3_Where Am I Going to Do Right Now?A Chapter by Aga ALanaHari-hari tanpa sosok sang ibu sudahlah sangat berat bagi Kai, dan kini ia harus menerima keadaannya tanpa seorang ayah disisinya. Ia tak tahu bagaimana keadaan ayahnya yang entah dimana. Apa ia selamat saat sekumpulan ‘robot’ besar menghampiri rumah mereka beberapa hari yang lalu? Jika iya, kenapa tak pernah mampir ke rumah yang kini ia tempati atau sekedar menelpon menanyakan keadaannya "karena saat itu listrik dan telepon masih berfungsi dengan baik. Kai belum tahu hal apa yang akan terjadi, dalam kurun waktu dekat ini. Ia masih anak kecil, umurnya saja baru tiga belas tahun. Dan itu membuatnya semakin kesal. Ia tak ingin dianggap sebagai anak kecil. Ia ingin tahu apa yang terjadi. Semenjak hari itu, tak ada satu pun yang memberitahukannya apa yang sebenarnya yang terjadi, tidak juga dengan Rian. Mereka semua terbungkam. “Jika kejadian beberapa hari yang lalu ada kaitannya dengan hari dimana Yula lahir, mungkin aku bisa mengerti bahwa keluargaku terancam, begitu pula dengan semua anak-anak yang ada disana. Tapi kenapa mereka harus diam dengan semua ini? Apa tak ada cara lain selain melarikan diri? Melaporkan mereka pada pihak berwajib atau apa gitu?” Kai bicara sendiri di bangku taman. Ia sendirian, tak ingin ditemani oleh siapapun. Tidak untuk anak-anak seumurannya, tidak untuk Rian apalagi Yula. Ia sangat tampak kesal. Dari jauh, ia bisa melihat anak-anak yang lain bermain di taman, terutama Yula dan anak-anak seumurannya, berlari kesana-kemari. Apa...tak ada yang bisa kulakukan?, gumam Kai dalam hati. Kini ia bosan dengan melihat tingkah anak-anak yang bermain riang tanpa kekhawatiran akan apa yang terjadi nantinya. Ia melangkah pergi, masuk ke dalam rumah. Ia ingin mengambil segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya. Tak sengaja mendengar percakapan yang tak seharusnya ia dengar. “Saya ingin mengikuti jejak Pak Kira, buk. Rasanya, saya tak bisa juga berdiam diri seperti ini walau memang tugas saya menjaga adik-adik disini. Tapi, saya telah dewasa, saya juga ingin berbakti pada negara,” kata Rian pada Ramius. “Tapi apa kamu tahu bagaimana resikonya, Rian? Itu sangat sulit. Tugasku juga untuk melindungi kalian semua, yang kecil maupun yang besar "seperti kamu. Tetap tinggal disini juga bukan berarti kamu tidak berguna. Ingat, yang paling penting adalah menjaga Kai dan Yula, bukankah begitu?” “Tapi saya...” Rian menghela napas, menahan kesabarannya, menahan hasratnya. “Tapi saya hanya ingin menjadi seperti Pak Kira. Dan saya yakin Pak Kira selamat dan saya ingin membantunya di kemudian hari,” jelasnya kembali. Disana ada Ruri dan beberapa anak yang sebesar mereka, termasuk anaknya Ramius, tapi mereka hanya mendengarkan saja. “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi dengan umurmu yang segini dan tanpa pengalaman, aku sangat cemas. Kecuali anak yang berumur limabelas tahun, mereka masih dilindungi dan diberi pelatihan lebih. Namun aku tetap tak akan memberi kalian izin ke medan perang,” kata Ramius tegas. Medan perang?, bingung Kai yang ada di luar ruangan. Mereka semua diam. Keinginan mereka berkumpul adalah untuk meminta izin untuk mengikuti pelatihan perang usia dini. Mereka berpikir, setidaknya untuk bisa menggunakan senjata dan melindungi orang-orang yang ada disekitar mereka. “Mama, setidaknya ada beberapa diantara kami yang diperbolehkan untuk mengikuti pelatihan itu. Kami tahu ini bukanlah permainan dan kami serius, ma. Tidakkah mama merasa perjuangan ini harus dilanjutkan?” jelas anaknya Ramius dengan sopan, Jean. “Jean...” Bahkan anaknya sendiri menginginkan ‘hal itu’, ia tak bisa bicara. Ia tak dapat memberikan kesimpulan apapun. Walau ia tahu Jean adalah anak yang tegas dan kuat, namun sangatlah sopan pada orangtuanya, tapi ia tak dapat melepaskan anaknya. “Ini bukanlah tentang cerita heroik! Medan perang bukanlah hal bisa dianggap mudah, berbekal kecerdasan? Kekuatan? Itu belumlah cukup. Terkadang apa yang terjadi diluar pemikiran kita dan harus bertindak spontan. Apa kalian sanggup meninggalkan mayat saudara kalian sendiri demi menyelamatkan diri? Membiarkannya tergeletak tanpa pemakaman yang layak? Atau ia telah menjadi debu, tanpa sisa apa pun?” Semua terdiam kembali. Namun niat mereka tak bergeming sedikit pun. Mereka ingin membela diri, namun tak tahu harus berkata apa. Apa ini salahku? Seharusnya aku tahu kondisi ini akan terjadi, dan memang seharusnya dari awal aku memberikan ilmu dan pengetahuanku pada anak-anakku untuk menghadapi keadaan ini, kata Ramius dalam hati. Ia memegang kepalanya, pusing menghadapi hal ini kembali. Umurnya yang telah menua, tak ada lagi kekuatan seperti ia muda dulu di mana ia adalah komandan sebuah kapal perang Orb bernama Archangel. “Mama... ma? Tak apa bukan? Maaf jika kami lancang,” kata Jean khilaf. “Tidak sayang. Tak apa,” jawab Ramius. Ia berpikir kembali, mencari solusi. “Jean, sampaikan hal ini pada ayahmu dan tanyakanlah padanya. Mama tak dapat memutuskan hal ini. Sampai ayahmu memutuskan mana yang terbaik, kalian akan aku ajarkan apa yang bisa ku ajarkan. Ada ruangan rahasia di bawah, khusus untuk melatih kalian. Dengan pelatihan ini setidaknya kalian dapat membela diri dan melindungi adik-adik kalian, bukan?” kata Ramius memberikan pencerahan. Jean, Rian maupun yang lain sangat lega. Setidaknya mereka diberi kesempatan dan kesempatan itu taklah disia-siakan. Ramius tersenyum namun dibalik itu ia masih cemas dan yah, sebagai orangtua yang berpengalaman, ia akan mengajarkan apa pun yang ia ketahui. Semuanya. Kai tahu percakapan itu telah selesai dan sebentar lagi Ramius dan yang lainnya keluar dari ruangan itu maka ia pergi menjauh dari mereka semua. Ia tak ingin ketahuan bahwa ia telah menguping "secara tak sengaja. Ia pergi ke dapur, mengambil gelas dan menuangkan air putih kedalamnya. Saat Ruri tiba di dapur, ia menyapa anak itu tanpa kecurigaan. Meletakkan gelasnya, dan Kai beranjak pergi dari dapur. Menjauhi semua anak yang seumuran Rian. Ia kembali melewati ruangan yang menjadi percakapan antara Ramius dengan Rian dan yang lainnya. Tak sengaja menemukan selebaran yang terletak begitu saja di lantai ruangan itu "ruangan itu terbuka begitu saja, dan seharusnya kertas itu disimpan ditempat yang aman. Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, kata Kai dalam hati. Ia memegang kertas itu dan menyimpannya dalam kantong celananya. ~to be continued~ © 2014 Aga ALanaReviews
|
Stats
322 Views
1 Review Added on October 15, 2014 Last Updated on October 15, 2014 AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|