangku... kenapa?” bingung gadis kecil itu. Ia tak mengerti namun saat monster itu bilang melindunginya ia merasa sedikit tenang dan bersandar pada pohon yang ada di belakangnya.

“Aku diutus oleh sahabat kakekmu. Ia menerima surat dari kakekmu bahwa akan terjadi hari ini. Aku langsung pergi setelah sahabat kakekmu membaca surat itu.”

“Sahabat kakekku?”

“Majikanku. Tidak, dia juga sahabatku. Ia akan marah padaku jika ia kusebut majikan,” kini Hellhound itu terlihat tersenyum, seulas senyum tulus.

“Aku tak pernah tahu kakek punya sahabat sepertimu?”

“Bukan aku! Tapi maji... bukan, sahabatku! Sahabat kakekmu juga sahabatku!”

“Tuh, ‘kan, kamu sahabat kakekku! Kenapa tak mengaku?”

“Akhhh....” Hellhound itu mendesah pasrah. Ia seperti sudah berhasil dipermaikan oleh anak kecil itu. “Seterah apa katamu!”

Isabellia tersenyum puas. Ia mengeluarkan gulungan kertas dari mantelnya. “Kakek pergi begitu cepat hingga tak sempat memberitahuku apa isi gulungan ini dan kenapa banyak yang mengincarnya.”

“Jadi, kakekmu belum memberitahu apa-apa padamu?” heran Hellhound itu.

Isabellia mengangguk.

“Ah, malangnya nasibmu, anak kecil,” katanya sambil menggelengkan kepalanya. “Jika kau tahu, kau akan kesal! Aku sendiri datang kesini sambil mengutuk nama kakekmu!”

“Heh? Kenapa?”

“Dia telah menjadikanmu umpan!”

“Umpan?!”

“Gulungan yang kau pegang bukanlah gulungan yang spesial. Aku tahu dari pita yang mengikatnya. Gulungan yang berharga itu pasti ada di suatu tempat di rumahmu dengan pita berwarna merah muda dan di tengahnya ada crystal mine agar tak ada yang dapat membukanya kecuali seseorang.”

“Siapa?”

“Kamu, cucunya. Siapa lagi?”

“Lalu, kenapa aku jadi umpan?”

“Mungkin karena ia tahu kamu akan selamat,” Hellhound itu menghembus napas lelah. Ia tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Ia datang untuk menolong cucu dari teman sahabatnya, tapi kenyataannya cucu itu telah menjadi umpan.

“Aku tak mengerti sama sekali! Kenapa kakek begitu kejam padaku?” gadis itu mengutuk dalam hati, menendang batu-batu kecil yang ada di dekatnya.

“Kalau begitu, kita cari gulungan yang dimaksud. Setelah mendapatkannya, ikut denganku ke rumah sahabat kakekmu. Kamu tinggal sendiri, bukan?”

“Baiklah kalau begitu,” kata gadis itu pasrah. Ia hanya anak tujuh tahun yang tak mengerti apa-apa. Dan memutuskan suatu hal, ia hanya menurut. Kesan anak kecil yang polos.

Mereka keluar dari hutan dengan Isabellia di punggung Hellhound itu. Isabellia merasakan bulu monster itu agak kasar namun terasa hangat dan nyaman. Apapun yang dilakukan sahabat kakeknya pada monster ini ia yakin telah merubahnya dari monster liar menjadi monster ramah lingkungan (?).

“Siapa namamu?” tanya Isabellia.

“Roax. Tak ada yang istimewa dari namaku,” jawab Roax simpel.

“Tak istimewa? Memangnya namamu bukan orantuamu yang memberikannya?”

“Sejak lahir aku tak pernah melihat wajah orangtuaku. Aku terdampar dan kau tahu berteman dengan para Hellhound liar seperti mereka yang akan memakanmu.”

“Maaf, aku tak tahu kalau masa lalumu begitu suram,”

“Kau sendiri bagaimana?”

“Aku pernah melihat wajah orangtuaku, dari foto yang diberi kakek. Kini kakek sudah tak ada. Aku sendiri. Sepertinya masa kecil kamu dengan keadaanku saat ini sama.”

“Jangan samakan denganku. Masa laluku begitu suram dan sering menindas yang lemah. Kini aku sudah sadar.”

Tak lama mereka pun keluar dari hutan dan tiba di depan rumah kecil Isabellia. Pintu terbuka dan telah rusak karena para pengejar itu. Mereka berdua masuk dan mencari gulungan yang dimaksud.

Isabellia mencoba berpikir jika seandainya ia kakek, kemana ia akan menyembunyikan gulungan tersebut. Karena benda itu kertas, pasti diletakkan dalam sebuah benda seperti kotak atau botol, mungkin.

“Roax, bagaimana kau tahu kalau ini palsu? Apa sahabat kakek yang memberitahukanmu?”

“Ya. Gulungan kertas itu hasil curian mereka berdua. Itu yang Hamdell katakan.”

“Apa? Curian?! Kakekku seorang pencuri?” kaget Isabellia tak habis pikir.

