Chapter 6

Chapter 6

A Chapter by Aga ALana

Musim semi. . . .

Saat kalian bertemu dengan musim semi pastinya juga bertemu dengan semester baru. Ya, di kelas yang baru, teman baru, suasana belajar yang berbeda dari tahun lalu dan tentunya pelajaran yang lebih sulit dari tahun sebelumnya.

Semua siswa menantikan hal itu dan tentu saja denganku. Walau begitu... aku tak mengerti hal apa yang akan menemuiku di kelas tiga ini. Seorang siswi yang seharusnya kelas dua tapi karena kelas percepatan yang diambil, mau tidak mau, suka tidak suka dengan keadaan kelas tiga yang dipenuhi oleh senior harus kuhadapi. Aku harus tak peduli dengan apa yang akan dikatakan oleh mereka, niatku hanya untuk belajar dan lulus. Hanya itu! 

Dan sampai sekarang aku masih belum memberi tahu Haruhi tentang ini "soal  keluarga mereka telah tahu saat penerimaan rapor, mereka sangat terkejut! Haruhi pasti terkejut jika sampai tahu aku sudah kelas tiga SMA. Bagaimana ekspresi wajahnya, ya? Membayangkannya saja membuatku tertawa sendiri. Kalau satu sekolah, ia pasti akan mencariku dan merengek di depan banyak orang, suara nangisnya yang cempreng bakal merusak gendang telinga siapa saja yang mendengarnya!

Tapi itu tak mungkin karena kita tak satu sekolah. Andai... andai saja. Haruhi. . . Haru...hi?

Ryou...ta Kise?

Tiba-tiba saja aku teringat Ryouta-san, sepupunya Haruhi. Akh! Kenapa aku bisa sampai lupa??! Kalau aku kelas tiga, berarti tahun ini dia juga kelas tiga, bukan? Kenapa aku tak ingat sama sekali??

Ja...jangan sampai kami satu kelas! Tuhan, kumohon jangan! >/<

Setelah melihat papan pengumuman di mana kelas yang aku masuki, aku langsung masuk seakan-akan mengendap, menjauhi orang-orang yang mengenalku akrab. Jika mereka dari satu kelas, seperti Ogata Resha, ia pasti sangat cerewet bertanya aku masuk kelas mana. Kupikir itu mungkin saja.

Apa aku berlebihan? Rasanya tak akan ada yang menanyakan aku di kelas berapa. Tak ada yang begitu tertarik dengan keadaanku.

Saat berada di depan pintu kelas 3-B, dengan keadaan pintu tertutup dan banyak suara yang ada dalam kelas itu menambah kengerian bagiku untuk membuka pintu itu. Terasa sangat berat. Serasa masuk pintu ke dunia entah berantah lalu bertemu dengan monster-monster bermata tajam. Horor!

Kuberanikan diri untuk membuka pintu. Kupegang gangang pintu, belum kugeser pintu telah terbuka!

Eh!

“Eh?”

“Eh. . .HEEEEEEE?” kagetku spontan.

“Ada apa Shiraicchi? Kenapa kaget begitu?”

Ia tersenyum akrab padaku, namun senyumnya kini lain pada yang biasanya, seperti telah sukses mengerjaiku! Gigi putihnya terlihat tertata rapi. Tapi bukan itu yang membuatku merasa aneh padanya. Sepertinya ia telah tahu kalau aku akan sekelas dengannya! Kenapa aku tak melihat namanya di papan pengumuman? Ceroboh, aku terlalu sibuk mencari namaku hingga tak lihat siapa saja yang sekelas denganku. Eh, tapi rasanya percuma karena aku tak tahu satupun nama anak kelas dua dulu, tehe, yah kecuali Ryouta-san.

Tunggu, tunggu! Dia keluar dari kelas ini bukan berarti dia murid kelas ini, bukan? Aku mencoba untuk tenang seperti biasa.

“Shiraicchi?” ia mencoba menyadarkanku dari kebingungan.

