Chapter 4

Chapter 4

A Chapter by Aga ALana
"

~Satu Tangga yang Tertempuh~ “Apa terlihat aneh? Tapi kami memang tak memiliki hubungan apa pun,” jawabnya ringan dan datar. Ia kembali mengambil bola dan mulai men-shoot bola ke ring.

"
“Nah, ini dia yang hampir mematahkan tanganku kemarin!”

Eh?

Laki-laki yang kemarin menghampiriku yang akan keluar kelas. Ia ditemani oleh Ryouta-san. Aku heran dari mana mereka tahu kelasku. Semudah itukah mencari informasi hanya dengan sebuah nama. Teman sekelas dan murid yang lewat pada heran melihat ke arah kami.

“Ah, yang kemarin aku minta maaf,” kataku sambil membukuk sedikit pada laki-laki itu. “Kupikir kamu itu... laki-laki yang kasar.”

Ryouta-san tertawa mendengar perkataanku. “Laki-laki yang kasar?” ulangnya.

Sedangkan laki-laki itu terkejut dan mukanya sedikit memerah. “Kalau begitu aku juga minta maaf,” sesalnya. “Aku juga tak menyangka bakal dikalahkan oleh perempuan. Belajar bela diri di mana?” tanyanya penasaran.

“Belajar dari aniki.

Sugoi,” pujinya.

“Ah, gak segitu juga, kok,” kataku malu-malu.

Hyaa... yappari, Shirai-san wa sugoi-ssu?” tambah Ryouta-san.

“Hebat dari mana, senpai?” tanyaku merasa tersindir.

Iroiro,” jawabnya ringan.

‘Eh, itu bukannya Ryouta Kise?’

‘Kenapa Shirai bisa kenal dengan laki-laki populer di sekolah? Bukannya selama ini yang ia kenal hanya buku?’

Dari dalam kelas aku mendengar celaan dari teman-teman sekelasku. Mereka sekumpulan para pencemburu kehidupan, menurutku. Kuacuhkan saja apa yang mereka katakan agar dua orang ini tak risih denganku. Semoga saja dua orang ini tak mendengar perkataan mereka.

“Kalau begitu aku permisi dulu. Jaa, Shirai-chan! Sampai ketemu di lapangan nanti, Ryouta-senpai.” Laki-laki itu pun pergi.

“Eh, kok dia tahu namaku?” heranku. Kulihat Ryouta-san yang masih berdiri di sampingku. “Senpai ka?” tanyaku dengan mata sinis.

“Dia itu anak kelas satu, sama dengan kamu. Dia anak baru di tim kami,” jelas Ryouta-san. “Maafkan saja, dia memang agak sedikit sensitif.”

Aa, souka?

Ryouta-san tersenyum. “Tak kusangka kemarin kamu melihat pertandingan kami.”

Iie, jangan senang dulu. Kemarin aku datang karena dipaksa Haruhi-chan,” jawabku dengan alasan sedikit menyimpang dengan kenyataan. Haruhi ‘meminta’ku untuk datang bukan ‘memaksa’ku.

Sesaat, kami berdua terdiam. Ryouta-san melirikku, “Kamu berteman dengan Haruhicchi sudah dari kecil, bukan? Apa tak ingat tentang aku?” tanyanya sedikit serius.

“Tidak. Mungkin senpai salah orang. Aku kenal Haruhi sejak SD, tapi baru dekat dengannya setelah ia pindah tak jauh dari blok rumahku,” jelasku.

“Hmm, begitu, ya?”

Sepertinya ia tak begitu senang dengan jawabanku. Tapi memang itu kenyataannya.

“Kalau begitu aku juga pamit. Jaa mata, Shiraicchi!”

Ia pun pergi dan berlalu dengan cepat dari pandanganku. Kupegang dadaku, ya Tuhan, baru kali ini aku bicara lama dengan laki-laki, jantung ini hampir saja copot karena berdegup begitu kencang.

Namun, walau aku tersipu, sifat itu kuubah menjadi sifat yang kalem dengan nada bicara yang dingin dan datar. Pantas saja tak ada laki-laki yang sadar akan tingkahku ini, malah berpikir sebaliknya.

Aku ingin berbalik ke kelas tapi teman sekelasku sudah menatap asing padaku. Aku tahu maksud tatapan mereka. Namun kuacuhkan dan tetap berbalik ke tempat dudukku yang berada di sudut ruang di mana tak akan ada yang ingin melihatku.

Shirai...cchi?

Kudengar dari Haruhi, kalau Ryouta-san memanggil nama orang dengan tambahan ‘cchi’ adalah orang-orang yang ia akui kehebatannya. Lalu, kalau aku diakui kehebatan, memang kehebatanku apa? Ah, jangan-jangan karena bela diri kemarin? - -);

“Shirai-chan!” Panggil Ogata yang menghampiriku di tempat dudukku.

“Ada apa?”

Ia menatapku dengan mata membulat. “Sejak kapan kamu kenal Ryota Kise?” tanyanya langsung.

Pertanyaan yang mudah ditebak. Ya, ampun! Bisa tidak untuk tidak dikaitkan dengan sepupu Haruhi itu. Pasti saat ini ia sangat penasaran. Bukan, pasti semua orang di kelas ini penasaran dan (mungkin) menyuruh Ogata menanyaiku hal ini. Hanya dia, Ogata, yang bisa mengajakku bicara secara ‘normal’.

“Entahlah. Aku sendiri juga tidak tahu. Terjadi begitu saja,” jawabku.

“Ah, curang banget!”

“Eh, kenapa?” heranku.

“Kamu tahu, bukan, Ryouta Kise itu terkenal? Bukan hanya di sekolah, dia itu model majalah! Kakaknya juga model yang sangat cantik!” jelas Ogata bersemangat.

“Ah, kalau begitu aku minta maaf karena tak tahu soal itu,” jawabku datar.

“Tetap saja curang!” katanya kesal. “Nee, Shirai-chan, kenalkan aku dengan Ryouta Kise itu! Nee? Nee?” pintanya.

“Gi-gimana caranya?” aku kebingungan. Yah, bagaimana caranya dan apa alasannya? Aku sendiri juga gak berkenalan secara formal dengan dia. Aku menggaruk kepalaku dengan pena. Ogata masih menatapku dengan penuh harapan.

“Aku gak tahu caranya ngenalin kamu ke dia. Aku saja dikenali oleh Haruhi,” jawabku lemas, kuletakkan kepalaku di atas meja.

“Haruhi? Siapa?” tanya Ogata bingung.

“Sahabatku,” jawabku singkat.

“Hubungannya dengan Ryouta Kise?” tanyanya lagi.

“Hmm... katanya sih mereka sepupu.”

“SE-SEPUPU??” kaget Ogata.

Dan kekagetannya membuat kepalaku naik karena aku kaget juga dengan suara pekikannya. Bukan hanya aku, teman sekelas juga pada kaget dan menatap kami heran.

“Yang benar saja, Shirai-chan?!”

“Maaf, tapi itu kenyataannya,” jawabku dengan facepoker.

Ogata terduduk lemas. “Enaknya bisa kenal cowok keren.”

Padahal kamu terkenal dan banyak kenal dengan cowok-cowok keren di sekolah masih saja belum cukup senang! Itu yang ingin kukatakan, tapi begitu mengesalkan untuk didengar. Kuurungkan saja kata-kata itu dengan menatap ke luar jendela.

 

Pulang sekolah yang kutunggu. Di mana aku bisa sendirian dengan buku-buku tanpa ada yang protes dan mengkritikku betapa sombong dan tak maunya bergaul karena aku salah satu anak kelas percepatan. Lagi-lagi itu yang terpikir di benakku. Seharusnya kulupakan saja negative thingking itu dan tetap fokus dengan tujuanku.

Aku menunggu semua teman sekelas keluar karena aku tak mau berebutan keluar berdesakan. Setidaknya menunggu yang keluar kelas sudah sedikit.

“Shirai Yuko, bukan?”

Laki-laki tadi? heranku. Kami tak sengaja berpas-pasan saat sama-sama keluar dari kelas.

“Mau pulang?” tanyanya.

Aku mengangguk. Rasanya tak perlu mengatakan padanya kalau aku ingin ke perpustakaan.

“Ah, sayang, ya, aku harus latihan. Kalau tidak mungkin kita bisa pulang bareng,” katanya dengan nada riang namun terdengar agak gugup.

Aku tahu maksud dari perkataan itu. Namun tak kutanggapi. “Kalau begitu aku duluan, e..eto...” aku lupa tak pernah tahu akan nama orang itu.

“Higuchi Katou, itu namaku,” katanya sambil tertawa kecil. “Wah, aku lupa memperkenalkan diri padahal aku sudah tahu namamu.”

Dari Ryuota-san, kah? Terkaku dalam hati. “Jya, aku permisi duluan, Higuchi-san.”

“Katou. Panggil saja aku Katou.”

Aku mengangguk dan pergi melewatinya.

“Lain waktu... lain waktu kuharap kita bisa pulang bareng,” kata Katou membalikkan badannya ke arahku. Kubalikkan badanku dan melihatnya. Dari sorot matanya ia tampak serius.

