Chapter 9: MenjengukA Chapter by Aga ALanaMenjenguk? Siapa yang sakit, ya?“Osh! Konnichiwa!” Sapa para ichinen masuk ke lapangan basket. Di sana telah menanti para senpai dan juga sang pelatih, Aida Riko. Setelah pertandingan street basketball kemarin, mereka diberi libur sehari berlatih dan kini mereka kembali ke lapangan, tak sabar akan berlatih bersama para senpai. “Haruhi mana?” tanya Riko. Para ichinen melihat ke arah Tora, karena ia yang sekelas dengan Haruhi. “Ano... dia udah dari kemarin gak masuk kelas. Katanya, sih, sakit,” jawab Tora. “Apa?? Sakit?!!” kesal Riko karena ia tak diberi tahu apa pun tentang manejernya itu. “Kenapa kau tak bilang padaku??” tambah Riko memasang wajah marahnya yang seperti gunung akan meledak pada Tora. “A...aku pun baru tahunya tadi pagi,” jawab Tora takut "takut dimakan oleh Riko. “Ck! De, kenapa kamu baru tahunya tadi pagi sedangkan Haruhi sudah dari kemarin sakitnya?” tanya Riko melepaskan kerah baju Tora. “Huh, salah Haruhi, kenapa ia tak memberiku pesan sama sekali? Biasanya kalau ada apa-apa ia bakal kasih pesan,” Riko bertanya sendiri pada dirinya. “Kemarin aku juga absen, Aida-san,” sesal Tora, “pergelangan kakiku masih sakit, tapi sekarang sudah membaik.” “Gak ada yang nanya soal keadaanmu, Kazegawa-kun!” jawab Riko kesal. “Eh?” Shiii~ng Suasana berubah menjadi diam. Aida-san, kowe[1]!, kata para ichinen dalam hati. Tora pun langsung shok dan mengambil pose tersudutnya di dinding terdekat. “Sudahlah, Riko, jangan terlalu kasar dengan ichinen-tachi,” saran Hyuuga, “De, apa ada yang tahu gimana sekarang keadaan manajer?” tanya Hyuuga pada mereka. Para ichinen hanya menggeleng. “Kami tak sekelas dengannya,” jawab Suzuru. “Hanya Kazegawa yang sekelas dengan Fukushima. Alamat mail-nya pun tak ada,” tambah Tokigawa. “Eh, bukannya kemarin ini dia pernah mengirim mail send all, gitu? Rasanya, aku menyimpan alamat mail-nya,” kata Kiba mengecek handphone-nya. “Ah, ada!” “Adapun. . .” “Sudah, biar aku saja yang menelponnya!” potong Riko. Ia mencoba menghubungi Haruhi. Dia punya nomor teleponnya?? Kenapa gak bilang dari tadi??!! jerit para ichinen dan Hyuuga dalam hati. “Cih! Kenapa gak aktif, sih?” kesal Riko. “Lalu gimana dengan rekaman video pertandingan kalian? Cuman minggu ini aku punya waktu luang untuk menontonnya.” Riko memegang kepalanya sambil menggeleng kesal. “Ah, kalau soal rekaman video, ada sama aku,” kata Tora tiba-tiba. Ia mengambil microSD dalam tasnya. “KENAPA GAK BILANG DARI TADI, BOCAH??!” kemarahan Riko kembali meledak saat melihat microSD itu ada sama Tora. “Ampun!!” >/< Riko mengambil microSD itu. Menepuk pundak Tora yang awalnya anak itu ketakutan setengah mati akan aura Riko yang menakutkan. “Kerja bagus!” “Lho, kok microSD itu ada sama kamu?” heran Tokigawa. “Saat jam istirahat, kakaknya Fukushima datang ke