Chapter 7: Death TrainingA Chapter by Aga ALanalatihan kematian yang bisa buat orang mati(?) Sasugeh, Haruhi-chan~! Lalu, ada yang mengganggu latihan, siapa ya??Hari minggu yang dijanjikan. . . . . . . Bukan acara pesta ulang tahun atau pun kencan yang dijanjikan, melainkan training yang direncanakan oleh dua gadis pada dua puluh laki-laki di lapangan luar sekolah Seirin. Dan kedua puluh laki-laki tersebut pasrah akan takdir mereka di tangan kedua gadis tersebut. “Kapan barang-barang itu sampai, Haruhi-chan?” tanya Riko tak sabar. “Yuko-chan bilang sebentar lagi ia tiba di sini,” jawab Haruhi setelah menelpon sahabatnya. Riko membunyikan peluitnya, para anggota klub basket tersebut berhenti dari pemanasan mereka masing-masing. “De, minna, sampai barangnya sampai, kalian keliling sekolah dua kali!” perintah Riko tiba-tiba. “Hee??” keluh mereka. “Hee tte janai[1]!” kesal Riko. “Barang apa?” tanya Hyuuga heran. “Ih, senpai kepo, deh!” canda Haruhi. “Jya, siapa yang menang dapat hadiah! Gimana?” kata Haruhi memacu semangat para pemainnya. Mendengar hal itu tentu saja mereka bersemangat dan ingin mendapat hadiah. Selama berlatih dengan Riko, mereka tak pernah mendapat hadiah apapun kecuali masakan Riko yang dapat membunuh mereka perlahan, dan itu menyakitkan! Bisa balik ke kamar kecil berkali-kali, bahkan pingsan di tempat! “Karena barang yang akan tiba itu hadiah buat kalian semua dariku~” tambah Haruhi sedikit manja. “Ah, khusus untuk Kazegawa-kun, kamu tinggal!” tambah Haruhi. Riko kembali membunyikan peluit dan mereka malah menjadi lomba lari, mengelilingi sekolah dua kali. Lalu Tora mendapat latihan khusus, menambah tinggi tubuhnya selama yang lain lari dengan skipping di tempat. Pas dua kali keliling selesai, dengan Kagami, Hyuuga dan Shinji yang tiba lebih dulu dari yang lain, seorang tukang paket masuk ke lapangan sekolah dengan motor yang membawa beberapa kardus di belakangnya. Setelah menyelesaikan lari, mereka langsung duduk, kelelahan. Saat Kagami tiba, Tora langsung berhenti skipping dan ia merasa akan pingsan dan tiduran di atas tanah. “Sasugeh, Kuroko-senpai, paling belakang. Ah, Yuko-chan!” Haruhi mendekati Yuko yang membawa barang-barang yang dipesan Haruhi. Haruhi langsung membantu menurunkan kardus-kardus tersebut. Setelah itu, ia memperkenalkan Yuko pada Riko, sang pelatih. “Kamu dapat sim dari mana?” tanya Haruhi bingung. “Pinjam punya aniki[2]. Lagi pula aku gak lewat jalan raya, hehehe...” “Dasar!” “Oh, iya,” Yuko teringat suatu hal. “Aku lihat ada orang mencurigakan di depan gerbang. Kulihat, ia melihat ke arah sini, lho! Kupikir dia stalker atau apa gitu?” “Eh, masa’, sih?” heran Haruhi. Ia melihat ke arah gerbang sekolah. Yah, tampak warna kuning nimbul-nimbul. Ia curiga. “Riko-ne, apa sekolah lain pernah ngirim mata-mata untuk lihat latihan tim kita?” tanyanya pada Riko curiga. “Saa? Mungkin saja,” pikir Riko. Haruhi memberanikan diri keluar melihat orang itu. “Hei, Haruhi-chan!” Yuko mencoba mencegah Haruhi, takut orang itu berbahaya. Para anggota tak bereaksi karena mereka sangat kelelahan dan lebih memilih meregangkan otot-otot mereka. “Anata[3]?!” kaget Haruhi melihat orang itu. “He..hehehe..? Yo!” sapanya akrab. Setiba