Duh, gawat! Pandangan serius seperti ini yang membuatku tak tahan melihatnya. “Entahlah,” jawabku datar dan berbalik kembali jalan meninggalkannya. Aku... tak mau membuat hubungan apa pun, tidak untuk kali ini.

Aku tak tahu bagaimana reaksinya dengan sikap dinginku. Berharap tak mau tahu. Dan bersegara pergi ke perpus dan mencari tempat duduk paling pojok. Entahlah, aku ingin memojok saja. -_-);

 

 

“Shirai Yuko itu gadis yang misterius, bukan, senpai?” Higuchi Katou memulai percakapan dengan Ryouta Kise saat dalam latihan mereka.

Kise melempar bola ke ring dan bola itu masuk dengan sempurna. Ia melihat ke arah juniornya. “Yah, sepertinya begitu. Memang kenapa?”

“Aku tadi bertemu dengannya saat keluar kelas. Kucoba menawarkan untuk pulang bareng dengannya lain waktu. Dan jawabannya apa? ‘entahlah’ dengan nada yang datar. Hanya itu saja.”

“Memangnya ia akan pulang?” tanya Kise heran.

“Ia hanya mengangguk,” jawab Katou. “Ah, biasanya ‘kan kalau cewek diajak pulang bareng cowok pasti malu-malu dan berkata ‘mungkin lain waktu’ atau ‘sepertinya menyenangkan!’. Tapi sepertinya. . . ia merahasiakan sesuatu. Seperti... tidak ingin ketahuan aktifitasnya setelah pulang sekolah,” jelas Katou bingung.

Kise tersenyum mengerti. “Ya, seperti apa yang kamu katakan. Ada kegiatan setelah pulang sekolah yang tak ingin ia perlihatkan pada banyak orang.”

Katou terdiam sejenak.

“Ryouta-san, apa hubunganmu dengan Shirai?” tanyanya curiga. “Sepertinya kamu kenal Shirai lebih dari sekedar kenal?”

Kise berhenti men-dribble bolanya.

“Apa terlihat aneh? Tapi kami memang tak memiliki hubungan apa pun,” jawabnya ringan dan datar. Ia kembali mengambil bola dan mulai men-shoot bola ke ring.

“Kalau begitu, syukurlah!” Katou merasa sangat senang setelah mendengar perkataan dari seniornya itu. Ia rasa, hal itu adalah kesempatan yang bagus untuknya. Kesempatan mendekati seorang gadis di masa remajanya.

Lemparan bola Kise meleset dari ring. “Eeh?”

 

 

Hatchiin! Duh, kok tiba-tiba hidungku geli-geli, ya? Gak mungkin ‘kan, Haruhi mengataiku di depan senpainya, Aida-san, tentang keburukanku saat SD?

Yah, sedikit-banyak keusilanku saat SD. Sekarang saja yang pendiam, tapi saat SD juga pendiam. Diam-diam pergi ke kamar mandi untuk lihat contekan saat ujian, diam-diam ke kantor guru untuk lihat hasil ujian lalu mengumumkannya ke kelas, diam-diam ambil kapur papan tulis karena emang disuruh guru kelas mengambilnya ke ruang perlengkapan guru, lalu diam-diam gak sengaja ngumpetin sepatu anak laki-laki yang mengusili Haruhi saat SD dulu. Benar-benar bertindak diam-diam, bukan?

Kulihat kembali kertas pengumuman bagi murid yang mengambil kelas percapatan. Tiga minggu lagi tesnya dilaksanakan. Tes itu berisi soal perpaduan pelajaran kelas satu dan dua. Jika aku berhasil mendapatkan nilai minimalnya, aku bisa ikut ujian anak kelas dua langsung. Dan jika nilaiku bagus, tentu saja akan naik kelas tiga langsung.

Membayangkannya membuat hidungku panjang. Gimana ya, caraku memamerkan pada Haruhi saat aku duduk di kelas tiga? Setahun lebih tinggi darinya? Ah, bahkan seangkatan dengan Mika-san, kakaknya Haruhi. Khu..khu...

 

Di Seirin, baik Haruhi maupun Mika, dengan berbeda tempat mereka berdua bersin serentak dan menggosok hidung mereka hingga merah. Mika berpikiran Haruhi yang membicarakannya sedangkan Haruhi...

“Yuko-chan? Kamu ngomong apa tentangku pada teman sekelasmu?” gumamnya dalam hati. “Ah, tapi itu tak mungkin Yuko-chan, bisa saja orang lain, ‘kan aku terkenal! Ho...ho...”


~to be continued ^^



© 2014 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

176 Views
Added on September 29, 2014
Last Updated on September 29, 2014
Tags: life school, romance


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 – Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana