Chapter 2

Chapter 2

A Chapter by Aga ALana
"

~Awal Impian yang Ingin Diciptakan~ Tiba-tiba keinginan masa remajaku menggebukan detak jantungku. Keinginan akan setiap pagi pergi sekolah bersama, naik kereta yang sama, membuat pr bersama...

"
Bel pulang sekolah berbunyi.

Seperti biasa, aku buru-buru membereskan buku pelajaran ke dalam tas dan segera pergi ke perpustakaan. Guru dan senior yang menjaga perpustakaan sudah terbiasa dengan kedatanganku dan tak akan bertanya banyak tentang kedatanganku. Mereka yang juga mengenalku yang selalu datang ke perpus memberiku nama ‘sang hantu perpus’ atau ‘hantu rajin perpus’.

Aku satu-satunya murid dari kelas biasa yang mengambil kelas percepatan. Kebanyakan murid yang mengambil kelas itu hanya murid dari kelas unggul maupun berdasarkan nilai masuk tertinggi. Karena itulah aku mati-matian belajar agar lulus dan setara dengan anak-anak itu.

Sebenarnya alasanku untuk ikut kelas percepatan tak jelas. Alasan untuk ingin lulus cepat dan mencari pekerjaan atau membantu usaha keluarga hanya alasan yang mungkin bisa diterima oleh teman-teman yang bertanya. Sebenarnya aku sudah lelah dengan yang namanya sekolah dan berteman. Namun apa yang aku lakukan malah terbalik, bukan? Aku berpikir, jika aku bisa sekolah hanya dua tahun, mungkin aku bisa lepas dari hari-hari yang melelahkan ini. Tanpa pikir panjang aku memilih untuk bersekolah di sini dan langsung mengambil kelas percepatan. Tindakan yang keren tapi juga ceroboh, bagiku.

Bahkan orangtua dan kedua abangku tak tahu kalau aku mengambil kelas percepatan. Aku akan mengatakannya jika telah lulus sekolah saja.

“Hmm, mungkin aku akan bekerja saja. Kau tahu, bukan, otakku ini pas-pasan, aku benci belajar,” kata salah seorangnya. “Kamu bagaimana? Kau ‘kan pintar. Pasti lebih milih kuliah!”

Senior yang memakai kacamata itu membetulkan letak kacamatanya. “Tak ada pilihan lain selain kuliah. Jika tidak, ibuku akan memarahiku!”

“Jadi kamu sudah memutuskan akan masuk ke universitas mana? Universitas Tokyo atau yang lain?”

“Mungkin Universitas Tokyo. Ibu yang menyuruhku dan lagi... adik ibu mengajar di sana.”

Sou ka? Ii na~

“Tapi tetap saja aku gak bebas,” kesalnya. “Eh, tahu tidak, Kikuchi dari kelas 3-C? Rumornya setelah lulus ia akan langsung menikah. . . .”

Tak jauh dari tempat dudukku di perpustakaan, dua senior dari kelas tiga sedang berdiskusi tentang apa yang akan mereka lakukan setelah lulus. Dan berujung dengan menggosipkan teman seangkatan mereka.

Kuliah, ya? Apa seharusnya aku kuliah saja setelah lulus? Tapi ‘kan, aku sudah lelah belajar?

Esoknya. . .

Esoknya aku mendapatkan kuisioner dari salah seorang guru pembimbing kelas percepatan. Tak hanya anak kelas tiga, anak kelas percepatan juga mendapat lembaran untuk mengisi universitas apa yang akan diambil setelah lulus. Bagi anak kelas percepatan, lembaran ini diisi tidaklah mutlak, isinya bisa diubah setelah kita kelas tiga nanti.

Dari sekian banyaknya universitas negeri maupun swasta di Tokyo, aku bingung harus memilih universitas apa yang harus kupilih.

“Ichiru-ni,” panggilku pada abang sulungku.

Nandesuka?” tanyanya ramah. Ichiru-ni sedang mengecek laporan keuangan dari usaha keluarga. Usaha keluargaku ialah penyedia jasa pengiriman paket antarkota.

“Seandainya, seandainya Yuko lulus nanti, Yuko kuliah di mana bagusnya? Apa universitas di mana Ichiru-ni kuliah dulu?” tanyaku ragu-ragu.

“Kenapa? Apa sudah ada lembaran yang akan dilakukan setelah lulus sekolah dari wali kelas?” tanya Ichiru-ni balik. Aku mengangguk. “Sou ka. Hmm... kalau menurutku itu terserah Yuko. Yuko maunya di mana?”

“Gak tahu,” jawabku lemas.

“Masa’ masih belum tahu? Yuko harus menentukannya dari sekarang biar sekolahnya tambah semangat!”

“Kalau Universitas Tokyo bagimana?” tanyaku polos.

“Kalau itu pilihanmu tak apa.”

“Biaya kuliahnya bagimana?”

“Ya, ampun! Kenapa kamu malah memikirkan hal seperti itu? Itu sudah urusan ayah dan aku. Jadi kamu ragu untuk kuliah karena masalah biaya?” Ichiru-ni menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku telah menghancurkan sebuah kepercayaan, kepercayaan padanya akan masa depanku sebagai adiknya.

“Maaf... Yuko, Yuko hanya berpikir untuk tidak memberatkan beban ayah dan ibu tentang hal ini. Jadi Yuko pikir Yuko akan bekerja dulu baru kuliah. Lagi pula, Rian-ni juga masih kuliah. . .”

“Oh, jadi kamu gak mau kuliah gara-gara aku?” sahut Rian-ni, abang keduaku yang tiba-tiba masuk dalam ruang keluarga.

“Bu..bukan begitu juga,” kataku kegagapan. “Hanya saja... Yuko ragu akan kuliah atau tidak. Yuko gak tahu mau ambil jurusan apa setelah lulus nanti. Yuko belum punya tujuan setelah lulus.”

Kedua abangku terdiam. Mereka saling memandang dan tersenyum.

“Tak apa, Yuko. Sejalan dengan waktu, pasti kamu akan menemukan jawabanmu sendiri,” hibur Ichiru-ni.

“Kalau tidak, apa kamu mau dijodohkan, mendahului Ichiru-ni?” canda Rian-ni menyikut Ichiru-ni.

“Ogah!!” kesalku. “Ih, Yuko gak mau nikah muda!”

“Gak mau nikah di usia muda, kamu bisa jadi perawan tua, lho!” canda Rian-ni lagi.

Mukaku merah karena kesal. Walau itu hanya candaan tetap saja aku tak suka. "Iiieeee!!” kucibir Rian-ni dan pergi keluar dengan menghentakkan kaki, menutup pintu dengan kasar.

“Gak bakalan!!!!”

Suaraku menggema kesetiap sudut rumah hingga para pekerja pengantar jasa yang bekerja di rumahku kaget setengah mati. Karena tidak biasa bagi ‘Sang Pendiam Yuko’ berteriak sekeras itu. Sampai-sampai ibuku langsung keluar dapur dan menanyakan apa yang terjadi denganku pada Rian-ni.

“Ibu tahu saja, Yuko dalam masa remaja yang labil,” jawabnya ringan.

 

Empat hari lembaran itu berada dalam tasku. Setelah pulang sekolah, saat semua temanku sudah tak ada lagi di kelas, kuambil kertas itu lalu mengisinya. Universitas yang kupilih, kutulis saja Universitas Tokyo, universitas yang terjangkau dari jarak rumah jadi tak usah mencari apartemen. Fakultas? Masih belum kuputuskan!

Setelah itu aku pergi ke ruang guru, menyerahkan lembaran itu pada guru yang bersangkutan. Dan, seperti biasa pergi ke perpustakaan.

