Chapter 1A Chapter by Aga ALana~Awal Cerita untuk Masa Depan bagi Seorang Gadis Biasa~ “Jadi benar kamu sekolah di sini?” Aku bingung, siapa yang bicara denganku. Aku berhenti dan melihat ke belakang...
Aku bukanlah seorang penghayal, meski aku
memiliki berbagai macam mimpi yang ingin kuwujudkan suatu hari nanti. Aku tak
memiliki keahlian dalam bidang apapun, baik dalam belajar maupun olahraga. Tapi
aku telah bertekad saat duduk di sekolah menengah atas, aku akan belajar dengan
giat, karena hanya itulah satu-satunya yang bisa kulakukan. Hingga melupakan
komunikasi dan pertemanan. . .
“Shirai-chan, aku tak menyangka kamu akan mengambil kelas percepatan. Kenapa sih?” tanya Ogata Resha, satu-satunya teman yang sering mengajakku bicara di kelas. Ia mulai berbisik, “Apa karena di sekolah ini tak ada yang menyenangkan? Kamu bosan, bukan?” tanyanya antusias. “Aku, ya, kadang kala merasa bosan dengan sekolah ini,” bisiknya. Aku tertawa kecil mendengarnya, kujawab kebingungan Ogata dengan senyuman perasaan ragu. “Aku... aku hanya ingin lulus cepat, mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi keluargaku. Hanya itu.” “Hanya itu?” Aku mengangguk agar ia percaya. Ogata menggaruk kepalanya, “Yah, aku gak percaya dengan jalan pikiranmu. Seharusnya masa remaja itu harus dimanfaatkan, kau tahu, bukan? Jalan-jalan ke mall, makan bareng ke cafe, berkenalan dengan cowok ganteng, percintaan. Apa... kamu gak berpikir ke arah sana? Masa remaja hanya sekali seumur hidup dan gak akan terulang kedua kali, lho! Usia terus berlanjut, Shirai-chan!” Bagi remaja seumuranku hal itu memang sangat penting. Bersuka-ria, menghamburkan uang yang diberikan orangtua dengan jalan-jalan, berbelanja, makan bareng ke cafe, ataupun melakukan kencan buta hingga mendapatkan pacar yang keren dan dibanggakan ke teman-teman. Namun semua itu jauh dariku. Aku sadar dengan keadaanku. Aku tak akan pernah melakukan hal semancam itu satupun. Tak ada uang orangtua yang bisa kuhamburkan begitu saja. Tak ada teman yang akan kuajak untuk jalan-jalan, berbelanja maupun makan bareng di cafe. Juga tak ada laki-laki yang tertarik dengan tubuh kecilku. “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Hanya itu, Ogata-san, tak lebih!” jawabku. “Hah~ kamu gak asik, Shirai-chan!” ejeknya. “Biarin!” kubalas cibirannya. Namun kami saling tertawa. Kami sama-sama heran, mengapa kami begitu akrab dan ditakdirkan menjadi teman oleh Tuhan. Ia, Ogata, anak yang ramah dan periang, ia memiliki banyak teman dan disukai laki-laki di kelas. Berbeda terbalik denganku yang pendiam dan hanya bicara seadanya. Awalnya ia mengajakku bicara karena penasaran dengan kediamanku. Ia sangat berani memecahkan keraka kediamanku. Namun aku bukanlah orang yang acuh, aku membalas setiap sapaannya dan menjawab pertanyaannya hingga kami tampak akrab bagi teman sekelas. Saat itulah, beberapa anak perempuan mulai mau bicara denganku dan anak laki-laki mengerjaiku dan teman perempuan yang lain. Hanya sekedar keisengan belaka. Awalnya bagiku, jika aku tak memiliki teman di sekolahku ini, kupikir tak apa karena di luar aku memiliki seorang sahabat yang selalu ada buatku. Seseorang yang telah kukenal dari sekolah dasar. Walau akhirnya kami berbeda SMP maupun SMA, kami selalu saling email dan bertemu di lapangan basket kesukaannya. Fukushima Haruhi, seorang pemain bola basket dalam tim yang dikenal orang-orang dengan nama Five Queens of basketball. Rumah kami pun tak terlalu jauh, hanya berjarak dengan jalan kaki sekitar lima menit. “Pulang sekolah nanti kamu ke perpustakaan lagi?” tanya Ogata agak kesal. Ia melihat setumpuk buku yang membosankan baginya di atas mejaku, setumpuk buku yang aku pinjam beberapa hari lalu di perpustakaan yang akan aku kembalikan nantinya. Aku tertawa kecil. “Memang kenapa? Mau ngajak aku makan ke cafe? Hmm, mau aja sih asal ditraktir!” candaku. “Benar, nih?” tanyanya dengan senyum sinis. “Aku akan cari waktu untuk ngajak kamu merasakan masa remaja! Tentu saja aku yang traktir! Awas kalau kamu menghindar!” Eh? Candaanku dikira serius? Ogata mengambil tasnya yang tergantung di samping meja, dengan senyum manjanya ia pamit pergi keluar kelas duluan. “Jaa, mata ashita!” Ia pastinya akan ke klub-nya, klub tenis. Seharusnya aku juga begitu, seharusnya. Tapi aku sama sekali tak mengisi angket klub yang diminati, sampai aku harus dipanggil wali kelas. Saat aku bilang aku salah satu yang akan mengikuti kelas percepatan dan ingin fokus belajar, akhirnya beliau mengalah dan membiarkanku untuk tidak ikut klub manapun. Semua siswa setelah jam