kelasku dan memberikan microSD itu padaku,” jelas Tora. “Aa, sou.” Tak berapa lama, Kagami-tachi masuk ke lapangan. Riko melihat sepertinya seluruh anggotanya telah lengkap dan merencanakan sesuatu. “Minna, hari ini kita latihan sebentar saja. Aku ingin kita menjenguk Haruhi setelah latihan,” perintah Riko. “Memangnya manajer kenapa?” tanya Kuroko heran. “Dia sakit. Pantas saja ia tak masuk kemarin. Padahal dia telah berjanji memberikan hasil rekaman pertandingan ichinen kemarin ini,” Riko menimbang-nimbang microSD ditangannya. “Heh? Jadi pertandingan kalian direkam oleh manejer aneh itu?” kata Kagami sedikit kagum. “Tak kusangka ia akan berpikir jauh seperti itu.” “Sebenarnya yang merekam pertandingan kita Shirai, temannya manajer,” kata Tora meluruskan. “Shirai?” bingung Kagami. “Ingat saat death training pertama? Gadis yang mengantarkan barang untuk latihan kita itu,” jelas Tora lagi. Kagami masih tak ingat. “Lalu, kenapa bukan anak itu yang merekam?” “Karena Fukushima juga ikut main,” tambah Tora enggan. “HEH? Ikut main maksudnya... dia juga ikut bertanding??” kaget Kagami diikuti dengan beberapa senior yang tak tahu dengan mangap berjemaah. Para ichinen hanya mengangguk dan tertawa dengan terpaksa. “Kagami-senpai tahu ‘kan kalau kami hanya sembilan orang?” tambah Tora. “Jadi, manajer yang menutupi kekurangan anggota dengan ikut bermain?” terka Kuroko. “Ya begitulah.” Riko menghela napas tak mengacuhkan pemainnya yang terkaget-kaget. “Dengan rekaman ini, kita bisa melihat secara detail tentang pertandingan para pemain amatiran ini,” kata Riko sedikit membanggakan para ichinen walau dari wajahnya tak terpasang seperti itu. “Kita dibilang amatiran,” bisik Hikaru sedih. “Tapi emang iya, sih,” balas Kiba lemas, hingga tubuhnya yang berat itu hanya bisa diajak duduk. “Kenapa kita tak langsung saja menjenguk?” saran sang Kapten, Hyuuga. “Maunya begitu. Tapi ada yang tahu rumah Haruhi di mana?” tanya Riko kesal. Mereka semua menggeleng. “Teleponku saja tak dijawabnya!” kesal Riko. “Aku rasa kita bisa bertanya pada Fukushima,” saran Kuroko. “Huaa!! Senpai! Sejak kapan ada di sampingku?!” kaget Tora setengah mati. “Fukushima?” heran yang lain. “Kakaknya manejer, Fukushima Mika,” tambah Kouki. “Dia kelas dua, sama dengan kita. Kagami sama Kuroko pernah sekelas dengannya.” “Siapa yang mau menanyakannya ke dia? Kagami?” lirik Riko tajam. “Heh? Kenapa harus aku?!!” kaget Kagami histeris. Kena sasaran! kata Kouki dalam hati, ia hampir tertawa. “Hee? Kenapa? Ada masalah dengan gadis itu?” kesal Riko menatap curiga pada Kagami. “Betsuni[2],” jawab Kagami menahan emosinya. “Tapi aku mau Kuroko ikut juga.” “Jya, onegai nee!” kata Riko senang dengan memasang wajah devil-nya. Kagami dan Kuroko pun keluar dari lapangan. Sedangkan yang lain menunggu di lapangan sambil latihan berkelompok.
“De, dari mana kita mulai cari cewek alien ini?” kesal Kagami. “Maksudmu Fukushima-san? Mungkin ke kelasnya dulu,” pikir Kuroko. “Kalau gak ada?” “Mungkin dia ada di ruang klubnya, atau lapangan luar,” jawab Kuroko lagi. “Aah, mendokuse yo![3]” “Kagami-kun, apa urusanmu dengan Fukushima-san belum selesai juga? Padahal sudah lama sekali,” heran Kuroko. Kagami menggaruk kepalanya. “Entahlah, padahal aku sudah minta maaf, tapi dia malah tambah marah. Akh, gak ngerti sama jalan pikiran cewek!” “Apa kamu sudah bicara dengan baik-baik dengannya? Secara tak tulus begitu mana mau ia memaafkanmu?” “Sudahlah, Kuroko, jangan dibahas lagi,” kesal Kagami. “Nanti kamu saja yang bakal tanya ke dia, ya!” “Hmm.. kalau itu mungkin aku ragu.” “Kenapa?” “Ia selalu terkejut dengan kehadiranku,” jawab Kuroko lemas. “Aa sou..ka.”
Haruhi menatap langit-langit kamarnya yang diterangi oleh sinar matahari yang masuk lewat jendelanya. Ia memegang kepalanya yang dikompres. Sebenarnya ia telah bosan berada di kamar seharian. Ia ingin keluar. Berada di dalam kamar malah membuatnya tambah pusing. Ia mencoba bangkit dari kasurnya, membuka jendela kamar hingga hembusan angin pagi menerbangkan gorden jendela. Udara pagi sangat sejuk dan masih bersih, namun tetap tak bersahabat dengan tubuhnya yang panas. Ia memaksa badannya agar lebih lama bertahan dengan udara pagi ini. Hatchin! Yabee, samui![4] Ia merapatkan jaketnya lebih erat lagi agar tetap merasa hangat. “Haruhi-chan! Ne-chan masuk, ya!” Mika masuk dalam kamar Haruhi. Ia agak geram melihat adiknya yang bandel dengan udara dingin yang akan membuatnya bertambah sakit. “Haruhi! Tutup jendela, nanti kamu tambah sakit!” Haruhi membalasnya dengan senyuman. “Daijoubu!” Mika mendekati Haruhi, meraba kening adiknya. Suhu badannya telah sedikit menurun. “Setidaknya jangan membuat badanmu bertambah sakit. Ibu telah membuat sarapan, mau makan di sini atau di luar sama ne-chan?” “Hmm, Haruhi mau sarapan sama ne-chan!” jawabnya manja. “Oh, iya. Ne-chan, tolong kasih ini ke teman sekelas Haruhi, ya,” Haruhi mengambil sebuah benda kecil dalam tasnya lalu diberikannya pada kakaknya. “Dia tahu kok microSD ini. Oh iya, namanya Kazegawa Tori, eh, Tora! Haha. . .” “Huh? Cowok?” tanya Mika curiga. “Jangan-jangan isinya yang enggak-enggak?” goda Mika. “Chigau! Chigau! Isinya rekaman pertandingan hari minggu kemarin. Dia salah satu anggota tim basket yang ikut main. Bilang ke dia untuk kasih ini ke Aida Riko-san, pelatih tim basket Seirin.” “Ah, oke! Wakatta! Ya udah, cepat ke bawah, ne-chan lapar dan lagi ne-chan gak mau telat!” Mika mengambil microSD itu, mengantonginya. Mereka berdua pergi ke ruang makan di mana ibu mereka telah menunggu. Mereka bertiga sarapan bersama. Setelah itu, Mika buru-buru pergi sekolah. “Ibu, Haruhi mau keluar sebentar, boleh?” tanya Haruhi ragu. “Sudah merasa baikan?” cemas ibunya. “Chotto[5],” jawab Haruhi tertawa kecil. “Jangan memaksakan diri, ya,” saran ibunya. “Hm!” Haruhi mengangguk senang. Ia kembali ke kamarnya, mengambil bola basket kesayangannya sejak SMP. Kali ini ia tak akan berlari kecil sambil men-dribble bola, ia hanya jalan santai sambil memeluk bola. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Yuko yang akan pergi sekolah. “Haruhi-chan!” sapa Yuko, ia agak cemas melihat sahabatnya yang belum terlalu sehat itu jalan sendiri. “Kamu ini! Kenapa gak istirahat di kamar aja, sih?” “Males~” jawabnya dengan tawa kecilnya. Yuko masih cemas dengan Haruhi. Ia tahu, Haruhi terlalu memaksakan tubuhnya saat pertandingan itu. Apalagi saat babak semifinal dan final, ia terlalu memaksakan badannya untuk menggunakan kemampuannya. Walau Haruhi sendiri tahu hal itu tak mungkin, namun ia telah telah terbawa suasana dan terus bermain. “Udah, jangan pedulikan aku. Aku bakal baik-baik aja, kok! Sana, pergi sekolah, nanti telat!” kata Haruhi. “Haruhi-chan...” Yuko masih menatap cemas. “Jya, aku pergi dulu, ya. Andai aku bisa absen, jadi...” “Yuko-chan!” Haruhi menatap kesal pada Yuko yang mulai berpikiran aneh lagi. Ia pasti ingin absen agar bisa menemaninya jalan pagi. “Jya[6], mungkin habis pulang sekolah?” tanya Yuko. “Ii yo~![7]” jawab Haruhi tersenyum. Yuko menyerah dan berlalu, walau sesekali terus melihat ke belakang, melihat ke arah Haruhi. Karena tahu tubuhnya masih belum bisa diajak jalan, Haruhi kembali ke rumah. Ia membatalkan keinginannya ke lapangan basket yang biasa ia pakai untuk latihan. Lapangan basket yang tak terurus itu lagi. Dan kembali ke kamar, menyelimuti diri. Ia berusaha untuk tidur. Hmm... yappari, nemu dekinai![8]
Di lapangan tenis... “Ano, sumimasen,[9]” sapa Kagami pada salah seorang anggota tenis yang ada di pinggir lapangan. “Ya, ada apa?” tanya orang itu ramah. “Apa di sini ada Fukushima Mika-san?” tanya Kuroko. “Yah, ada. Tunggu sebentar.” Orang itu memanggil Mika yang sedang latihan. “Hoii, Fukushima!! Ada yang cariin niih!!” soraknya. Mika berhenti dan menoleh ke arah yang memanggilnya. Saat itu pula pandangannya beralih ke laki-laki berambut merah yang sangat ia kenali. Tentu saja ia kaget karena Kagami tak pernah "dan mungkin tak akan pernah mencarinya, mencari masalah dengannya (lagi). Ia masih tak percaya dengan kehadiran Kagami di lapangan. Selama ia berjalan ke arah Kagami, ia terus menggerutu namun juga malu-malu. Banyak kemungkinan alasan yang terbentuk di pikirannya, kemungkinan alasan Kagami ingin bertemu dengannya. Matanya sibuk melihat ke arah sekitar Kagami. Ia lega, saat matanya menangkap sosok Kuroko yang ada di samping Kagami. Huft, ya, ‘kan, dia gak sendiri ke sini. “Ada apa?” tanya Mika langsung menatap Kagami tajam. Pandangannya beralih menatap Kuroko. “Pasti tentang Haruhi,” katanya tersenyum. Eh? Fukushima-san sudah tak terkejut dengan kehadiranku? kaget Kuroko. “Ya, iyalah. Mana mungkin"", bukan?” kata Mika terbata "awalnya ia ingin mengatakan ‘mana mungkin kau mencariku, kecuali aku melakukan suatu hal yang bikin kau kesal lagi?’, namun tetap melanjutkan bicaranya. “Haruhi