 

“Ah, Yuko-chan!!”

Dari jauh Haruhi memanggilku, ia melambaikan tangannya padaku. Kubalas lambaian tangannya. Sepertinya Haruhi berpamitan dengan orang yang jalan pulang dengannya dan orang itu berjalan ke arah yang berbeda dengan arah kami. Haruhi berlari ke arahku dengan riangnya.

“Habis dari latihan?” tanyaku padanya.

“Yup! Yuko-chan sendiri gimana? Kok pulangnya kesorean?” herannya.

E..to, gimana cara ngomongnya, ya?” bingungku cari alasan. Aku juga belum pernah mengatakan pada Haruhi tentang kelas percepatan dan keseharianku belajar di perpustakaan setelah pulang sekolah.

“Hua!” tiba-tiba saja Haruhi memasang wajah kagetnya. “Jangan bilang kamu sudah punya pacar? Huaa! Apa kamu tadi habis nge-date?!” terkanya mengada-ada.

Kucubit pipinya karena kesal.

Ittaaa!

“Mana mungkin, Ha-ru-hi-chan! Lagi pula, yang habis dari nge-date bukannya kamu dengan senpai-mu itu? Siapa ya, kalau tidak salah namanya... Kuro...ko?”

Pipi Haruhi tiba-tiba berubah merah. “Ma...massaka, na~, Yuko-chan! A..ahaa..ahahahaa...”

“Jadi benar nama orang itu Kuroko? Kalian tampak akrab sekali!”

Massaka na~. Lagi pula cuman kebetulan arah rumah kita sama makanya pulang bareng sekalian sehabis latihan. Gak ada hubungan yang aneh-aneh, kok!” jawabnya gugup.

“Hmm, begitu, ya? Berarti sering pulang bareng, dong?” kupasang wajah dengan senyum iblis.

M..maa na. Hahaa...”

Tampak sekali dari raut wajah Haruhi kalau ia punya hubungan dengan senpai satu klub-nya itu. Walau bohong sekali pun aku masih bisa membaca pikiran dan perasaan orang lewat ekspresi wajah dan cara mereka bicara juga dari gerak bola mata.

Kami melanjutkan jalan pulang. Matahari sore bersinar oren-kemerahan hingga membentuk bayangan menjadi lebih panjang dari tinggi asli kami. Angin sore dan suara kendaraan kubiarkan mengisi keheningan antara aku dan sahabatku itu. Kami sama-sama tak tahu akan membicarakan apa. Sesekali Haruhi melihat ke arahku yang tetap diam. Sepertinya ia ingin sekali aku mengangkat sebuah topik untuk dibicarakan.

Apa harus kukatakan tentang kelas percepatan itu?

“Bagaimana dengan pertandingan basketnya?” tanyaku pada Haruhi. Akh, apa yang ingin kubicarakan malah berbeda dengan yang kukatakan. Bodoh! Tapi sepertinya pembicaraan inilah yang bisa kukatakan.

“Hmm, baik. Pertandingan kemarin kami menang telak, lho!” Haruhi menjadi antusias membicarakan klub basketnya. “Tapi pertandingan selanjutnya kita harus berhati-hati karena lawannya adalah salah satu Kiseki no Sedai. Yuko-chan tahu ‘kan Kiseki no Sedai?”

Aku mengangguk. Haruhi pernah menceritakan Kiseki no Sedai padaku, bahkan berkali-kali. “Memang dari sekolah mana?” tanyaku sedikit penasaran.

Haruhi berhenti berjalan. Ia menunjukku.

“Heh? Jangan bilang kalau pertandingan selanjutnya melawan sekolahku?” kagetku.

Hai’! Aku sudah gak sabar mengalahkan Ryota Kise-ni dengan hasil kemenejeranku!” Haruhi sangat bersemangat mengatakannya.

Aku tertawa. “Haha... ganbatte ne!” kataku menyemangatinya.