di gerbang, Haruhi berkecak pinggang di depan ‘stalker’ itu "setelah tahu siapa orang itu, dan langsung menariknya masuk ke dalam. “Ch...chotto, Haruhicchi!” Mendengar keributan di luar, para pemain menengok ke arah Haruhi yang sedang menarik keluar seseorang. Ternyata seorang laki-laki yang tinggi dan berambut kuning. Para senpai tahu siapa sosok itu dan sebagian ichinen yang mengenalnya juga kaget. “Ryouta Kise??!” “Ngapain dia di sini?” heran Hyuuga. Kise pun mengalah dan jalan seperti biasa mendekati para pemain basket seirin. “Hisashiburi, Kurokocchi~!” sapa Kise pada Kuroko seolah tak menghiraukan para pemain yang lain, termasuk Kagami. “Domo[4],” balas Kuroko yang masih terengah. “Hoi, kamu mau mematai kami berlatih lagi apa?!” kesal Kagami karena dicueki. “Hoa..hoa! Jangan marah dulu, Kagamicchi~! Aku ke sini hanya ingin menyapa seseorang,” Kise membela diri. “Huh, Kuroko maksudmu?” sinis Kagami. “Iyaa[5]... kenapa harus Kurokocchi terus,” Kise menggelengkan kepalanya. “Walau aku tahu Kurokocchi sangat imut dan selalu dirindukan, tapi. . . aku datang ke sini khusus untuk menemui seorang gadis!” kata Kise menyipitkan matanya. Semua pada bingung, siapa gadis yang ia maksud. Mereka melihat Aida Riko, tampaknya bukan karena Riko pun kaget dengan perkataan Kise. Lalu, di Seirin ini siapa yang ia kenali? “Bukankah begitu, Haruhicchi~!” Kise menepuk kepala Haruhi dengan akrabnya. “HEEE??” Manajer?? Dari mana mereka kenal?? kaget para pemain dalam hati. Haruhi menangkis tangan Kise dengan kesal. “Ukh, jangan perlakukan aku kayak anak kecil lagi, Kise-ni!!” KISE... NIII??? mereka kaget kembali. “Yaah, jangan jutek gitu, dong, Haruhicchi~” Kise masih mengelus kepala Haruhi, sepupunya. Haruhi menjauh dari Kise agar kepalanya tak dielus lagi. Tak sadar, Haruhi malah hampir mendorong Yuko yang ada di belakangnya, tapi untung saja sahabatnya itu tidak jatuh. “Ah, Yuko-chan, maaf,” sesal Haruhi yang langsung sadar telah mengacuhkan sahabatnya itu. Yuko menggeleng, “Tak apa. Tapi... dia siapa?” tanya Yuko heran. “Ryouta Kise, sepupuku. Yah, begitulah,” jawab Haruhi malas. “Rasanya pernah lihat,” pikir Yuko. “Dia salah satu Kiseki no Sedai,” Haruhi menjelaskan. “Hmm.. iya ya?” Yuko masih ragu karena ia sendiri tak terlalu mengenal Kiseki no Sedai. “Kalau model di majalah?” tanya Haruhi pada Yuko. “Dia juga model. Model ikut-ikutan! Haha...!” Sewaktu Haruhi menjelaskan tentang Kise pada Yuko, Kise sendiri sibuk bicara dengan para anggota basket Seirin yang lain "terutama dengan pemain inti, tentang kedatangannya dan hubungannya dengan Haruhi sebagai sepupu dekat yang ada di Tokyo. “Jadi kalian sepupuan?” heran Riko. “Yipie!” jawab Kise. “Karena aku tahu Haruhicchi masuk sekolah Seirin bukannya Kaijou, aku langsung ke sini. Mikacchi yang menyuruhku datang ke Seirin. Tak kusangka ia malah menjadi manajer di tim basket ini.” Kise kembali mengacak-acak rambut Haruhi. “Aku selalu berharap punya adik seimut kamu tapi malah kamu yang menghindar,” kesal Kise. “Aku gak mau punya kakak kayak kamu!” cibir Haruhi. “Ah, kamu hanya malu saja, kan, Haruhicchi?” Tak terbendung kekesalannya akan kelakuan Kise yang udah tiba tanpa diundang, mau melihat latihan rahasia