sakit setelah pertandingan itu. Ia terlalu memaksakan diri. Tapi jangan khawatir, suhu tubuhnya tadi pagi sudah menurun, mungkin besok sudah bisa sekolah lagi.” “Oh, kalau begitu baguslah. Ayo Kuroko, kita pergi.” Sepertinya Kagami terlihat tak betah berlama-lama berada di dekat Mika. Kuroko mencegatnya saat ia akan melangkahkan kaki keluar lapangan. “Tunggu sebentar, Kagami-kun. Kita disuruh ke sini oleh pelatih karena ingin menanyakan rumah manajer, bukan?” “Rumahku?” kaget Mika. “Maksudku Haruhi, yah, begitulah…” “Hai’. Kami berencana untuk menjenguk manajer setelah pulang latihan nanti. Tapi tak ada satupun dari kami yang tahu alamat rumah Fukushima-san.” “Hmm, jadi kalian datang ke mari untuk menanyakan itu. Naruhodo. Kalau begitu, kalian pergi denganku saja. Saat kalian selesai latihan, kirim saja email padaku.” Mika mengambil handphone-nya dalam tas yang letaknya tak jauh dari ia berdiri, lalu bertukar alamat email dengan Kuroko. Melihat keakraban Kuroko dengan Mika yang bertukar alamat email, ada perasaan aneh yang menganjal dalam diri Kagami. Ia merasa kesal sendiri. “Sebentar lagi latihanku selesai. Aku akan tunggu kalian di gerbang sekolah,” tambah Mika. “Hmm, mungkin aku juga akan beritahu Haruhi di rumah tentang jengukan kalian.” “Yoroshiku onegaishimasu, Fukushima-san. Kami permisi dulu,” pamit Kuroko. Kagami langsung jalan dengan penuh kekesalan dari raut mukanya. Kesse! umpat Kagami. “Aa, moshi-moshi, oka-chan?[10]”
Ting..tong... Haruhi membuka pintu rumah dan di sana ada Yuko yang berdiri di depannya. “Yuko-chan?” “Konnichiwa!” sapa Yuko. Haruhi memperhatikan sahabatnya itu, ia masih menggunakan seragam sekolahnya. Ia bisa menerka bahwa Yuko datang ke rumahnya langsung setelah pulang sekolah. “Aku datang untuk menjenguk~!” tambah Yuko dengan wajah ceria. Ia memperlihatkan makanan ringan dan beberapa minuman kaleng dalam kantong plastik. “Kamu mau menjengukku atau mau merayakan sesuatu?” heran Haruhi. “Ah, salah ya? Yah, tadi seharusnya aku bawa buah saja, ya? Ah, maaf ya, Haruhi-chan, aku belum gajian makanya cuman bisa beli ini,” kata Yuko malu. “Lagi pula tak harus bawa makanan kalau mau jenguk aku, bukan? Lagi pula,” Haruhi memegang keningnya, “demamku sudah turun.” “Benar? Kalau gitu, syukurlah!” kata Yuko lega. “Hmm! Ya sudah, ayo masuk!” Haruhi mengajak Yuko masuk. “Permisi~” Yuko menukar sepatunya dengan sendal yang disediakan oleh Haruhi. “Dibilang merayakan sesuatu, mungkin iya!” tambah Yuko ceria. “Hah? Memang apa?” tanya Haruhi bingung. Mereka bertemu dengan ibu Haruhi saat akan naik ke atas, ke kamarnya Haruhi. “Aa, ibu kira tadi yang datang Mika,” heran ibu. “Konnichiwa,” sapa Yuko pada ibunya Haruhi. “Ternyata nak Yuko yang datang. Dari sekolah? Seragamnya masih dipakai,” terka ibu. “Aa..haha... Kalau udah di rumah, jadi malas ke luar,” jawab Yuko malu-malu. “Sou desu nee~!” tambah Haruhi sedikit mengejek. “Nee~!” cibir Yuko. “Tadaima![11]” Haruhi dan Yuko terdiam sejenak mendengar suara pintu dibuka dari