Di Persimpangan Jalan ituA Story by Aga ALanacerita singkat saat seorang gadis jatuh cinta.
Namaku Rara. Tahun 2010 adalah
tahun di mana aku memakai baju putih-abu-abu. Tahun ini adalah halaman baru
untukku di masa SMA. Cerita tentang teman baru, guru baru, kelas baru, suasana
baru, mungkin juga, cerita cinta yang baru. Ya, walau sebenarnya seumur hidup
aku belum pernah pacaran.
Aku tetap optimis. Aku sampai sekarang belum kepikiran untuk pacaran. Jadi, gak terlalu dipikirkan masalah itu. Apalagi kalau sampai patah semangat cuma karena masalah cinta. Gak banget! Tapi, masalah yang sedang aku hadapin sekarang adalah… TER-LAM-BAT! Jam di dinding lagi gak bersahabat denganku. Tangan panjangnya lagi nunjuk ke angka tujuh, dan tangan pendeknya ke angka tujuh juga! Padahal, jam masuk sekolahku itu jam 7.00. Nunggu angkot lima sampai sepuluh menitan, biasa angkot cari penumpang dulu. Lama perjalanannya bisa 15 menitan lebih. Duh, ampun deh kalau lagi dalam suasana terlambat. Setelah mengenakan selendang dan sepatu, aku langsung berangkat. Kulangkahkan kaki ini secepat angin (lebay.com). Saking kencangnya, sepatuku mau lari duluan! (lebay-again.com). Bercanda. Setiba di tepi jalan, untungnya aku langsung ketemu angkot. Syukur. Dan alhamdulillah, setiba di sekolah aku tidak terlambat. Eh, tunggu dulu. Kalau begitu, jam di rumahku cepat sepuluh menit, dong! Jam sekolah menunjukkan jam 6.55, di jam tanganku, 7.05. Ter-ti-pu! Tapi gak apa-apa. Lebih baik cepat tiba dari pada terlambat. Kena hukum! Saat berjalan di dekat kelas SBI X, ada seorang cowok lewat dari tempat parkir, persimpangan, dihadapanku. Tak sengaja, kami berpandangan. Karena aku cewek yang pemalu, tentu saja kupalingkan pandangan dalam 0.5 detik. Dia terus berjalan, dan aku pun tetap berjalan tak melihatnya ke kelasku yang ada di lantai satu. Lumayan tampan. Tapi aku gak tahu siapa dia. Mungkin kakak kelas. Duh, mikirin apa sih aku? * * * Teng-teng-teng… Jam istirahat pun berbunyi. Setelah pelajaran matematika setengah harian penuh membuat kekosongan perut melemasi badanku. Huft, capek! Dari lantai satu, khususnya dari kelasku yang lumayan terpojok ke kantin memerlukan waktu tiga menit, belum lagi perjuangan berbelanja melawan arus manusia yang begitu banyak berbanding terbalik dengan kapasitas kantin yang kecil. Apalagi, jam istirahat hanya lima belas menit! Setelah perjuangan mengisi perut, aku kembali lagi ke kelas. Namun saat aku akan naik tangga, temanku Dila mencegatku. “Rara!” Aku kaget setengah mati karena teriakannya, “Apa?” “Hehe, nggak ada. Cuma mau minta temani aku ke perpus sebentar,” cengirnya. “Yakhs! Kupikir kamu kenapa!” marahku. “Hehe, sorry, sorry!” “Ya, deh. Masih ada waktu lima menitan lagi,” kataku pasrah. “Memang kamu mau minjam buku apa?” “Hmm… buku sosiologi. Lusa ‘kan harus ngumpulin tugas sosiologi.” “Oh, iya, ya.” “Kok, kamu tenang-tenang aja?” tanyanya penasaran, “Udah selesai, ya?” “Hmm… kasih tahu nggak, ya?” “Ih, kamu bercanda aja kerjaannya!” Sebelum sampai di perpustaka, kami melewati persimpangan dekat kelas SBI X, mengingatkanku pada kejadian tadi siang. Sampai-sampai aku melamun dan teringat orang itu lagi. Hmm… udah lupa wajahnya kayak apa. Haha.. padahal baru tadi pagi. Udahlah, nggak usah dipikirin. DUKK! Karena melamun, aku nggak sengaja menabrak seseorang. Tepat di persimpangan itu. Aku mengaduh, kulihat orang yang ku tabrak itu. Dalam pikiranku cuma satu, minta maaf! “Hei, jalan jangan sambil ngelamun,” nasehat orang itu sambil mengetok kepalaku pelan. Cowok tadi pagi! Sentak pikirku dalam hati. Dia tersenyum. “Ah, maaf!” sesalku. “Iya, kok. Nggak apa-apa. Aku tahu kok, apa yang ada dalam pikiranmu. Aku memakluminya.” Heh? Apa sih maksudnya? Kucerna perkataannya, dan aku mulai menggerutu. Kulihat Dila di sampingku dengan wajahnya yang tersipu. “Ukh, dasar narsis!” kuinjak kaki cowok itu dan menarik Dila pergi dari keadaan yang tidak mengenakkan itu.