seirin dan lagi mengacak rambutnya yang paling membuatnya kesal, ia pun menarik Kise untuk keluar dari lapangan sekolah Seirin. Tapi Kise lebih kuat darinya dan tak beranjak sesentipun. “UKH! Yuko-chan!” “Eh? Hai’?” kaget Yuko yang hampir membuka kardus pesanan Haruhi. “Gak usah bantuin buka kardus. Aku punya permohonan besar. Paketin nih orang, kirim ke mana aja boleh asal jangan balik lagi ke sini!!” kesal Haruhi pada Kise yang tak mau diusir. Yuko malah berpikiran polos, bingung, gimana cara mempaketkan orang sebesar itu? Ia memperhatikan Kise, lama-kelamaan tiba-tiba saja wajahnya memerah. “Sepertinya aku gak sanggup maketinnya?” gumam Yuko menyesal. “Hah?” Haruhi tak bisa mendengar perkataan sahabatnya itu. “Kise-ni!” “Kenapa segitunya marah, sih, gak biasa?” kata Kise pelan pada Haruhi. “Aku hanya tak mau Kise-ni lihat secret training kali ini. Dan lagi. . . aku tak mau kita terlihat akrab oleh mereka. Aku sudah di sisi Seirin, kau tahu itu!” jawab Haruhi dengan suara pelan juga. “Wakatta, wakatta!” kata Kise pasrah. “Sampai jumpa di pertandingan, Seirin!” kata Kise pada para anggota basket seirin. “Jaa na[6], Kurokochi! Kagamichi!” “Jangan memanggilku seperti itu!” bentak Kagami. “Ayo, nona pengirim paket, paketkan aku dengan baik, ya?” Kise mencoba membual pada Yuko, dan tentu membuat gadis itu salah tingkah. Tapi reaksi Yuko malah sebaliknya. “Baiklah, kau mau kupaketkan seperti apa?” balas Yuko memegang tali seakan ingin mencekik Kise. “He?” kaget Kise. “Mata atode, Haruhi-chan!” pamit Yuko pada Haruhi. “Aida-san mou.” Riko mengangguk pada Yuko. Dan juga pamit pada yang lain dengan menganggukkan kepala lalu memasang topinya kembali lalu menaiki motor dan menghidupkan starternya. “Ryouta-san, perlu tumpangan?” tawar Yuko. “Tapi aku ‘kan paket?” candanya. Tanpa basa-basi Kise pun naik ke motor Yuko dan mereka pun pergi meninggalkan sekolah Seirin.
“Mau turun di mana, senpai?” tanya Yuko pada Kise dalam perjalanan. “Lho, kok kamu manggil aku senpai?” heran Kise. “`Kan aku sekolah di Kaijou,” jawab Yuko ringan. “Heh?”
“Kalian tampaknya akrab sekali,” sindir Riko pada Haruhi. “Ryouta Kise-ni?” tanya Haruhi. Riko pun mengangguk. “Malah aku juga banyak belajar basket dari dia, secara tak sengaja juga sih.” “Tapi kenapa kamu mati-matian menyuruhnya pergi?” “Karena aku sudah di pihak Seirin. Dan tentunya latihan kita kali ini harus rahasia, tak boleh satupun orang dari sekolah lain yang boleh mengetahuinya,” jelas Haruhi. “Ternyata kau setia juga pada teman,” kata Riko senang. Haruhi membuka kardus-kardus itu dan mengeluarkan semua isinya. Saat menyadari kalau semua isi kardus itu bukanlah hal yang menyenangkan, Kagami sadar bahwa hadiah yang dijanjikan itu hanyalah omong kosong belaka. Isinya berupa pembeban kaki yang terbuat dari karet yang diisi pasir lalu diikat ujung-ujungnya. “Jadi itu hadiahnya?” ungkit Kagami. “Eh, kok senpai tahu?” Haruhi tercengang karena belum menjelaskan apapun. “Firasat.” “Sasugeh, Kagami-senpai.” Haruhi memberikan ibu telunjuknya pada Kagami. “Hai’, kore~[7]” Haruhi memberikan ikatan kaki itu masing-masing dua buah untuk kedua kakinya. Haruhi memberikan instruksi pada semua anggota cara memakai beban kaki tersebut