pelajaran berakhir pastinya akan ke klub, tapi aku harus mengambil absen ke perpustakaan. Hingga aku dijuluki hantu perpus oleh guru yang menjaga perpustakaan dan senior yang ikut menjaga. Dengan setumpuk buku di kedua tanganku kubawa ke perpustakaan, berjalan dengan hati-hati takut akan menabrak orang lain. “Jadi benar kamu sekolah di sini?” Aku bingung, siapa yang bicara denganku. Aku berhenti dan melihat ke belakang, ia berjalan menyesuaikan langkah kakiku dan kini ia ada di sampingku. Ia berdiri tegap dan aku harus mendongak melihat wajahnya yang tak asing. Ryouta Kise, sepupu Haruhi yang tak lama ini aku mengenalinya, secara tak sengaja. “Siapa?” tanya temannya, “kenalanmu?” Ia melihatku dari atas ke bawah dan menatap mataku langsung membuatku memalingkan pandangan. Sepertinya ingin menilaiku sebagai seorang siswi. “Maaf, ya, duluan saja ke lapangan,” pinta Ryouta pada temannya itu. Entah ia mengerti entah tidak, ia mengangguk dan pergi meninggalkan kami berdua. “Apa perlu bantuan?” tawarnya mengambil sebagian buku yang kupegang. “Ii desuka?” aku merasa tak enak dibantu oleh orang yang baru kukenal. “Untuk temannya Haruhicchi aku tak keberatan,” jawabnya ringan. Karena Haruhi, kah? Entah kenapa aku merasa kesal dengan jawabannya. Bukan karena aku, tapi karena aku teman dari sepupunya. Bukan karena aku adik kelasnya, juga bukan karena kita pernah bicara sebentar. “Jadi karena aku temannya Haruhi-chan, ya? Kalau begitu tak usah saja, senpai, aku sudah terbiasa melakukannya sendiri.” Aku mencoba mengambil kembali buku-bukuku yang ia ambil namun dicegat olehnya. Ia terheran, “Kau tak suka?” Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Tentu saja aku senang dibantu tapi. . . ada perasaan lain yang membuatku kecewa. Di sudut perasaan yang tersembunyi, entah itu disebut apa. Aku menutupi rasa malu-maluku dengan terus jalan meninggalkannya. Ia menyusulku dan kami berjalan bersamaan. Apa ia serius membantuku atau hanya membalikkan candaanku sebelumnya? Aku tak terbiasa dengan kebaikan seorang laki-laki padaku. “Apa semua ini kau baca sendirian?” Ia tampak kagum dengan buku-buku itu. “Ee,” jawabku singkat. “Bahkan buku pelajaran kelas dua?” “Aku mau ambil kelas percepatan.” “Kenapa? Ingin lulus secepat itukah?” herannya. “Hm… Aku mau membantu usaha keluarga, jadi aku harus lulus cepat,” jawabku beralasan seadanya, ngeles? “Kau berbeda dengan Haruhicchi.” Ia kembali mengungkit tentang Haruhi. Walau Haruhi adalah sahabatku nomor satu dan betapa aku menyukainya, tapi jika aku dibandingkan dengan orang lain termasuk sahabatku sendiri aku akan tetap merasa kesal. Aku ya aku, sangat beda dengan orang lain! “Tentu saja berbeda. Ia memiliki bakat dalam basket dan banyak hal yang bisa ia lakukan di sekolahnya. Sedangkan aku sama sekali tak memiliki keahlian apa pun,” jelasku datar, namun dengan sedikit perasaan kesal. Ia hanya diam. Terdiam lama. Aku juga tak menyangka, orang yang sangat ceria ini bisa juga speechless saat berhadapan dengan orang sepertiku. Mungkin ia harus bersyukur karena ia berkenalan dengan orang sepertiku hanya satu, mungkin beberapa di luar sana. Kami pun tiba di depan perpustakaan. Aku meminta kembali buku-buku itu namun ia tetap bersikap baik padaku dengan membawakannya sampai ke dalam. Guru yang menjaga perpustakaan pun terkejut melihatku jalan dengan seorang laki-laki. Ia menemaniku hingga registrasi pemulangan buku selesai. Dengan wajah tersipu yang masih kututupi, aku mengucapkan terimakasih dengan bantuannya dan memintanya pergi dahulu karena aku ingin berada di perpustakaan sementara waktu. “Rajin, ya. Udah jam pulang mau belajar di perpus dulu,” pujinya. Aku masih menunduk, mengangguk sekali. “Terimakasih atas bantuannya, senpai.” “Do~itashimashitessu~!” jawabnya ringan. “Oh, iya, namamu siapa? Kau belum memperkenalkan diri. Curang banget kamu tahu tentangku dari Haruhicchi.” Eh, dia belum tahu namaku? Oh, iya, aku belum memperkenalkan diri secara langsung, ya? “Ah, maaf. Aku Shirai Yuko. Tentang senpai, aku juga tak terlalu tahu. Haruhi-chan hanya memberitahu nama senpai. Hanya itu.” “Oh, sou ka!” Kami kembali terdiam. “Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Jaa! Ganbatte-ssu!” ‘ssu’? -_- Aku menunduk saat ia membalikkan badannya. Tiba-tiba saja dalam lubuk hatiku yang sangat dalam berkata, ‘andai aku bisa lebih dekat dengannya.’ Saat itu pula pipiku memerah dan saat itu pula kuputuskan untuk pulang saja! ~to be continued ^^ © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
StatsAuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|