luar. “Okaerinasai, Mika-chan![12]” jawab ibu yang segera ke depan menemui anak sulungnya. “Ojamashimasu![13]” Terdengar suara lainnya setelah suara Mika. Haruhi dan Yuko terheran-heran, mereka saling menatap dan menggeleng. Mereka kembali turun dan pergi ke arah pintu depan. “Yo, manajer! Konnichiwa!” sapa mereka. “Minna?!!” Haruhi keget melihat beberapa anggota tim basket berkumpul di rumahnya, termasuk Aida Riko. Ibunya Haruhi menyuruh mereka untuk masuk ke dalam, menyediakan sendal yang ada, mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu. Riko langsung memeluk Haruhi dari belakang dengan tangan kanannya yang mengelilingi leher Haruhi seolah mencekik manajernya itu. “Oh, sepertinya kamu sudah sehat, ya? Kenapa gak ngabarin kalau kamu itu sakit, hah?” kesal Riko. “Gomenasai, Riko-neesama!” kata Haruhi memelas. Riko menjitaki kepala Haruhi beberapa kali. Yuko dan Mika tak sengaja saling memandang dan tertawa kecil. “Apa mereka selalu terlihat seperti ini?” tanya Yuko. “Yah, mungkin lebih parah dari yang kita lihat!” canda Mika. Mereka yang menjenguk beberapa dari anak kelas satu termasuk Tora, beberapa anak kelas dua dan kelas tiga, termasuk sang kapten, dan juga Aida Riko sebagai pelatih. Kagami yang awalnya tak mau ikutpun akhirnya ikut juga karena dipaksa Riko "karena Riko berpikir sepertinya akan menyenangkan jika ia bisa menertawakan Kagami dengan kakaknya Haruhi nantinya, juga karena Kuroko ikut menjenguk. Ibu menyediakan minuman dibantu Mika dan Yuko untuk tamu mereka yang lumayan banyak itu. Setelah itu, mereka bertiga duduk di belakang melihat pemandangan yang akrab itu. ‘Sepertinya sangat menyenangkan,’ kata Yuko dalam hati. Ia tampak senang namun juga merasa sedih. ‘Syukurlah, Haruhi-chan, kamu telah menemukan tempat yang bisa menerimamu,’ kata Mika, ia sangat bersyukur melihat keakraban antara Haruhi dan anggota timnya. Sedangkan ibu hanya tersenyum bahagia. Ia merasa lega ternyata anaknya memiliki teman-teman yang dapat membuat anaknya tersenyum. “Maaf, kalau kami mengganggu,” kata Riko pada ibunya Haruhi. “Ah, tak apa. Mika juga sudah mengatakannya terlebih dahulu, jadi ibu telah siap-siap,” jawab ibu tak keberatan. “Hah? Jadi Mika-ne udah bilang dulu ke ibu?” heran Haruhi. “Kenapa gak bilang ke aku juga?” tanya Haruhi ke kakaknya. Mika membalikkan bola matanya sekali, mencari alasan, “Ke~jutan~?!” “Kejutan?” Haruhi melihat teman-teman satu timnya. “Hahaha... kejutan juga buatku, Kagami-senpai juga ikut menjenguk, aku terharu senpai,” kata Haruhi mencoba mengerjai senpai-nya itu. Kagami memalingkan wajahnya, “Huh, siapa juga yang mau menjengukmu. Kalau bukan dipaksa Kuroko, aku tak akan ikut!” Kagami mencari alasan. “Tsundere[14],” kata Yuko dengan suara kecil. Karena ia duduk di samping Mika tentu ia mendengar apa yang dikatakan Yuko. Ia menutup mulutnya karena hampir tertawa. “Karena Kuroko-senpai atau. . . karena Mika-ne?” tanya Haruhi sambil menunjuk kakaknya yang ada di belakangnya. Mika tak jadi