dan membagikannya setiap orang dua buah untuk setiap kaki mereka kecuali tiga orang yang larinya paling cepat tadi diberikan empat buah. Mereka disuruh untuk lari mengelilingi sekolah sekali lagi dengan pembeban kaki di kaki mereka. Kali ini, yang paling belakang dapat pembeban kaki satu buah. Tentu saja mereka tak mau diberikan beban kaki satu lagi, mereka semua berlomba kembali. “Hue! Ini latihan klub basket atau klub lari, sih?” kesal salah satu ichinen. “Jangan protes!!” kata Riko keras. Ia membunyikan peluit dan mereka kembali berlari. Kecuali Tora yang disuruh kembali skipping. “Tak kusangka kau memiliki ide ini,” kata Riko memegang salah satu pembeban kaki tersebut. Ia mencoba menebak berapa berat rata-rata masing-masing pembeban itu, dengan ketebalan karet dan pasir yang diisi padat. “Kau dapat sebanyak ini dari mana?” “Punya kakaknya Yuko-chan. Kebetulan kakak sulungnya seorang pendekar, ia sering melatih otot kakinya dengan ini. Ini dipinjam dari tempat ia berlatih, karena hari minggu mereka bertanding sesama mereka bukan berlatih.” “Pendekar?” bingung Riko. “Ah, itu panggilan seseorang yang mendalami ilmu bela diri tapak suci, itu kalau tidak salah dari Indonesia.” “Souka. Kita pinjam beberapa minggu ini, bagaimana?” “Oke. Nanti aku coba minta izin sama kakaknya Yuko-chan langsung.” “Sip!” Selama semua anggota berlari, Riko dan Haruhi merencanakan berbagai macam latihan yang akan diberikan pada para anggota klub beserta waktu dan tempat yang berbeda-beda agar mereka lebih semangat dalam berlatih. Dan selama skipping, Tora berpikir dalam hatinya kalau ia skipping terus apa memang bisa dapat menambah tingginya lebih cepat? Tapi ia tetap ber-skipping dan sesekali berhenti karena lelah. Setelah berlari dengan pembeban kaki, merasakan bagaimana otot mereka menerima training baru mereka dan hal itu harus dibiasakan, Haruhi memiliki pendapat seperti itu. “Ah, Kuroko-senpai telat! Tambah beban satu lagi!” perintah Haruhi memberikan pembeban satu buah, walau sebenarnya tak hanya Kuroko saja yang telat. Kuroko dengan pasrah menerimanya lalu mengikatkannya pada kaki kirinya. Mereka beristirahat sebentar dulu sebelum memulai latihan kembali. Dan Haruhi beserta Riko membagikan minuman kaleng pada mereka semua. Setelah otot kaki mereka baikan, mereka disuruh jalan ke lapangan basket tapi masih memakai pembeban kaki. “Hoi, manajer, sampai kapan pembeban kaki ini dipakai?” bentak Kagami pada Haruhi "itu karena ia tak berani membantah ke Riko. “Ah, masa’ tenaga senpai cuman segitu? Payah!” ejek Haruhi. “Te..teme[8]!!” Kagami mulai marah seolah ingin memakan Haruhi hidup-hidup. Haruhipun malah menantang balik dengan mencibir ke arah Kagami. “Hai’ sokomade[9]!” Riko melerai Kagami dan Haruhi dengan menjewer kedua telinga mereka. “Haruhi-chan, sebaiknya kamu urus data-data ini,” Riko memberikan banyak lembaran kertas pada Haruhi. “Dan Kagami-kun, cepat sana mulai pemanasannya!” “Osh,” jawab Kagami lemas. Diingatkan lagi bahwa tak bisa membantah apa yang dikatakan Riko. Bukan hanya Kagami, yang lain pun begitu. Mereka mulai pemanasan dengan masih memakai pembeban kaki. Dan Riko memerintahkan mereka berlatih dribble, shoot dan pass masih dengan pembeban