“Tidak. Mereka hanya mengambil apa yang menjadi hak mereka. Tapi cara mereka mendapatkannya kembali itu salah. Jika kau ingin tahu lebih banyak tanyakan saja nanti langsung pada sahabat kakekmu.”

“Oke.”

 Mereka kembali mencari gulungan dengan pita merah muda. Di kamar kakek Isabellia, di ruang tamu, di gudang, di dapur, bahkan di sumur. Namun hasilnya nihil.

“Huaaa!! Kakek nyimpannya jauh amet sih!!” kesalnya.

“Kita sudah mencari di semua tempat, bukan? Semua sudut ruangan. Apa ada ruangan yang kita lupakan?”

“Kamarku?”

Mereka saling bertatapan. Mereka bergegas ke kamar Isabellia. Roax mendengus untuk mencium keberadaan gulungan itu. Bau magic-nya tak begitu terasa, itu akan menjadi rahasia penyimpanan yang hebat. Tapi Roax mencium suatu hal, kental dengan magic yang belum pernah ia ketahui.

“Aku tak percaya kakek akan mengumpatkan benda berharga di kamar cucunya sendiri?” kata Isabellia sambil membuka lemari bajunya. Kemudian laci-laci kecil yang ada pada lemari baju, rak-rak buku, kotak mainan, lalu berpindah ke bawah kasur, hingga ia masuk ke kolong kasur mencoba mengetuk lantai kayu kalau ada sesuatu yang dapat dibuka.

Ia keluar sambil mendengus. “Huh, tidak ada!”

Isabellia masih kelelahan dari pelariannya. Saat duduk di kasur ia baru sadar bahwa lututnya belum diberi obat luka sama sekali hingga tampak merah lembam. “Au, au..”

Isabellia memegang lembut kedua lututnya. Ia baru merasakan sakit dan meringis. Ia melihat kiri-kanan, ia baru sadar bahwa obat luka mereka telah habis sejak kakeknya meninggal tak ada yang membuatkan obat luka meski ia tahu cara membuatnya.

“Ada apa dengan lututmu?” Roax mendekati Isabellia. “Ini bisa parah jika dibiarkan. Tak adakah obat luka?”

Isabellia menggeleng. “Apa gulungan ini benar tak berguna?” ia mengalihkan pembicaraan. Isabellia tak ingin membuat Roax cemas dengan lututnya.

“Aku juga penasaran. Coba bukalah. Tapi lututmu...”

Isabellia membuka gulungan itu dan seketika cahaya putih keluar menyinari kertas itu. Begitu silau untuk dilihat hingga Isabellia dan Roax menutup mata mereka. Perlahan cahaya itu mulai meredup, keduanya mencoba melihat apa yang terjadi, apa yang berubah dari kertas itu. Hingga Isabellia terkejut saat kertas itu menghilang.

“Mana ker...tas, HUA!!”

Isabellia terkejut dengan sosok asing di depannya. Roax langsung maju melindungi Isabellia. “Apa kau yang keluar dari kertas gulungan itu?” tanyanya.

Sosok itu awalnya juga terkejut. Namun ia perlahan tersenyum dan memijakkan kakinya ke lantai. Isabellia melihat sosok itu, sangat cantik dan anggun. Tak berbahaya sama sekali, pikirnya.

“Apa kamu peri?” tanya Isabellia gugup.

“Dia monster, ras Fairy,” tegas Roax.

“Apa kamu dari kertas gulungan kakekku?”

Monster fairy itu mengangguk.

“Apa kamu bisa bicara?” tanya Isabellia lanjut.

Fairy itu terdiam, tak ada reaksi. Lalu ia memiringkan kepalanya.

Tubuh fairy itu hanya setengah lebih dari Isabellia. Rambutnya berwarna biru laut, panjang dan terbelah dua seperti gelombang. Pakaiannya menyerupai kelopak bunga menutupi badannya yang putih dan mulus. Matanya berwarna biru berlian dengan bibir yang tipis.

“Monster yang baru pertama kali dipanggil tak mengerti apapun. Sama seperti bayi manusia yang baru lahir. Kalau kau yang memanggilnya, kau harus membesarkannya dan mengajarinya banyak hal,” jelas Roax.

“Kalau kamu?”

“Aku dilahirkan, bukan dipanggil.”

“Beda?”

“Tentu saja beda! Apa kakekmu tak mengajarkan apapun tentang dunia ini padamu?”

“Kakek hanya mengajarkanku cara membaca dan memasak, serta mengolah beberapa obat. Hanya itu.”

Selama Isabellia dan Roax berselisih, fairy biru itu bergerak mendekati foto Isabellia dengan kakeknya yang tergantung di dinding. Ia melayang mendekati foto itu, mencoba untuk mencopot foto yang sepertinya tertanam pada dinding. Tidak, memang tertanam. Foto itu hanya tampilan luarnya, dari sebuah kotak persegi panjang sekitar 30x15x15 sentimeter. Setelah kotak itu dapat ia keluarkan, ternyata kotak itu berat baginya hingga tak sengaja menjatuhkannya ke lantai.

“Apa itu?” kaget Isabellia.

“Kotak? Foto?” heran Roax yang melihat foto Isabellia dengan kakeknya telah berpisah dari kotak itu.

Fairy itu membuka tutup kotak dan mengambil apa yang ada di dalamnya. Benar, sebuah gulungan kertas dengan pita berwarna merah muda yang mengelilinginya. Fairy itu membawanya pada Isabellia. Isabellia tak percaya fairy ini dengan mudah menemukan gulungan yang mereka cari. Fairy itu melihat lutut Isabellia, ia menggunakan sihirnya yang ia keluarkan dari kedua tangannya melekat pada Isabellia.

“Apa yang ia lakukan?” cemas Isabellia.

“Ia mengobatimu dengan sihirnya,” jelas Roax. “Monster ras fairy memiliki keahlian dalam mengobati luka.”

“Oh, begitu,” kata Isabellia lega.

Lutut Isabellia sembuh dengan cepat tanpa sedikitpun terlihat goresan bahkan Isabellia tak merasa sakit pada lututnya seolah ia tak pernah melukai lututnya itu. “Ajaib!”

Setelah pengobatan selesai, Roax meminta Isabellia membuka gulungan itu, hanya sekedar memastikan apa memang itu gulungan yang benar. Dengan hati-hati Isabellia membuka gulungan tersebut, ia agak takut ada cahaya lain yang keluar dari kertas itu. Sedikit demi sedikit ia membuka gulungan itu, tampak tulisan menjadi kalimat kemudian bait.

“Bait sihir!” sentak Isabellia.

“Benar. Gulungan ini yang diincar banyak orang. Ayo kita segera ke tempat sahabat kakekmu di desa Hatreux!” saran Roax.

“Desa Hatreux?!!” kaget Isabellia. “Itu sangat jauh!”

“Asal kau tak jatuh dari punggungku, kau dan aku akan tiba di sana esok hari,” jawab Roax yakin.

“Lalu fairy ini bagaimana?” tanya Isabellia.

“Ia akan mengikutimu karena kau yang telah memanggilnya.”

“Aku hanya membuka kertas.”

“Dan tanpa kau sadari kau telah memanggilnya.”

Isabellia masih bingung. Ia menatap fairy itu. Mereka saling menatap. “Apa kamu akan mengikutiku?”

Fairy itu hanya tersenyum.

“Kalau begitu jangan sampai tertinggal, ...... Seharusnya aku memberinya nama, tak enak hanya memanggilnya dengan fairy, dia, kamu.” Isabellia memikirkan sebuah nama. Ia melihat fairy itu, semua warna yang ada padanya serba biru laut mulai dari rambut, bola mata dan pakaiannya. Ia mencoba nama apa yang cocok dengan warna biru laut. Yang berkaitan dengan laut, pikirnya. Tapi aku tak pernah ke laut, hehehe...

“Aha! Kalau begitu namanya, tidak, kamu akan aku beri nama dan ingat baik-baik namamu, ya! Blueberry!” kata Isabellia riang sambil menunjuk ke fairy.

“Kenapa nama buah?” heran Roax.

“Hehe... habis awalnya aku berpikir tentang laut karena warna rambutnya biru. Tapi aku belum pernah ke laut sama sekali. Ya, kuberi nama buah, apalagi, aku ‘kan tinggal di dekat hutan. Tak ada pilihan.”

“Hah, itu terserah kamu. Sepertinya ia menyukainya.”

“Uuerii...” fairy itu mencoba mengikuti apa yang dikatakan Isabellia.

“Wah, dia bisa bicara! Ya, namamu Blueberry, blu-ber-ri,” Isabellia membantunya mengeja.

“Bu...be...i..”

“Wah, dia cadel! Seperti anak kecil,” Isabellia tampak senang seperti mendapat mainan baru.

“Sudah. Nanti saja mengajarinya saat kita tiba di Hatreux. Cepat naik ke punggungku!” tegas Roax.

“Oke.” Isabellia menaiki punggung Roax. “Blueberry, ayo cepat ikut!” Isabellia mengulurkan tangannya pada Blueberry. Fairy itu tanpa ragu memegang tangan Isabellia dan ikut naik ke punggung Roax.

“Ternyata kalian tak berat.” Roax mencoba mengambil ancang-ancang keluar dari rumah. “Pegangan yang erat, para gadis! Karena tak ada jalan untuk berbalik!”

Isabellia langsung mendekapkan badannya pada Roax, memegang bulunya kuat-kuat. Begitu pula Blueberry melingkari tangannya pada Isabellia. Dengan cepat Roax melompat ke luar jendela dan berlari dengan kencang menelusuri jalan dan masuk ke arah hutan dengan jalan yang aman bagi mereka tanpa bertemu dengan binatang liar maupun monster liar yang jahat.

Desa Hatreux menunggu mereka.



~to be continued ^^


© 2014 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

303 Views
Added on November 14, 2014
Last Updated on November 21, 2014


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 – Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana