Chapter 7A Chapter by Aga ALanaIni cerita di mana Shirai Yuko akan lulus dari sekolah dasar dan cerita semasa SMP. . .
Saat pertama kali mengenal Fukushima Haruhi, menurutku ia anak yang imut dan juga pendiam. Ia sama sekali tak bisa berkomunikasi dengan orang lain kecuali kakaknya yang setahun di atasnya. Saat jam istirahat, ia makan bekal sendiri, saat bermain di lapangan sekolah ia hanya duduk di tepian, duduk paling belakang, gugup saat berdiri di depan kelas, benar-benar kacau! Padahal ia sangat manis, tak ada yang membencinya, malah banyak teman perempuan yang mengajaknya bermain. Senyumnya pun juga manis. Tentu saja anak laki-laki suka padanya, suka menjahilinya. Aku hanya melihatnya dari jauh dan menyapanya sesekali. Namun saat kelas dua, ia pindah rumah yang tak jauh dari rumahku. Mulai hari itu kami sering berangkat sekolah bersama, bermain bersama, buat PR bersama. Lalu aku juga akrab dengan Mika, kakaknya Haruhi. kami bertiga sering bermain bersama. Sifatku saat sekolah dasar sangatlah tomboi! Mungkin karena kedua kakakku mengajari ilmu bela diri, jadi jika ada anak laki-laki yang mengerjaiku langsung kuhadapi hingga aku sering berurusan dengan guru. Saat SD, aku seperti kakak bagi Haruhi, ia sering dijahili anak laki-laki karena ia mudah takut dan menangis, akulah yang membela dan melindunginya. Aku ingin persahabatan ini selamanya. . .
“Setelah lulus nanti, Yu-chan mau masuk SMP mana?” tanya Haruhi. Kami dalam perjalanan pulang dari sekolah. “Hmm... mungkin SMP negeri dekat sini aja. Haru-chan sendiri?” tanyaku balik. “Aku mau satu sekolah di Manami, soalnya ne-chan ada di sana! Oh, iya!! Kenapa kita tidak masuk ke sana bareng? Jadi kita bisa ke sekolah bareng~ buat PR bareng~” katanya riang. “Heh, buat PR bareng-nya keenakan kamu, dong? Bisa lihat PR-ku terus,” ejekku. “Aaaah! Hidoi yo~!!” kesalnya sambil menepuk tas punggungku. “Aku mau kita satu sekolah terus~!!” ia mulai manja. “Hmm... kupikir-pikir dulu, ya, Yu-chan. Aku tanya dulu sama ayah dan ibuku. Siapa tahu boleh,” kataku menenangkannya. “Yatta!!” Namun, bukan karena kedua orangtuaku melarang untuk masuk ke SMP Minami "walau biaya sekolahnya agak mahal dan bagaimanapun harganya orantuaku akan menyetujui selama aku bisa belajar, ada satu hal dan itu merupakan kesalahanku, keegoisanku, yang begitu membuatku menyesal. Aku cemburu oleh Haruhi. Di hari terakhir ujian akhir sekolah aku tak menemui Haruhi di manapun. Saat itu aku sangat khawatir. Karena kita beda kelas saat ujian, kutanyakan pada teman-teman apa mereka melihat Haruhi. Ada seseorang teman yang melihat Haruhi mendapatkan kertas kecil setelah ujian, setelah membacanya ia langsung berlari pergi entah kemana. Darahku tersentak. Aku takut isi kertas itu dari orang yang ingin menjahatinya. Walau ia tak lagi setakut yang dulu, ia harus berpikir dua kali untuk menghadapi orang-orang jahat itu sendirian. Aku berlari di lorong-lorong sekolah, mencari di setiap ruang kosong yang kemungkinan Haruhi berada. Halaman belakang sekolah. Ya, hanya itu satu-satunya yang memungkinkan, terkaku. Aku berlari cepat, tak mengindahkan pekikan guru yang menyuruhku untuk tidak berlari di lorong sekolah. Benar! Aku menemukan Haruhi di sana. Ia bersama seseorang. Hampir saja kusoraki namanya namun suaraku tertahan begitu tahu ia bersama siapa. Aku mengumpat di balik dinding. Aku tak berani melihat mereka berdua, namun telingaku bisa mendengar percakapan mereka. “Aku sudah menyukaimu sejak dulu. Tapi aku begitu takut mengatakannya padamu.” Pengungkapan cinta, kah? kataku tertawa dalam hati. Perasaanku saat itu bercampur aduk. Aku tahu rasa suka pada laki-laki di usia ini hanyalah cinta monyet. Namun begitu menyakitkan saat orang kusukai ternyata menyukai sahabatku sendiri. Aku tak mendengar jawaban dari Haruhi. Apa ia masih berpikir? Aku ingin sekali mengintip tapi takut ketahuan. “Kenapa,” suara Haruhi terdengar serak. “Kenapa kamu suka sama aku?” Kini suara laki-laki itu yang terdiam. “Kenapa? Suka ya... suka. Apa perlu hal khusus untuk menyukai seseorang? Aaah.... baiklah! Aku... aku.... suka kamu karena kamu manis dan baik. Saat kau dijahili anak lain, ingin sekali aku yang membelamu. Tapi... posisi itu sudah diisi oleh temanmu. Karena itu...aku...tak pernah...mengungkapkan perasaanku padamu.” Karena aku, kah? Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tahu aku harus pergi sekarang juga namun kakiku sangat terasa berat. Seberat apapun itu akhirnya kakiku dapat bergerak dan berlari meninggalkan mereka berdua. Aku tak bisa menahan sesakan di dada, aku benar-benar tak mengerti suasana saat itu. Kuputuskan untuk meninggalkan Haruhi. Aku kembali ke kelas, mengambil tasku lalu pergi dari sekolah secepat mungkin. Saat itu, aku tak mau bertemu dengan Haruhi. Tak akan! “Aku... gak ngerti maksud dari perkataanmu. Kalau suka kenapa tak dikatakan dari awal? Tapi kenapa kamu seperti menyalahkan Yu-chan?” “Eh, jadi....?” “Tapi maaf. Kalau mau menggantikan posisi Yu-chan, kamu gak bisa. Karena aku sangat menyukai Yu-chan dari pada kamu. Maaf, ya~”
Esok... “Yu-chan hidoi~! Kenapa kemarin aku ditinggal? Kenapa kamu pulang sendiri?” Haruhi mulai merengek di dalam kelas, itu membuat teman yang lain tertawa. Haruhi menepuk-nepuk mejaku. Aku mencari ide agar bisa mengelak. Mana mungkin kuceritakan yang sebenarnya. Tapi. . . aku juga penasaran, apa ia menerima pernyataan cinta itu atau tidak. “Kupikir kemarin kamu sudah pulang, makanya aku langsung pulang. Lagipula kemarin suara perutku tak tertahankan.” “Kemarin aku hampir diculik karena pulang sendiri~” Ia masih merengek, entah katanya itu benar atau tidak, aku tak menganggapnya serius. “Baguslah kalau begitu. Siapa tahu ada orang kaya yang mau memungutmu,” ejekku. Suara rengekannya bertambah keras dan mulai memekakkan telinga. Kami semua di kelas menutup telinga. Kututup mulutnya dengan lap tanganku. “Hmppp!” Akhirnya Haruhi terdiam. “Lagi pula, kemarin kamu ke mana?” Aduh, bodoh! Kenapa aku tanyakan? Aku benar-benar payah, masih penasaran dengan pernyataan kemarin. Haruhi terdiam tapi wajahnya merona. Tiba-tiba Mina, salah satu teman sekelas kami, melingkari tangannya ke pundak Haruhi. Kehadirannya membuat kami terkejut. Lalu diikuti oleh teman perempuan yang lain. “Kau tahu? Kemarin ia dapat pengakuan dari Nishi-kun! Haruhi-chan, kenapa tak mengatakannya pada sahabatmu sendiri, hah?” sikutnya. Haruhi benar-benar malu. Ia tak menjawab. Aku berusaha untuk terkejut. “HAH?” Semua kaget mendengar ekspresiku. Oke, mungkin usaha terkejutku berlebihan. “Maksudnya? Terus bagaimana?” tanyaku pada Mina. “Yang aku tahu, pengakuan kemarin membuat Nishi-kun tak sekolah hari ini! Yuko-chan tak memperhatikannya?” Aku berpura-pura bingung. Haruhi sama sekali tak mengatakan sepatah katapun. Kediamannya dengan wajah merona membuatku kesal. Haruhi mulai membuka mulut, ia ingin mengatakan sesuatu. “Et....sshhhiiiinn.....!” Ia malah bersin. Ibu guru pun masuk ke kelas dan semua murid duduk di bangku masing-masing. Haruhi duduk dua nomor di depanku. Selama pelajaran berlangsung, ia terus melihatku yang ada di belakangnya dengan wajah sedih. Karena terlalu sering akhirnya ibu guru menegurnya keras.
“Kenapa kamu mengambil sekolah yang berbeda dariku, Yu-chan?” Haruhi membentakku saat ia tahu aku telah diterima di sekolah yang berbeda dengannya. Dan ia telah mendaftar di SMP Minami di mana Mika bersekolah. Aku terdiam. Ia masih menunggu jawabanku. Lapangan basket dekat rumah kami membisu. “Kan sudah aku bilang, aku sekolah di mana orantuaku menyetujuinya. Lagi pula... masuk Minami perlu biaya besar. Aku tak mau membebani orangtuaku.” Haruhi terdiam. Dari raut wajahnya tampak penyesalan. “Seharusnya aku tak memaksakanmu. Maaf, Yu-chan.” “Bukan salahmu, Haru""” “Aku juga terlalu manja! Seharusnya aku ikut Yu-chan saja masuk sekolah negeri, jadi ibuku gak terbebani kedua anaknya masuk sekolah yang mahal itu!” Kini aku berada dalam posisi yang serba salah. Aku telah tak terus terang padanya sejak kejadian itu, memendam perasaan sendiri dan membiarkan perasaanku terlalu lama larut dalam kebencian. Entah harus membencinya atau membenci diriku sendiri yang tak bicara yang sejujurnya. “Kita berdua yang salah! “Kita berdua saling bersikap egois! Itu yang aku simpulkan. Karena itu, jangan menyalahkan diri sendiri, Haru-chan!” jelasku. Aku tersenyum padanya agar ia tak menangis lagi. Haruhi tak lah egois. Ia hanya ingin satu sekolah dengan kakaknya. Aku memahami perasaan itu. Yang egois itu hanya aku. Aku sengaja tak satu sekolah dengannya agar tak terjadi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Agar persahabatan kita tak diisi dengan pertengkaran, membiarkan adanya privasi antara kita berdua, membiasakan diri untuk tak lagi selalu bersama. Apa lagi alasanku? Aku selalu menghindar. Menghindar. Melarikan diri... Haruhi mulai mengerti dan kami mulai menjalankan kehidupan SMP kami masing-masing. Namun kami masih bisa jalan bersama sampai di halte namun berbeda bus. Atau saat aku telah memiliki sepeda, kubonceng ia sampai halte lalu kutinggalkan ia untuk naik bus karena sebenarnya jarak sekolahku bisa dicapai sekitar duapuluh menit bersepeda, tak terlalu jauh.
Kumulai masa SMP-ku seperti biasa, mendapatkan teman, mengikuti sebuah klub, belajar dan membuat PR, bergosip, maupun jalan-jalan setelah pulang sekolah. Semuanya terasa mudah walau tak ada Haruhi di sini. Semoga Haruhi di sekolahnya juga begitu. Namun saat kelas dua. . . “Yuko-chan sangat akrab dengan Tachibana Ren, bukan? Sejak kapan kalian saling kenal?” “Dia itu populer dikalangan gadis. Wajahnya tampan, taklah sombong dan mau membalas sapaan orang lain meski ia tak mengenalnya.” Kedua temanku, Ruri dan Kyoko sangat antusias membicarakan Tachibana Ren, sang bintang baseball sekolah. Aku mengenalnya saat kelas satu, kami satu kelas dan satu klub. Dulu ia mengambil klub sastra padahal ternyata ia sangat hebat dalam olahraga. Tapi akhirnya ia pindah klub ke baseball. Perlombaan baseball se-SMP Tokyo di musim dingin tahun lalu mengantarkan sekolah menjadi juara pertama. Ia adalah salah satu pemain terbaik di tim saat itu. Dan tentu saja kepopulerannya semakin naik. Bahkan sudah ada rumor ia akan dijadikan ketua klub saat kelas tiga nanti. “Jadi, bagaimana?” desak Ruri. “E..eto.... Aku sendiri juga bingung,” jawabku canggung. “Aku sendiri juga bingung sejak kapan akrab dengannya. Tunggu, memangnya aku terlihat akrab dengan Tachibana?” tanyaku balik. “Sangat!” timpal Kyoko. “Kau tak tahu, banyak yang membicarakanmu dengan Tachibana karena ada yang melihat kalian pulang bersama!” “Kami hanya kebetulan pulang bersama,” elakku. “Tapi dia yang memboncengimu dengan sepedamu, bukan? Pokoknya orang yang melihat kalian itu, mereka bilang kalian tampak sangat dekat. Masih mengelak?” desak Kyoko. Aku terdiam. Saat itu memang kebetulan aku bertemu Tachibana di jalan pulang. Sambil mengiringi sepeda, kami tak bicara apapun selain ia yang mengajak jalan bersama hingga halte. Namun ia malah mengambil alih sepedaku dan memintaku untuk diboncengi ke suatu tempat yang ingin ia kunjungi. Tak lama bersepeda, kami tiba di taman belakang sekolah. Di sana kita bisa melihat matahari tenggelam, pemandangan yang sangat indah. Ia banyak bercerita, aku hanya mendengarkannya. Setelah kejadian itu kami tampak akrab, yah, itu tampak sekali dari cara kami saling menyapa. Jujur, aku menyukai Tachibana sejak kelas satu. Itu membuatku bisa melupakan Nishi, cinta pertamaku. Namun aku tak banyak berharap. Kami terlihat akrab dan sepertinya cocok, tapi cocok sebatas teman. Tak ada yang menginginkan kita menjadi sepasang kekasih. Tak akan yang ada. Sejak gosip itu beredar, fansnya Tachibana mulai memeberiku ancaman hingga mengerjaiku bila aku sendirian. Banyak teman perempuan yang mulai menjauhiku, bahkan Kyoko dan Ruri tak mau pulang bersama denganku. Seakan duniaku tak ada orang. Sendiri. Aku mulai menyendiri dan tak banyak berkomunikasi, baik di kelas maupun di klub. Hingga akhirnya aku keluar dari klub dan menyendiri di pustaka saat jam istirahat. Satu hari beberapa siswi ingin mengerjaiku dengan akan mengunciku di gudang sekolah. Karena aku tak suka diinjak, kulawan mereka semua hingga mereka sendiri yang kena batunya. Tapi esoknya aku yang masuk ruang konseling dan diskors beberapa hari. Lalu, entah gosip apa yang disebarkan mereka hingga Tachibana pun tak lagi menyapaku. Ia akan mengalihkan pandangannya saat bertemu denganku. Perempuan gila dengan kekuatan super? Siswi gorila? Konyol! Acara kelulusaan pun kulewati sendiri. Bisa saja aku masuk SMA Swasta Seirin, namun aku menghindari Tachibana yang masuk sekolah itu dan juga pacarnya "mereka jadian saat kelas tiga saat gosip dan diriku telah hilang dari dunia. Haruhi tak tahu alasan itu.
Dan kini, apa aku harus mengulangi kesalahan yang sama? Hei, bukan aku yang memulainya! Tak bisa lihat, kalau aku tak pernah bicara akrab dengan cowok populer itu? Menyebalkan! Aku tertidur di ruang pustaka. Nanase-senpai membangunkanku. Aku sangat malu saat tahu ketiduran sampai jam enam sore lewat! Nanase-senpai dan beberapa temannya yang lain memang masih berada di pustaka karena masih belajar. Segera kubereskan buku-buku lalu pamit pulang pada mereka semua. Untung hari ini tak ada kerja sambilan. Setelah kelas tiga, aku mulai bekerja di toko roti langganan Haruhi. Orangtuaku tak tahu, jangankan setuju, bantu mengantar barang saja sangat susah minta izinnya. Alasannya karena aku anak perempuan, anak terakhir, yang dipikirkan hanya belajar bukan kerja mencari uang. Tapi aku memang keras kepala, tetap mencari kerja sambilan di mana ada lowongan. Perutku mulai keroncongan. Yang terlintas pertama di pikiranku hanya satu, toko roti tempatku bekerja. Tak terlalu jauh dari halte "bus ke rumah, aku berputar untuk ke toko itu membeli beberapa roti yang dapat mengisi kekosongan perutku. “Ah, Yuko-chan! Ada apa?” sapa pemilik toko, Watanabe-san. Bapak satu anak yang menduda sudah setahun lebih dan banyak yang mengejarnya. Ya, pantas saja pelanggannya wanita semua, terutama yang mengharapkan cintanya. Apalagi, Watanabe-san masih terlihat muda, tak seperti bapak-bapak. “Konbanwa. Eto, mau beli roti,” kataku sambil mencari letak roti kesukaanku. kuambil nampan dan sendok pengapit untuk mengambil roti isi coklat mentega dua buah. Kubawa ke kasir. Di sana ada Reiko yang sama masuk bekerja denganku, tapi dia lebih muda setahun dariku. “Yuko-senpai lagi semangat belajar, ya? Beli rotinya banyak!” “Memangnya kenapa?” bingungku. “Iya, kalau senpai lagi serius belajar tak tahu sudah makan satu roti ukuran besar!” katanya semangat. Ya, kami pernah belajar bersama setelah kerja, karena ada ruang untuk kami belajar di belakang, aku mengajarkannya matematika dan tak tahunya sudah makan roti pisang rasa coklat ukuran besar.padahl rencananya mau dibawa pulang, tapi tinggal seperempat. Setelah membeli roti, aku kembali jalan ke halte. Tak jauh, banyak kerimunan orang, banyak gadis. Heran. Memang ada pertunjukan apa? Atau ada artis lewat? Karena penasaran aku mencoba mendekat, tak terlalu dekat. Ingin tahu apa yang terjadi. “Ayolah~!” “Maaf, tapi aku harus pulang.” “Aah, sebenatar saja. Ayo ke karaoke.” “Tidak! Pergi ke cafe saja bersamaku.” Laki-laki itu kewalahan dengan keinginan para gadis yang mengerumuninya. Dari kacamata dan topi yang ia kenakan, aku sama sekali tak mengenal jika ia seorang artis. Tapi dari caranya bicara. . . . . . . firasatku buruk!! Laki-laki itu menoleh kearahku. Sinyal bahaya berbunyi di kepalaku, spontan kubalikkan badan setelah merinding dilihatnya. Apa yang harus kuhindari malah bertemu! “Yuu-chan!” panggilnya. Kakiku berhenti. Aku tahu itu hanya caranya menghindar dari para gadis, tapi caranya memanggil namaku sangat mirip dengan Haruhi, itu yang membuatku berhenti. Para gadis saling berbisik dan bertanya. “Siapa yang kau panggil?” tanya salah seorang. “Maaf. Jemputanku sudah datang,” katanya berlalu. Para gadis tertegun dan hanya melihat laki-laki itu berlalu dengan gadis lain yang masih memakai seragam sekolah yang sama sekali tak modis. Saat ia mendekat, aku langsung menghindar dengan berjalan cepat. Ia memanggilku terus dengan panggilan ‘Yuu-chan’, dan itu membuatku kesal! Kenapa sepupuan bisa mirip cara memanggilnya? Padahal hanya sepupu jauh. Ia kesal dengan sikapku yang menjauhinya. Ia menyamakan langkahku lalu menarik tanganku padanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menatapku serius. Aku sadar ia meminta bantuanku untuk kabur dari para gadis itu. Aku pasrah dan mengikutinya. Aku tahu gadis-gadis itu kesal denganku, karena itu kupalingkan wajahku dari mereka agar tak ada yang mengenaliku. “Sampai kapan kau menarikku?” tanyaku kesal. Ia tersentak dan berhenti. Aku mengalihkan pandangan pada tangannya yang menggenggam tanganku. “Howa! Gomen, Shiraicchi~” sesalnya. Ia melepaskan tanganku. “Aku terpaksa. Maaf!” Tanpa sadar kami telah berada di taman penuh anak-anak kecil bermain, ada yang bermain seluncuran, ayunan, dan kejar-kejaran. Kami hanya melihat hingga orangtua mereka menyuruh mereka semua pulang. Taman itu kini sepi. Ia malah masuk ke taman itu saat aku akan beranjak pergi. Ia berjalan menuju ayunan. Setidaknya pamitan, sekedar basa-basi, sesudah itu tinggalkan saja orang itu! pikirku. Kuikuti ia yang kini duduk di ayunan. Ayunan itu terlihat kokoh dan orang dewasa bisa memakainya. “Senpai tak pulang?” tanyaku. “Kita sudah sekelas, jangan panggil aku senpai. Aneh rasanya,” jawabnya ringan. “Aa, sou,” jawabku. Aku kembali diam. Kulihat sekitar, matahari segera tenggelam. Sudah saatnya aku pulang. “Ano nee sen... Ryouta-san, hari sudah mulai gelap. Aku mau pulang""” “Aku teringat saat kecil dulu,” ia memotong kalimatku. Ia memandang lurus sambil berayun kecil. “Tentang taman, ayunan, kau tahu?” Kini ia menatapku. “Entahlah,” jawabku kesal. Aku sama sekali tak mengerti perkataannya. “Kalau tak ada yang diceritakan lagi, lebih baik aku pulang. Permisi,” kataku sambil berlalu. Dari ayunan berderik, aku tahu ia berdiri dan meninggalkan ayunan itu berayun sendiri. Ia mengejarku, menyamakan langkahku. “Hai’ssu, ojou-chan~” Walau risih, aku tak membalas perkataannya. Kami berjalan menuju halte. Aku tak tahu arah rumahnya di mana tapi ia masuk bus yang sama denganku. Dan keluar dari bus sama denganku. “Senpai membuntutiku?!” kesalku padanya. “Eits, jangan marah dulu! Aku hanya mengantarmu pulang.” “Tak usah. Aku bisa pulang sendiri!” Aku terus berjalan cepat bermaksud meninggalkannya, namun langkah kakinya lebih panjang dariku. Ia tetap bisa menyamai langkahku. “Lagi pula aku sudah lama tak main ke rumah Haruhicchi. Jadi sekalian,” katanya tertawa. Aku diam saja dengan apapun yang ia katakan. “Tadi itu benar-benar merepotkan! Aku sudah bilang untuk tidak ikut pemotretan tapi kata agenku hanya sekali dan terakhir kalinya karena aku sudah kelas tiga. Karena itu aku bolos latihan, pasti mereka semua memarahiku besok saat latihan.” Aku tetap diam. “Berkat Shiraicchi aku selamat dari bencana. Padahal aku sudah lelah dan segera ingin pulang. Apapun alasannya aku sangat susah mengelak dari mereka.” Aku tetap diam. “Arigatou nee, Shiraicchi. Shiraicchi? Kenapa, kok diam? Sariawan?” “Ukh! Bisa tidak, tak memanggilku dengan akhiran cchi?” kesalku membludak. “Cchi itu ciri khasku? Tak boleh?” katanya memiringkan kepala. “Aneh didengar,” jawabku lemas. “Sudahlah, rumahku lewat jalan ini. Rumah Haruhi ada di jalan berlawanan. Kalau gitu aku permisi.” Aku tahu sikapku terlalu kasar dan dingin. Tapi aku tetap saja melakukannya dan berlalu. “Shiraicchi!” panggil Ryouta-san. Aku berhenti dan membalikkan badan. “Arigatou,” katanya sambil tersenyum. Ia melepaskan topi lalu menunduk, memakai kembali topinya dan berlalu ke jalan berlawanan menuju rumah Haruhi. Aku sadar, tak seharusnya aku bersikap kasar padanya. Bahkan terlalu banyak. Hanya untuk menutup perasaan ini. ~to be continued ^^ © 2014 Aga ALana |
Stats
125 Views
Added on October 22, 2014 Last Updated on October 22, 2014 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|