E..eto...

Ternyata aku tak bisa bicara~! Bibirku terasa kaku untuk bicara. Huhu....

“Siapa?” tanya teman Ryouta-san, ia telah lama berdiri di belakangnya. Sepertinya mereka ingin keluar. Aku langsung menghindar dari pintu dengan kepala yang tertunduk. Tanganku bergerak memberi isyarat douzo pada mereka berdua.

Temannya itu merasa aneh dengan sikapku.

“Yang kubicarakan tadi~,” jawab Ryouta-san.

Yang kubicarakan tadi? Maksudnya?

“Oh, jadi ini yang ikut kelas percepatan itu? Hee, tak kusangka dia satu kelas dengan kita. Kalau begitu, dia pintar, bukan?”

Orang itu tahu aku ikut kelas percepatan? Sial! Ini pasti ulah Ryouta-san! Kataku geram dalam hati. Kutatap tajam-tajam ke arah laki-laki berambut pirang kuning itu. Tapi saat ia beralih menatapku, kualihkan pandanganku ke lantai terjauh.

“Kalau ingin masuk, ya masuk. Jangan menghalangi jalan!”

Aku kaget. Seorang gadis berambut sebahu dan memakai kacamata ada di belakangku. Suaranya yang tegas membuatku kaget sekaligus teringat akan petugas keamanan di sekolah! Ia pasti bisa jadi polisi wanita! (gak nyambung -_-)

Aku memberinya jalan agar ia bisa lewat. “Gomenasai,” sesalku. “Douzo,” kataku memberi jalan padanya.

Senior yang satu ini menatapku tajam. Ia membetulkan letak kacamatanya dan terus menatapku curiga.

“Kamu sendiri tidak ingin masuk kelas?” herannya.

“Tidak, eh, bukan begitu. Aku...” aku mulai kegagapan kembali.

“Dia itu malu masuk ke kelas baru, Honoecchi. Jangan keras seperti itu.”

“Jangan panggil aku dengan tambahan cchi! Kau sangat memuakkan!” kesal senior berkacamata itu. “Dia ini bukan malu masuk kelas, tapi karena kamu menghalangi jalannya!”

“Eeh, jadi begitu? Gomen na, Shiraicchi. Aku hanya senang kita sekelas~, makanya aku ingin menyambut kehadiranmu,” kata Ryouta-san dengan wajah sedikit sesal. Ia memberi jalan untuk kami masuk kelas. Senior berkacamata itu, kalau tidak salah namanya Honoe-san, menarik tanganku untuk masuk.

“Kalau ada apa-apa, ada yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja padaku, ya. Jangan segan-segan dengan ketua kelas ini,” ia menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Belum ada pemilihan ketua kelas, Honoe, kau terlalu terobsesi menjadi ketua""”

“Berisik!” Honoe-san memotong perkataan temannya Ryouta-san, suaranya bergema dalam ruang kelas ini dan berhasil mengalihkan perhatian satu kelas. Saat ia sadar akan sikapnya itu, Honoe-san mendehem ringan lalu bersikap tenang.

“Tentu saja aku akan mendapatkannya,” katanya percaya diri.

Dengan wajah facepoker aku ingin menertawakan Honoe-san karena sikapnya yang kekanakan itu. Namun ia tampak serius ingin menjadi ketua kelas, hingga kuurungkan niat untuk kabur dari situasi tegang mereka berdua, bertiga dengan Ryouta-san dan mencari tempat duduk bagiku.

Honoe-san kembali melihatku. “Kamu anak kelas percepatan itu, bukan?” tanyanya.

Kaget lagi. Kenapa semua orang yang menyapaku pada tahu kalau aku ini ikut kelas percepatan? Kutatap tajam pada Ryouta-san. Namun ia menggeleng seperti tak tahu.

“Aku dengar dari wali kelas. Katanya akan ada murid kelas satu yang lulus kelas percepatan dan masuk kelas 3-B ini. Melihat sikapmu dan aku juga tak pernah melihatmu, aku yakin kamulah orangnya.”