kaki. Tentu saja mereka tak leluasa bergerak, bahkan Hyuuga yang dengan mudah shoot three poin menjadi gagal beberapa kali. Mereka terus berlatih sampai terbiasa dengan beban di kaki mereka. “Hua! Hyuuga-senpai sudah terbiasa dengan beban di kakinya, three poin pun berhasil dilakukannya,” komentar Haruhi. “Dan sepertinya Kagami bisa melompat lebih tinggi, jika pembeban itu di buka,” tambah Riko. “Apa semua perkembangan mereka telah kamu catat?” “Hmm!” Haruhi mengangguk bersemangat. Detak jantungnya berdegub kencang, ia dapat merasakan kesenangan saat mereka semua berlatih basket. Dan kerinduannya pada basket kembali muncul. Ingin, aku ingin bermain! Setelah beberapa jam latihan, akhirnya Riko mengizinkan mereka melepaskan pembeban kaki mereka lalu mengumpulkan kembali ke dalam kardus. Karena pembeban itu telah dilepas, serasa langkah mereka lebih ringan tapi tetap terasa pegal dan keram. Mereka melakukan peregangan agar kaki mereka tak cidera. “Minna, latihan hari ini sampai di sini.” Riko mengumpulkan semua anggota dan mengakhiri latihan hari ini. “Sebelum bubar, ada yang ingin ditanyakan?” Sebagian anak ichinen saling berbisik. “Ada apa? Katakan saja.” “Iie, nandemonai desu[10],” jawabnya ragu. “Eto, kantoku-san[11],” Tora memberanikan diri bicara mewakili teman-temannya. “Kami berpikir, latihan untuk kami serasa kurang maksimal, dan rasanya kami sangat tertinggal jauh dengan para senpai. Jadi. . . kami ingin minta izin untuk ikut street basketball.” “Semangat kelas satu yang kusuka!” puji Kiyoshi. “De, bukannya tahun lalu Kagami-tachi juga pernah ikut seperti itu?” “Dan bukannya senpai juga ikut menggantikan Kawahara?” kata Kagami balik. “Yah, itu hanya kebetulan saja,” elak Kiyoshi menggaruk kepalanya. “Jadi waktu itu kamu juga ikut main?” kata Riko menatap Kiyoshi tajam. Kiyoshi hanya tertawa kecil. “Jadi di mana kalian ikut pertandingan?” Tora memberikan selembaran pertandingan pada Riko, Haruhi ikut melihat selembaran itu. “Tapi kalian ada sembilan orang, siapa saja yang akan ikut?” “Itulah yang masih kami pikirkan. Kalau kami ajak salah seorang senpai gimana?” tanya Tora menatap Kagami. Kagami saat itu mau saja dan akan mengatakan oke tapi. . . “Tidak, tidak. Kalau kalian membawa Kagami rasanya tidak adil. Dia lebih profesional dari pada kalian. Kalian harus menentukan sendiri siapa yang akan ikut,” tegas Riko. “Tapi... kami semua ingin ikut,” tambah Tokigawa. “Ehem!” Haruhi mendehem keras membuat perhatian. “Bukannya ichinen pas sepuluh orang? Kita bisa buat dua tim,” katanya ceria. Mereka semua menatap Haruhi tak percaya. “Jangan bilang kalau kamu. . .” “Apa di sana ada ketentuan jenis kelamin?” tanya Haruhi menegaskan. “Tidak, bukan? Jadi, Riko-ne bisa menetapkan!” Riko menggeleng kepala. “Hah, dasar anak kelas satu selalu saja bikin susah. Seterah kalian saja, kuizinkan!” “Yeah! Yatta[12]!!” anak ichinen langsung bersorak. “Arigatou gozaimasu!” “Ya, ya, asal jangan berbuat kerusuhan saja,” tambah Riko. “Tenang saja, Riko-ne, ‘kan ada Haruhi~” “Aku tambah khawatir karena kamu ikut!” kata Riko balik menatap Haruhi curiga. “Bilang saja kamu pengen main basket. Tanganmu pasti selama ini gatal, kan?” bisik Riko pada Haruhi. “E..he~he...”
Sebelum pulang sekolah, anak kelas satu mendiskusikan siapa saja yang akan menjadi teman satu timnya karena mereka telah pas bersepuluh sehingga bisa membentuk dua tim. Tapi. . . mereka masih belum yakin dengan Haruhi. Kebanyakan mereka menginginkan setim dengan Tora karena kesan pertama yang diberikannya membuat yang lain menyukainya dan lagi ia ahli dalam three point. “Hoi, hoi! Mentang-mentang aku perempuan kalian mengacuhkanku! Kalau tak kubela, kalian tak akan dapat izin dari Riko-ne, tahu tidak?” kesal Haruhi. “Kau sok dan seenaknya. Aku tak akan mau setim dengan gadis lemah!” ejek Tokigawa. “A..apa?!” dibilang begitu Haruhi benar-benar kesal. Tora, sebagai satu-satunya teman sekelas dengan Haruhi langsung membela. “Kalau begitu, aku mau satu tim dengan Fukushima. Kalau bukan karena dia, aku tak akan masuk klub ini.” Mereka langsung diam dan berpikir kembali. “Kamu yakin bisa main basket?” tanya Tokigawa sinis. “Kau akan menyesal nantinya mengabaikanku, Tokigawa-kun,” kata Haruhi sedikit mengejek. Setelah lama berdiskusi, mereka telah menetapkan siapa saja yang akan menjadi teman satu tim mereka. Pertandingan streetball akan diadakan seminggu lagi, selama itu mereka berlatih sesama kelas satu di luar sekolah. Mereka mencoba untuk tidak mengandalkan para senpai, tapi mengandalkan kemampuan mereka masing-masing dan juga teamwork, begitulah seharusnya tim basket Seirin. Namun selama seminggu, Haruhi tak pernah ikut latihan, ia hanya mengintruksi cara mereka bermain hingga ada diantara mereka yang masih meragukan Haruhi bermain minggu depan. “Apa benar kau akan ikut bermain?” tanya Tora pada Haruhi saat istirahat latihan. “Tuh, kan, kamu sendiri meragukanku. Sebagai teman kau tak harus meragukan temanmu!” Haruhi membela diri. “Kau akan takut jika aku ikut latihan, Tora-kun,” katanya lirih. “Maksudmu?”
Di Kaijou Academy saat jam istirahat. . . “Jadi benar kamu sekolah di sini?” sapa Kise pada Yuko yang melewatinya. Yuko sendiri tak sengaja melewati kelas dua karena arahnya sama dengan arah perpustakaan. Dan ia pun membawa banyak buku ditangannya. “Siapa?” tanya temannya Kise. “Kenalanmu?” “Maaf, ya, duluan saja ke lapangan,” kata Kise pada teman satu tim basketnya itu. Ia pun pergi duluan ke lapangan. “Apa perlu bantuan?” tawarnya mengambil sebagian buku yang dipegang Yuko. “Ii desuka[13]?” Yuko merasa tak enak dibantu oleh orang yang baru ia kenal, kemarin. “Untuk temannya Haruhicchi aku tak keberatan.” “Jadi karena aku temannya Haruhi, ya?” kata Yuko kecewa. “Kalau begitu tak usah saja, senpai, aku sudah terbiasa melakukannya sendiri.” Yuko mencoba mengambil kembali buku-bukunya namun dicegat oleh Kise. “Kau tak suka?” Yuko tak menjawab. Ia malah terus jalan melewati Kise. Tapi anak itu menyusulnya hingga jalan berdampingan. “Apa semua ini kau baca sendirian?” tanya Kise kagum. “Ee.” “Bahkan buku pelajaran kelas dua?” “Aku mau ambil kelas percepatan.” “Kenapa? Ingin lulus secepat itukah?” heran Kise. “Hm… Aku mau membantu usaha keluarga, jadi aku harus lulus cepat.” “Kau berbeda dengan Haruhichi.” “Tentu saja berbeda. Ia memiliki bakat dalam basket dan banyak hal yang bisa ia lakukan di sekolahnya. Sedangkan aku sama sekali tak memiliki keahlian apa pun,” jelas Yuko datar. Kise hanya diam, ia berpikir ternyata orang yang tak memiliki minat sama sekali itu ternyata ada dan nyata di dekatnya. Mengatakan tak memiliki minat manapun teringat akan dirinya dulu sebelum mengenal basket, bahkan kini ia malah sangat menyukai basket. “Oh, iya, namamu siapa? Kau belum memperkenalkan diri. Curang banget kamu tahu tentangku dari Haruhichi,” Kise mengalihkan pembicaraan yang ‘suram’ itu. “Ah, maaf. Aku Shirai Yuko.” [1] Jangan bilang ‘hee’ [2] Kakak laki-laki [3] Kamu?! [4] Halo. [5] Dari kata iie, artinya tidak. [6] Sampai ketemu lagi. [7] ini [8] Kamu! [9] Sampai situ aja! [10] Tidak, tidak ada. [11] itu, pelatih. [12] Akhirnya. [13] Tak apa? © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
Stats
379 Views
Added on September 28, 2014 Last Updated on September 28, 2014 Tags: fanfiction, sport, teen, comedy AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|