tertawa, wajahnya berubah merah. “Aku tak ingat kalau aku memaksamu ikut, Kagami-kun,” timpal Kuroko. “Aakh!!” Kagami kegagapan. Semua pada tertawa. “Hahahaha. . . .” “Kami baru tahu tentang hal ini, Kagami, kenapa kau tutupi?” goda Hyuuga, sang kapten. “URUSAI!![15]” kesal Kagami. “Kagami-senpai, kalau mau, langsung aja sekarang, mumpung ibunya ada di sini, douzo~,” Haruhi tambah mengerjai Kagami, ia menunjuk dengan kedua tangannya pada ibunya yang duduk di sebelah Mika. Yang lain ada yang bersiul, bahkan mengiyakan kata Haruhi. Sedangkan Mika sangat malu dengan apa yang dikatakan adiknya itu. “Haruhi!” “Aku rasa Kuroko-senpai juga tak merasa keberatan, benar bukan?” Haruhi mengalihkan pandangannya pada Kuroko. “Untuk urusan hati, aku akan mengizinkannya, Fukushima-san,” jawab Kuroko sambil memperlihatkan ibujarinya. Kagami langsung memukul kepala Kuroko yang ada di sampingnya. “Ittai desu.[16]” “Omae![17]” kesal Kagami. “Sudah, sudah! Kita ke sini untuk menjenguk Haruhi, bukan? Jangan merusuh lagi,” kata Riko menenangkan suasana. “Jadi. . . sebagai pelatih aku juga akan mengizinkannya, Kagami-kun! Kapan kita mulai berbesanan, oka-san?” Riko menambah candaan Haruhi dengan menatap ibunya Haruhi serius. Ibu sendiri agak kebingungan dengan sikap anaknya dan teman-temannya itu. “Aduh, bagaimana, ya? Bagi ibu, asal Mika bahagia saja,” jawab ibu, tertawa kecil. “Oka-chan!” Mika merasa sangat malu. Ia tak menyangka ibunya akan mengikuti candaan Haruhi yang membuatnya malu di depan ibu dan teman-temannya Haruhi. Ia pun pergi ke luar. “Haruhi, kurasa candaanmu keterlaluan.” Kata Yuko mendiamkan semuanya. Haruhi terdiam. Yuko memang pendiam, tapi saat ia bicara walau sepatah orang bisa terdiam mendengarnya. “Sumimasendeshita, minna,” sesal Haruhi. “Iie, iie. Kami juga seharusnya minta maaf, pada Mika dan oka-san juga,” kata Riko mewakili semuanya. “Kami minta maaf jika telah bicara berlebihan,” tambah Hyuuga. “Tak apa. Ibu mengerti, kalian sering bercanda seperti ini di luar, hanya sebagai candaan bukan? Mika pasti berpikir seperti itu juga. Ia hanya merasa senang saja diajak bercanda seperti itu,” jelas ibu tertawa. “Merasa senang?” Yuko berbisik pada dirinya sendiri. “Padahal rencana kami ingin menjenguk manajer, tapi malah mengerjai Kagami dengan kakaknya Haruhi. Harusnya kita membicarakan tentang basket saja, ya?” tambah Riko. “Yah, sesekali ngerjain Kagami menyenangkan juga!” “Bermaksud banget, kantoku-san!” kesal Kagami. “Haha... gomen, gomen! Jangan langsung marah begitu.” Mereka mulai bicara dan bercanda kembali. Membicarakan tentang pertandingan basket streetball sampai pada rencana akan pertandingan Inter High. Karena tahun lalu mereka masih berhasil masuk ke semifinal dan kalah dari tim Touou. “Final-nya dimenangkan oleh Touou dari Kaijou, bukan?” ingat Tora. “Ya, benar!” jawab Riko. Mendengar berhubungan dengan Kaijou, jantung Yuko berdetak kencang karena mereka mengatakan tentang sekolahnya sendiri. ‘Tapi tak ada satupun yang berhubungan denganku, bukan?’ katanya menenagkan hatinya sendiri. “Ngomong-ngomong tentang Kaijou, bukannya itu seragam dari sekolah Kaijou?” kata Hyuuga menunjuk Yuko. Yang lain memandangi Yuko yang memakai seragam yang asing bagi mereka. “Eh?” Yuko bingung mau menjelaskannya bagaimana. “Memangnya kalau iya, kenapa?” tanya Haruhi polos. “Jadi benar?” tanya Tora. “Emang. Yuko sekolah di Kaijou, sama dengan Kise-ni,” jelas Haruhi. ‘Gak usah dijelasin juga, Haruhi-chan!’ kata Yuko dalam hati panik. “Jangan-jangan dia mata-mata dari Kaijou!” terka Tokigawa curiga. “Tak perlu takut! Yuko sendiri gak kenal Kise-ni, ya ‘kan, Yuko-chan?” “E..eto, Ryouta Kise yang kemarin itu, ya?” kata Yuko pura-pura tak kenal. “Tuh, ‘kan! Yuko-chan gak kenal!” timpal Haruhi agar semuanya tak mencurigai Yuko. Mereka kembali berbincang-bincang tentang basket. Setelah itu, ibu dan Yuko keluar dari ruang tamu. Yuko sendiri pergi ke kamar Mika untuk beristirahat. Yuko sudah biasa main di rumah Haruhi dan telah dianggap keluarga sendiri di rumahnya Haruhi, begitu pula Haruhi di rumah Yuko. Namun karena rumah Haruhi sangat ramai setiap hari karena pekerja antar barang, ditambah ada dua kakak laki-laki Yuko yang terkadang ada di rumah membuat Haruhi segan main lama di rumah Yuko. “Micchan, aku masuk, ya,” kata Yuko saat masuk ke kamar Mika. Ia membawa makanan yang tadinya untuk Haruhi. Mika heran dengan makanan ringan yang dibawa Yuko. “Tadinya untuk Haruhi, tapi dia ada temannya, yaa sudah~”
Setelah sejam lebih mereka berada di rumah Haruhi, tim Seirin pun pamit pulang pada Haruhi dan juga ibunya. Dan yang pertama kali keluar ialah Kagami! “Besok sudah masuk sekolah bukan?” tanya Riko. “Pasti!” jawab Haruhi mantap. “Kalau begitu, kami permisi pulang dulu,” pamit Riko dan yang lain pada Haruhi dan ibunya. Setelah tim Seirin telah jauh dari rumah, Haruhi menutup pintu rumahnya. Ia sangat senang, ternyata timnya ingat akan ia dan menjenguknya. Yuko dan Mika pun turun ke bawah menemui Haruhi. “Ah, Mika-ne, gomen...” Mika menggeleng, “Tak perlu, Haruhi-chan. Yuko sudah menjelaskannya, kok.” “Menjelaskan apa?” heran Haruhi, ia melihat sahabatnya. Yuko menyipitkan sebelah matanya. Haruhi sedikit mengerti dan tersenyum. “Yuko-chan, aku mau makan rolling choco yang kamu bawa tadi~” rengek Haruhi tiba-tiba. “Masih ada di atas. Nyok!” ajak Yuko. Mereka bertiga pun ke atas, ke kamar Haruhi. [1] menakutkan [2] Gak ada, [3] Ah, menyusahkan! [4] Gawat, dingin! [5] Sedikit (lebih baik) [6] Kalau begitu [7] Boleh saja! [8] Hmm, ya, kan, gak bisa tidur! [9] Permisi [10] Halo, ibu? [11] Aku pulang! [12] Selamat datang (kembali), Mika [13] Permisi [14] Sebutan untuk orang yang ingin sesuatu tapi menutupinya dengan kemarahannya [15] Diam! [16] Sakit tahu [17] Kamu itu! © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
Stats
312 Views
Added on September 28, 2014 Last Updated on September 28, 2014 Tags: fanfiction, sport, teen, comedy AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|