Oh, begitu. Lega rasanya mendengar penjelasan dari Honoe-san. Ternyata ia benar-benar berniat menjadi ketua kelas, sampai-sampai ia tahu aku akan masuk kelas ini. Kalau begitu tak perlu rasa canggung untuk berada di kelas ini, bukan? Selain ada Ryouta-san, walau aku tak terlalu berharap banyak darinya, ada Honoe-san yang friendly. Yah, semoga saja Honoe-san yang jadi ketua kelas, aku menjadi pendukung pertamamu~!! >.

“Eto... arigatou gozaimasu, Honoe-senpai...”

“Jangan panggil senpai, kita sudah sekelas, bukan?”

“Jya, Honoesan, ii desuka?”

Ia menganggukan kepala. Ternyata, masuk kelas tiga taklah menyeramkan seperti yang kukira.

Apa aku sebegitu yakin dengan kesimpulanku? Tidak. Kelas tiga baru saja dimulai. Tatapan mata sinis, pandangan sebelah mata dan bisikan pun dimulai di kelas ini. Aku tahu, aku tak akan terlepas dari cercaan. Kali ini apa? Junior yang tak pantas sekelas dengan senior? Apa kata ‘si kaku yang tak menyenangkan yang hanya suka belajar?’ Yah, mungkin julukan ‘hantu perpus’ akan tetap melekat seumur hidupku belajar di sini.

Karena agak canggung duduk di sekeliling senior, kuputuskan untuk duduk di ujung kiri paling belakang. Dekat dengan jendela? Seperti tokoh utama yang ada dalam cerita anime, si tokoh utama yang menjalani kehidupan SMA-nya yang membosankan. Tinggal bagaimana caraku untuk menjalaninya, apa akan selalu happy ending seperti di anime atau kebalikannya?

Ah, ingat Yuko, hidup ini tak semudah dalam anime!

 

Pertemuan kelas berlangsung sekitar setengah jam lebih. Mulai dari perkenalan wakil kelas, pengenalan dan pemilihan ketua kelas. Saat pengenalan adalah yang paling menakutkan! Semua mata senior itu menatapku.

Watashi wa Shirai Yuko desu. Eto...,” aku diam sebentar, mengamati mereka yang mengamatiku. “...tahun ini pun aku akan berusaha. Mohon bimbingannya.”

Setengah kelas tepuk tangan sebagai basa-basi, kecuali beberapa tepuk tangan yang lain yang aku tahu siapa orangnya. Aku kembali duduk.

“Selamat belajar, Shirai-san,” kata Ibu guru, “Kamu salah satu siswa kelas percepatan, bukan? Semoga kamu bisa menyeimbangkan pelajaranmu dengan kelas tiga ini.”

Tiba-tiba kelas mulai bising.

“Dia anak kelas percepatan?”

“Berarti dia dari kelas satu langsung naik ke kelas tiga, bukan?”

“Eh?! Ryouta Kise akrab dengan gadis itu? Mana mungkin?”

“Gadis itu tampak biasa-biasa saja. Tak terlihat ia seperti siswa pintar. Mungkin ia beruntung saja bisa lulus di kelas percepatan!”

Huft, bisik-bisik tetangga lagi. Kubiarkan saja. Aku sudah biasa dengan hal ini. Bagaimanapun keadaanku selalu menjadi bahan omongan, menjadi orang biasa saja maupun tidak. Memang apa salahku? Aku tak pernah mengganggu kehidupan kalian, bukan? Jadi, biarkan aku hidup seperti apa mauku!

Ibu guru mendiamkan kelas. Lalu pengenalan berlanjut pada senior di samping kananku. Ia laki-laki berbadan tak terlalu gempal dan memakai kacamata tebal. Wajahnya agak culun tapi saat memperkenalkan dirinya ia taklah canggung. Dan ia yang terakhir.

Dan terakhir pemilihan ketua kelas. Honoe-san langsung mengajukan diri sebagai calon ketua kelas. Singkat cerita Honoe-san terpilih menjadi wakil ketua kelas saja. Aku yakin ia menangis dalam hati. Tapi begitu diberi selamat oleh wali kelas ia tetap terharu dan bersemangat memegang pangkatnya.

Aku? Tak jadi apa-apa. Kali ini, di tahun ini aku akan belajar sama seperti siswa lainnya. Setidaknya tak harus banting buku tiap hari, belajar buku kelas dua sambil membuat tugas kelas satu di perpustakaan. Dan sesuai janji, karena aku sering "malah hampir setiap hari di pustaka, guru dan senior pengurus perpustaka menyarankanku sebagai pengurus juga saat aku telah naik kelas. Itu juga karena aku tak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lainnya.

Satu hari sekolah dimulai tak ada aktifitas apapun. Kecuali bagi yang memiliki kegiatan klub. Aku pergi ke perpustakaan. Di sana sudah ada Nanase-senpai yang menyambut kedatanganku. Ia memanduku masuk ke ruang khusus pengurus perpus, bertemu dengan anggota lainnya dan kebetulan juga Yamazawa-sensei ada di sana. Dan sehari itu aku dengan mudahnya menjadi pengurus perpustakaan.

 

 

Hari kedua menjadi siswa kelas tiga. . .

“Pelajari halaman dua belas dan seterusnya. Minggu depan akan bapak uji.”

Terdengar sorakan kecewa seisi kelas. Mereka tak ingin mendapat tugas maupun PR diawal sekolah. Aku tak menghiraukan, tetap mendakan pada buku sejarah di halaman dua belas dengan pembatas buku.

Setelah itu jam pelajaran habis diganti dengan jam istirahat. Aku mengeluarkan bento yang kubuat tadi pagi "tapi yang masak sepenuhnya tetap ibuku. Telur dadar menjadi santapan pertamaku!

“Wah, bento-mu terlihat sangat enak!” kata Honoe-san yang sudah tiba di depan dudukku. Ia memperlihatkan bento-nya juga padaku. “Kita makan bareng, bagaimana?”

Ia mengajakku makan bento bersama apa karena aku masih sendiri dan belum melakukan kontak sama sekali pada siswa lain di kelas ini sehingga ia merasa kasihan? Atau karena tugasnya sebagai wakil ketua kelas? Apapun itu alasannya aku mengangguk terlihat senang dengan ajakannya. Dan ia pun duduk dengan membalikkan kursi di depanku yang kebetulan pemiliknya sudah keluar.

Umaisou~ssu.

Aku tak menyadari kehadiran Ryouta-san, ia tampak tiba-tiba datang dalam kehidupanku "padahal aku sudah berusaha kuat untuk lupa bahwa kami sekelas! Ryouta-san masih menatap bento-ku erat-erat. Kulihat matanya seperti kucing yang siap mencuri ikan di atas meja. Saat ia beraksi, kupindahkan bento-ku ke kiri mengumpatkannya langsung ke bawah. Honoe-san tertawa melihat tingkah kami.

“Shiraicchi pelit~ssu,” katanya sedih, ia hampir mengeluarkan iler!

Entah kenapa aku jadi merasa iba. Kuletakkan kembali bento di atas meja. Tangan Ryouta-san kutepuk saat ia akan mencomot salah satu bento-ku. Kuambil sumpit serap dalam tas yang tujuan awalnya pengganti sumpitku kalau tak sengaja jatuh, kini harus kuberikan padanya dengan memberi beberapa isi bento kuletakkan di penutup kotak makan lalu kuberikan padanya. Entah ia hanya bercanda atau tidak dengan polos kuberikan saja bento itu.

Ii’ssu ka?” kagetnya.

“Hanya beberapa,” kataku sedikit kesal.

Ia melahap bento yang kuberikan. “Umaissu~!” Tak lama temannya "yang sudah kuketahui namanya Takahashi itu mendekati Ryouta-san dan ikut mencicipi bento yang kuberikan. Padahal di tangannya sudah ada roti soba porsi besar.

Hal yang harusnya kuhindari, kejadian yang seharusnya tak kulakukan malah kukerjakan. Aduh, aku lupa untuk tak terlihat akrab dengan orang yang bernama Ryouta Kise? Jelas-jelas dia cowok populer di sekolah apalagi sekarang ia telah menjadi kapten di tim basketnya.

Tatapan mata tajam dari siswi lain membuat perutku tak mau makan lagi. Ingin sekali keluar kelas, sekalian bawa bento karena masih lapar! Tapi karena ada Honoe-san di depanku, kupikir aku akan baik-baik saja. Lebih tepatnya kumanfaatkan hawa Honoe-san sebagai pelindungku dari tatapan sinis siswi-siswi sekelas.

Kyaa!

Jeritan salah seorang siswi mengagetkanku dan yang lainnya. Ia menatap ke arah Ryouta-san dan Takahashi-san. Errr.... aku tak mengerti maksudnya, jelas yang memiliki penyakit fujoushi sangat menyukai adegan yang satu ini! Ryouta-san menyuapi Takahashi dengan sumpit yang kuberikan, lalu ia memakan bento yang lain dengan sumpit itu lagi. Mereka berdua makan bersama dan itu tampak sangat... sedikit romantis.

Euu... aku tak berharap sumpit itu kembali,” kataku agak jengkel.

“Kalau begitu jangan diminta,” canda Honoe-san.

Sou desu!

“Yuko, logat jepangmu terasa sedikit aneh, menurutku. Apa kamu asli orang Jepang atau tidak?” heran Honoe-san, ia menatapku serius. Tiba-tiba saja ia menanyakan cara bicaraku padahal tak banyak orang yang merasa aneh dengan caraku bicara.

“Memangnya aneh dari mana, sen... Honoe-san?”

“Yah, agak sedikit kebaratan? Atau dari negara lain di Asia ini, aku juga tak tahu. Hanya menebak,” katanya sedikit tertawa. “Struktur wajah juga beda.”

“Hmm... aku sih lahir dan besar di sini. Tapi ayahku dari Indonesia, ibu yang asli orang Jepang. Kalau urusan logat, mungkin karena aku keikutan abangku yang sering pakai bahasa Inggris.”

“Oo...” kata Honoe-san mengangguk paham.

“Shiraicchi, lain waktu kalau bento-nya berlebih bagi, ya?” pinta Ryouta-san sambil membalikkan tutup kotak makanku dan sumpit. Kukembalikan sumpit itu padanya. “Ambil aja,” kataku ketus. Ryouta-san tak mengerti maksudku namun tetap mengambil sumpit itu kembali.

Honoe-san terlihat bingung. “Kalian sejak kapan kenalan?” Ia menunjuk Ryouta-san lalu aku. Tak sengaja kami saling memandang selama satu detik!

“Setahun yang lalu...” kataku canggung.

“Shiraicchi itu sahabat baiknya adikku""”

“Sepupu,” koreksiku.

“Sepupu?” bingung Honoe-san.

“Secara tak sengaja kami sama-sama menemui sepupunya Ryouta-san, yang bersekolah di SMA Swasta Seirin setahun yang lalu. Sepupunya sama besar denganku, namanya Haruhi,” jelasku.

“Begitulah~”

“Oooh...” Honoe-san mengangguk paham. “Kupikir kalian pacaran,” katanya spontan.

HEH?!

Tak hanya siswi lain yang menganga mendengar pertanyaan mendadak Honoe-sama ini, mulutku juga ikut menganga. “Ma..mana mungkin,” kataku lemas.

“Haha...” Ryouta-san tertawa. “Sou! Aku sendiri menganggap Shiraicchi sebagai adikku sendiri, sama seperti Haruhicchi,” jelasnya. Ia mengacak rambutku, langsung kutangkis tangannya itu. “Tuh, kan, kelakuannya saja sama.”