“Lho, kok kamu gak kesal, sih? Padahal timku akan melawan tim sekolah Yuko, lho? Masa’ sedikit aja gak ada niat membela sekolah sendiri?” herannya.

“Entahlah! Sepertinya aku gak tertarik.”

Sasugeh, tsumanai Yuko-sama,” ejek Haruhi dengan wajah cemberutnya. “Setidaknya kamu tertarik dengan pertandingannya, bukan timnya juga tak apa.”

“Kalau begitu, kapan pertandingannya? Kalau aku ada waktu, aku akan lihat pertandingannya,” tawarku. Yah, walau memang tak tertarik setidaknya tawaranku akan membuat Haruhi senang. Lagi pula, aku tak punya kegiatan selain belajar.

Muka Haruhi berubah ceria. Ia memelukku senang. “Hore! Yuko-chan akan melihat pertandinganku!” Ia melepas pelukannya dan melihat jadwal pertandingan dari handphone-nya. “Dua hari dari sekarang. Bagaimana, bisa?”

Kuingat-ingat jadwal belajarku dan waktu kerjaku di rumah. Tak padat dan bisa digeser. Tentu saja, ‘kan aku gak punya kegiatan klub! Hahaha... -_-

“Sepertinya bisa.”

Yatta!

Kami kembali jalan dan berpisah di persimpangan dekat lapangan basket biasa di mana Haruhi sering latihan saat SMP dulu. Haruhi segera menghilang dari persimpangan itu, sedangkan aku berjalan lambat melewati lapangan itu. Masih bisa teringat bayangan Haruhi yang sangat bersemangat bermain basket, di mana ada beberapa anggota Five Queen of Basketball, Utsushina Rihara-san dan Natsu-chan.

Jika seandainya pertandingan itu adalah pertandingan di mana Haruhi yang bermain bukan manajer yang duduk di luar lapangan, mungkin aku lebih antusias melihat pertandingan itu. Walau bukan satu sekolah, aku akan tetap menyemangatinya, memanggil namanya dari tempat duduk penonton, dan bersorak riuh saat ia memasukkan bola ke ring. Walau ia tersenyum dan tertawa dengan teman satu timnya, tapi aku tetap tersenyum senang ke arahnya.

Apa aku sahabat terburuk? Kubiarkan ia selalu mengeluh dan meminta saran padaku saat ia dalam masalah dan tak ada di sampingnya saat ia tertawa bahagia. Namun aku tak pernah bicara padanya tentang masalah yang aku hadapi, tak pernah menelponnya di saat aku butuh saran dan selalu menghindar setiap saat wajahku tak bisa tersenyum.

“Ah, seharusnya aku bertanya padanya, jika lulus nanti ia ingin kuliah di mana? Aku ingin sekali satu universitas dengannya.”

Tiba-tiba keinginan masa remajaku menggebukan detak jantungku. Keinginan akan setiap pagi pergi sekolah bersama, naik kereta yang sama, membuat pr bersama, makan bekal di kelas yang sama, bercanda bersama, satu klub dan mengerjai senpai. Setelah itu pulang sekolah bersama, terkadang harus singgah sebentar ke toko-toko baju, ke cafe, atau ke tempat karaoke, lalu terakhir berfoto di foto box.

Are? Namida? Watashi, naite? Dame! Dame!

Kuhapus air yang mengalir di pipiku dengan lengan seragam. Tak sempat mengambil sapu tangan yang ada di saku. Kupercepat jalanku ke rumah.

Segera! Aku harus sampai ke kamar segera! Sebelum... sebelum ada yang melihatku menangis!


~to be continued ^^



© 2014 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

168 Views
Added on September 29, 2014
Last Updated on September 29, 2014
Tags: life school, romance


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 – Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana





Advertise Here
Want to advertise here? Get started for as little as $5
Compartment 114
Compartment 114