“Ra, kamu kenapa, sih? Kok tiba-tiba kasar gitu sama kak Roni?” heran Dila sesaat sebelum sampai di perpustakaan. “Kamu kenal orang itu?” tanyaku heran. “Ya, iyalah. Semua orang juga pasti kenal dia. Dia itu bintang sepak bola di sekolah kita! Dan lagi, kemarin ini dapat juara umum ke dua. Cius deh, lo, kalau nggak tahu hal itu!” “Hmm.. nggak!” “Ampun, deh, Ra. Kamu harus minta maaf lagi ke kak Roni, deh.” “Untuk apa?” “Nginjek sepatu. Kamu tadi nginjek sepatu dia, kan? Emang dia salah apa?” heran Dila. Aku terdiam sejenak. Iya juga, ya? Kenapa aku tadi nginjek sepatunya? Walah, nyesel belakangan! “Ra?” tegur Dila. “Ah, udah, deh. Jangan bahas!” Dila benar-benar tak mengerti dengan tingkahku ini. Aku pun begitu, sebenarnya kalau boleh jujur, aku nginjak sepatunya lantaran malu nggak tahu harus bilang apa. Habis, dia bilang dia tahu apa yang aku pikirkan. Hah? Bukannya itu lebih gawat? Aku menjadi pendiam setelah peristiwa itu. Setelah Dila minjam buku dan bahkan setelah tiba di kelas. Ada rasa menyesal dan malu bentrok dalam pikiranku. “Kenapa lagi kamu, Ra? Si cheer-mood jadi pendiam. Aku lebih takut lihat kamu diam dari pada yang normal, lho!” canda Nabila, teman satu bangku ku. Ku gelengkan kepala, “Nggak ada pa-pa, kok, Bil. Sueer!” “Tuh, kan, ketahuan boongnya.” Aku hanya bias diam. Ya, aku nggak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri. Aku mulai menceritakan kejadian tadi saat istirahat. Semuanya. Ketawa. Ya, respon itu yang diberi oleh Nabila. Aku makin kesal. “Haha.. kamu lucu, Ra! Haha..” dia masih tertawa, “Maaf, aku berlebihan.” “Iya, sangat,” ucapku kesal. “Sebaiknya kamu minta maaf, deh.” “Maunya gitu. Tapi, gimana caranya?” “Pulang sekolah nanti aku temani kamu ke kelas kak Roni, gimana?” What the? Spontan saja pikiranku kalut. Benar-benar nggak tahu harus bilang yes or no kah? Huhu… kalau ke kelas senior tu, ya, rasa naik gunung tertinggi, ketemu monster-monster asing yang ganas abis! (bicara layak iklan). “Kayaknya, nggak usah, deh,” tolakku. “Heh? Kenapa?” “Bunuh diri. DUAR!” kutempelkan telunjuk kananku seolah-olah ada pistol yang akan menembak kepalaku. Nabila mengangkat bahunya. Pasrah. Namun tidak demikian, saat lonceng bel tanda akhir sekolah berbunyi, Nabila menarik paksaku ke kelas XI IA-2, kelas kak Roni. Oh, NO! Mati-matian Nabila menarikku, mati-matian pula aku mencoba melarikan diri. Entah apa alasannya dia memaksa seperti ini. Tidak biasa. “Kamu kenapa sih, Bil, kok maksa gini?” tanyaku heran. Dia hanya menarikku. Terus, dan terus. Ukh, bisa copot nih tanganku! Kami saling adu suara antara pergi dan tidak. Sampai-sampai seluruh warga sekolah melihat kami, heran. Saat itulah Nabila melepaskan tanganku dan mulai mengakui suatu hal. “Aku pernah nembak kak Roni.” Heh, apa? Lalu, apa urusannya denganku? “Aku ingin bertemu dengan dia sekali lagi. Aku belum puas dengan jawabannya. Makanya aku mengambil kesempatan ini dari kamu.” Ukh, aku masih belum mengerti. Dia, Nabila, berakting seperti artis sinetron yang emak aku tonton. Cius! Ini anak kesambet dari mana, ya.. “Saat aku tanya ia punya pacar, katanya tidak punya, namun ada seseorang yang ia sukai.” Nabila berlalu begitu saja, meninggalkanku. Woi, woi! Kenapa seharian ini rasanya aku terperangkap dalam sinetron yang berkepanjangan dan rasanya aku sendiri tak tahu ending apa yang bagus untuk cerita ini. Karena Nabila pergi, nggak ada alasan bagiku ke kelas senior itu. Entah dia cakeplah, pintarlah, seorang bintang sepak bolalah, apalah, nggak ada hubungannya denganku. Aku kembali ke jalan yang lurus, maksudnya, berjalan lurus ke gerbang yang gak lama lagi akan aku lewati. Saat melewati gerbang, ada orang lain lagi yang menarik tanganku. Lagi?!! Kesal!! Aku hampir aja mau meninju orang yang ada di belakangku, yang menarikku ke belakang. Namun… “Hei, mau pulang bareng?” Kak Roni!! Pekikku dalam hati. Kalau aku keluarin suaraku tadi, mungkin seluruh kaca jendela di sekolahku pada pecah, dan juga gerbang ini mungkin langsung roboh. Lebay. Spontan saja aku salah tingkah. Melihat tingkahku, dia langsung melepaskan tanganku. Dia menaikkan satu alis mata, menanda meminta jawaban dariku. “Ma-maksudnya?” heranku. Tiba-tiba ia meminta pulang bareng, sangat aneh bukan, bagi orang yang belum saling kenalan langsung minta pulang bareng? “Pulang bareng, ya, pulang bareng,” jawabnya agak gugup. “Bu-bukannya kakak udah ada yang suka? Nanti ada yang marah,” jawabku bertambah gagu. “Maksud kamu?” Ukh, pakai nanya maksud aku lagi. Padahal aku baru aja kenal dia tadi pagi. Sekarang, eh, ngajak pulang bareng. Please, deh! Apalagi, perasaanku nggak enak sama Nabila. “Eh, itu…” aku benar-benar bingung dan seakan dipaksa bersuara. Duh, aku harus apa? Tiba-tiba saja Nabila dating dari belakang Kak Roni, diikuti oleh Dila. Mereka berdua tersenyum dan menyipitkan mata. Mereka berbisik pada Kak Roni dan menepuk bahuku, “Semoga sukses!” “Yang tadi cuma bercanda. Sorry, ya, Ra,” bisik Nabila. Hei, hei, tunggu teman-teman! Jangan tinggalkan aku dalam keadaan bingung tak tentu! Aku hanya bisa berekspresi dengan tubuhku, suaraku tak bisa kukeluarkan. “Hei, Rara. Nabila itu adik sepupu aku, lho!” Nggak ada yang nanya! kesalku. Aku masih bergumam dalam hati. “Dia sering cerita tentang kamu,” katanya dengan tersenyum. Nggak ada yang.. eh, wait! Maksudnya? Kucoba meliriknya, ia terlihat keren apalagi lebih tinggi dariku. “Don’t you love someone else?” akhirnya suaraku keluar. Entah kenapa harus dengan bahasa Inggris. Apa saking gugupnya? “Yeah, I do,” jawabnya dengan English pula, “That person is . . . you.” “Hee?” Aku kaget, tentu saja. Namun aku merasa ada bunga sakura yang berguguran di sekelilingku. Ah, hanya perasaanku saja. © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|