“Bukannya sama tapi memang tak ada yang mau menjadi adikmu,” kesalku.

Hidoi yo, Shiraicchi~!!” Ia mulai mengambek dengan jongkok di tempat.

Karena sifatnya yang lucu membuat orang-orang tertawa walau ia sendiri tak menikmatinya. Pandangan siswi lain padaku telah membaik. Mungkin karena terlontar dari mulut Ryouta-san sendiri bahwa ia hanya menganggapku seperti adiknya, tak ada lagi alasan bagi mereka untuk cemburu.

Seperti adik sendiri, kah?

 

Pulang sekolah hari ini pas di hari piketku. Kesalnya aku ditinggal sendiri di kelas. Senior yang satu piket denganku sengaja meninggalkanku sendiri karena aku yang tak tahu siapa saja yang satu kelompok piket denganku "wajahnya yang tak kuketahui dan hanya beberapa yang kukenal.

Karena keadaan ruangan yang bersih, aku hanya tinggal merapikan meja guru dan menghapus papan tulis. Setelah semuanya beres, aku bergegas keluar pergi ke perpustakaan.

Brak!

Aku terkejut dengan hentakan pintu yang dibuat oleh salah satu senior sekelasku. a dan dua temannya masuk ke kelas dan langsung mengelilingiku. Apa ini penindasan lagi? Kuikuti saja permainan mereka dulu.

Senior itu menatapku tajam seolah ingin membunuhku. Kutatap kembali matanya tanpa takut namun juga tidak menantangnya kembali. Jika kulakukan bisa saja ia bermain fisik. Walau aku bisa bela diri tapi tak akan kugunakan untuk melawan hal sepele seperti ini. Aku tahu ia sangat membenciku dengan apa yang telah kulakukan selama dua hari di kelas ini.

Ia menunjuk mataku dengan jari telunjuk kanannya. “Jangan terlalu dekat dengan Ryouta Kise! Ini peringatan pertama dan terakhir dariku. Ingat itu!!” Ia mendorongku namun aku tetap berdiri stabil. “Kalau kau bersikeras mendekatinya, kau akan berurusan denganku! Sampai kau tak mau sekolah lagi, kupastikan itu!”

Gertak sambal? Kataku dalam hati sedikit sinis.

“Hei, jangan diam saja! Jawab!” katanya kesal.

“Bukannya tadi Anda dengar jawaban dari Ryouta-san? Ia hanya menganggapku adik, sama seperti adik sepupunya. Mana mungkin ia akan menyukai sahabat adik sepupunya?”

Setelah mendengar jawabanku senior itu terdiam, mencoba untuk mempercayai kata-kataku. Ia memberi perintah pada temannya untuk pergi meninggalkanku.

“Ya, ‘kan? Bisa celaka dekat dengan siswa populer di sekolah!” kataku kesal. Tak tahan dengan kekesalanku, kupukul meja yang ada di dekatku hingga suaranya menggema dalam ruangan.

Kenapa selalu seperti ini? Kesal!

Akupun keluar dari kelas dan menutup pintu secara kasar tanpa kusadari. Yang pertama kulakukan sebelum ke perpus ialah membasuh mukaku dengan air, menahan emosi agar wajah kesalku tak dilihat oleh anggota pengurus perpus lainnya. Mungkin hanya di sana kehadiranku diterima, maka karena itu aku tak boleh membuat mereka mencemaskanku.

Padahal. . . aku berharap cerita di SMP tak terulang di SMA, setidaknya untuk setahun ini. Aku banyak berubah saat lulus dari SD, beda sekolah dengan Haruhi, lalu menjadi siswa yang sering ditindas? Aku tak mau hal itu terulang lagi. . .

Kenapa aku harus teringat masa SMP dulu?


~to be continued ^^



© 2014 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

126 Views
Added on October 12, 2014
Last Updated on October 12, 2014


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 &ndash; Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana