Bukan Akhir Tapi AwalA Story by Aga ALanaSemua kesalahan bukan karena tak dapat melakukannya tapi tak ada pula kesempatan menyelesaikannya...Bagiku belajar dengan giat dan dapat lulus SMA adalah tujuan utamaku di kelas tiga ini. Karena setelah lulus nanti, aku ingin masuk universitas negeri yang ada di kotaku, Padang. Ya, mungkin karena ekonomi keluargaku yang pas-pas makan sehari-hari, tentunya jika aku dapat masuk kuliah di negeri, biaya kuliahnya lebih ringan dari pada universitas swasta. Pernah terpikir olehku untuk kuliah di luar kota, tapi orangtuaku tak mengizininkanku mengambil kuliah di luar provinsi. Walau diiming-imingkan dengan beasiswa, tetap saja tak diizinkan. Padahal, aku optimis jadi calon penerima beasiswa untuk masuk kuliah, karena aku selalu masuk dalam juara lima besar di kelas. Saat ini, aku sedang menikmati makan siangku di kelas bersama beberapa teman-teman dekatku di kelas. Mereka selalu asyik dengan bahan gosip siang mereka sambil melahap bekal masing-masing. Mulai dari murid, guru bahkan karyawan sekolah menjadi target mereka. Aku hanya mendengarkan, tak banyak bicara. “By the way, Zahra, lo dengar gak, tadi Dika dipanggil lagi sama guru BK. Dia bikin masalah lagi sama teman satu kelasnya, lho!” Waduh, kenapa sih, perbincangan tentang Dika selalu dibicarakan di depanku? Kalian sengaja, ya? Aku hanya menggeleng. “Makanya, Ra, lo jangan di kelas aja dong, sesekali keluar waktu istirahat kenapa? Lo gak merasa care atau gimana gitu sama mantan lo, Dika. Akhir-akhir ini, setelah lo putus sama dia, sifatnya berubah ke gak baik. Lo gak nyadar?” Aku berhenti makan. Kerongkonganku udah sakit menelan segala apa yang dikatakan temanku satu ini, Tania. Aku menghela nafas panjang, “Aku tahu, kok. Tapi, ya, aku gak tahu kenapa dia bisa kayak gitu. ‘Kan aku udah gak dekat lagi sama dia. Apalagi kita udah beda kelas.” “Nah, mungkin itu sebabnya! Mungkin karena lo putusin, makanya dia berubah, karena gak ada yang merhatiin dia,” timpal Hesti. “Aku rasa, Dika bukan orang yang labil hanya karena diputusin. Apalagi, aku minta putusnya secara baik-baik, kok. Dan dia menerima, dia juga ngerti kalau udah kelas tiga sekarang ini, kita harus lebih fokus belajar.” “Ya, dalam hati siapa yang tahu, Zahra. Dia bilang oke, tapi sebenarnya perasaannya gak oke, gimana? Lo tahu, kan, kalau Dika itu udah suka sama kamu sejak kelas satu. Dan baru setahun kemarin dia nembak kamu, itupun karena kita yang men-support dia.” Tak ada rantaian kata yang akan kujawab tentang masalah ini. Sebagian dalam hatiku mengatakan kalau apa yang dikatakan oleh teman-temanku benar. Aku memutuskan untuk putus dengan Dika, bukan berarti aku gak suka sama dia, malah sebaliknya. Aku hanya berpikir, dengan aku putus dengannya, aku gak akan membebani dia untuk lebih berusaha dan belajar, ya, karena aku tahu dia ingin menjadi dokter. Dan untuk meraihnya sangatlah susah. Dan berpikir, dia akan lebih bebas belajar dengan teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan karena akan takut aku cemburu ataupun kesal karena tak diperhatikan. Ya, walau aku tak pernah bersifat seperti itu. Melihat sikap Dika yang berubah, dari anak yang rajin, tipe siswa teladan menjadi seseorang yang lebih suka menyendiri, sering gak masuk sekolah dan bahkan mudah emosi yang berujung pada pertengkaran. Bohong kalau aku gak merperhatikan Dika, malah aku tahu banyak perubahan yang telah terjadi padanya. Pernah suatu hari, Dika duduk sendirian di taman dan saat itu aku ingin mencoba mendekatinya. Namun, karena dia memasang tampang ‘JANGAN DEKATI GUE’, ya, kuurungkan niatku, gak berani! *** Hari Kamis adalah giliranku untuk piket setelah pulang sekolah. Karena itu aku terlambat untuk pulang seperempat jam dari yang biasa, ditambah sepuluh menit menunggu angkot untuk pulang. Secepatnya kuselesaikan tugasku yang satu ini dan langsung menuju halte. Di sana, aku melihat ia termenung kembali, Dika. Sendirian. Langkahku seakan-akan ragu antara pergi atau hadapi. Namun terlambat, Dika melihat ke arahku, objek yang lagi kebingungan. Spontan, kulempar senyuman dan melangkah duduk di sampingnya berjarak lima jengkal tangan. Tak ada kata. Hanya desiran angin yang bermain di sekeliling. Aku tahu, Dika sadar akan aku yang pemalu dan tak berani memunculkan sebuah topik untuk diperbincangkan. Namun dalam hatiku bicara, cobalah untuk berbicara! Tak selamanya diam itu emas, jika kondisi mengharuskanmu untuk mendapatkan jalan. Jalan memecahkan kesunyian? “Mmm… biasanya pulang pergi naik motor, motornya di mana?” akhirnya aku bicara juga, walau bibirku bergerak kaku dan sedikit mengigil, takut. Tak ada respon. Bagus! Tindakanku gak berhasil. Aku tak diacuhkannya. Duh, nyesel banget bicara yang gak enggak. Orang ini pasti marah, pasti marah, pasti marah, hanya itu yang keluar dalam benakku berulang kali. Cemas! “Motorku disita bokap.” “Eh,” kagetku. Apa yang barusan suaranya Dika? Ternyata iya, dia meresponku. Meski ia bicara tak memandangku, namun rasanya orang yang ada di sampingku benar seperti Dika yang kukenal dulu. “Mungkin karena akhir-akhir ini aku bandel kali, ya.” Dia berusaha untuk tersenyum. Raut wajahnya sangat sedih. Aku semakin ingin tahu apa permasalahan yang selalu membebaninya. Aku bersuara lagi, “Ceritakan.” “Hm, apa?” tanya Dika heran. “Kumohon, ceritalah padaku. Jangan dipendam!” Dika diam. Ia membuang muka. Tertunduk, mungkin ia merasa bingung mulai dari mana akan bercerita padaku. “Suatu saat nanti kamu akan tahu,” jawabnya. Aku pasrah. Hanya bergumam mengiyakannya. “Oke...” *** Di rumah Dika… Belum sempat Dika membuka pintu rumahnya, ia mendengarkan lagi perdebatan hebat yang sangat ia benci. Perdebatan antara kedua orangtuanya. Benar, hal inilah yang selalu membebani pikiran dan juga perasaannya. Keharmonisan keluarga Dika tak berjalan baik sejak ia naik kelas tiga. Awalnya cuma berdebatan ringan yang berujung dengan berbaikannya kembali di antara kedua orangtuanya itu. Namun semakin lama, semakin banyak masalah yang timbul di antaranya. Bundanya Dika melihat suaminya jalan berdua dengan wanita lain di sebuah restoran, dan menganggapnya selingkuh. Namun ayahnya berkata lain, bahwa hal itu tidaklah benar. Ia menyangka istrinya terlalu cemburu dan akan marah jika barang-barang pribadinya diperiksa oleh istrinya sendiri. Dan banyak lagi permasalahan yang ada setiap hari di rumah itu sehingga Dika merasa seperti dipaksa menonton drama yang membosankan. Terlalu larut dalam klimaks yang tidak jelas. Kesal. Dalam hati, ia telah muak dengan keadaan kedua orangtuanya. Tak tahu harus membela siapa. Dika membuka pintu rumah secara paksa yang menimbulkan suara gaduh, dan itu mengagetkan kedua orangtuanya. “Hei, anak tak tahu sopan santun! Udah masuk tanpa salam, ngebanting pintu pula. Memangnya kamu bisa apa, ngebayar perbaikannya kalau rusak!” timpal ayah Dika marah. “Jangan marahi Dika, da! Uda gak tahu apa, kalau Dika bersikap kayak gitu karena pertengkaran kita. Jangan pernah melampiaskan amarah uda pada Dika,” bela bunda Dika. “Alah, kamu cari muka sama anakmu sendiri. Kamu sendiri juga salah! Kalau kamu gak mencampuri urusan pekerjaanku, aku tak akan semarah ini.” Bertengkar lagi! Dika tertunduk diam di depan pintu. Tak lama, ia masuk ke rumah, mengabaikan kedua orangtuanya dan masuk ke kamarnya. Setengah jam kemudian, ia keluar dari kamar dengan pakaian yang telah ia ganti dan membawa tas punggung yang berisi penuh. Ayahnya sudah pergi lagi keluar dan bundanya berdiam diri di kamarnya. “Maaf, bunda. Dika pergi tanpa menghapus air mata bunda,” kata Dika pelan di saat ia keluar, meninggalkan rumahnya. Ia pergi. Entah kemana. *** Sudah tiga hari Dika gak masuk sekolah. Dan ini membuat wali kelasnya cemas. Tak ada surat izin, kontak nomor handphone Dika juga gak aktif, orangtuanya juga begitu. Komplit sudah berita ini menjadi bahan gosip di kelasku. Telingaku juga udah panas dengarnya. Apalagi mereka selalu mengaitkannya denganku. Di hari ke-empat, hari Kamis. Akhirnya Ibu Narni, wali kelasnya Dika memutuskan untuk ke rumah Dika, sekaligus menemui orangtuanya. Ditemani Habil dan Rifki, teman dekatnya Dika, Ibu Narni tiba di depan pintu rumah Dika dan mengetuk pintu. Seseorang membukakan pintu, dan tak lain ialah bundanya Dika. Air mata mengalir saat bunda Dika melihat wali kelas Dika datang ke rumahnya. *** Minggu berikutnya, di hari Senin, kudengar Dika kembali lagi sekolah seperti biasa. Seluruh teman sekelasnya ricuh juga senang, terutama wali kelasnya, Ibu Narni. “Dika dipanggil lagi sama wali kelasnya,” kata Hesti saat tiba di bangkuku. “Gak samperin?” “Mungkin, bukan saatnya,” jawabku simple. Ya, biarkan Dika sendiri yang memberi tahu segalanya, aku bukanlah siapa-siapanya lagi. Gak berhak bagiku untuk ikut campur urusan pribadinya. Walau begitu, aku tetap penasaran dengan Dika. Saat pulang sekolah, kucoba mengikuti Dika diam-diam. Biasanya Dika pulang sama angkot atau pun motornya, namun kini ia jalan kaki menuju perumahan di belakang sekolah. Pergi mainkah? Ia tak pernah keluyuran setelah pulang sekolah, pikirku. Dika berhenti dan masuk ke sebuah rumah. Kos cowok? Apa…Dika main ke kos temannya? Aku mengendap-endap dari luar pagar melihat Dika masuk ke kos ini. “Zahra?” Waa, cerobohnya aku! Saat Dika memungut sepatu dan menjinjingnya masuk ke dalam, tak sengaja ia membalikkan badan dan melihatku yang ada di luar pagar. Ia menghampiriku. Tak ada alasan bagiku untuk kabur, ia telah melihatku dan memanggil namaku. “Ada apa? Jangan bilang kalau kamu…” “Ah, tadi ada bintang jatuh! Arahnya ke sini, tapi habis itu…” alasan bodoh!, kataku dalam hati. Duh, aku ngomong apa, sih? Mana ada bintang jatuh kelihatan di siang bolong begini?? “Aku gak tahu ke mana lagi,” gugupku. “Ha? Emang ada ya, bintang jatuh di siang hari?” Dika melongo ke atas, menatap langit siang ini begitu cerah. “Kalau gak bisa bohong, ya, gak usah bohong, Ra.” Dika tersenyum. Tak bisa berkata apa-apa, itulah gambaranku saat ini. “Kuceritakan semuanya, jika itu selalu mengganggumu.” Dika mengajakku ke kedai minuman sari kelapa dekat kosnya. Di sana, ia menceritakan segala permasalahan yang selama ini ia pendam. Masalah kedua orangtuanya, yang selalu mengganggunya hingga ia menjadi pendiam dan memutuskan untuk nge-kos "dengan uang tabungannya selama ini dan juga uang hasil kerja paruh waktunya. Aku mendengarkannya tanpa luput satupun kata-kata. “Andai, ada hal yang bisa kubantu,” ucapku. “Kuhargai itu. Tapi aku juga gak terlalu berharap, terimakasih.” Dika tersenyum dan tertawa kecil. “Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” gerutuku. “Gak, gak. Kamu itu emang gak berubah, ya, Ra. Selalu berpikir keras, mencari cara untuk membantu orang lain.” “Kamu itu bukan orang lain, tapi…” orang yang kusayang, kata itu yang terlintas dalam benakku, namun tak mungkin kukatakan. “Tapi temanku. Aku gak bisa diam lihat temanku dalam kesusahan.” “Ya, itulah dirimu. Itu yang membuatku…” yang membuatku suka ke kamu, andai kamu tahu itu. “Hm, Apa?” tanyaku penasaran. “Ah, tidak ada. Thank’s udah care sama aku.” Mendengar ucapan seperti itu, hatiku berdegub. Malu-malu ku jawab, “ah, never mind.” Tak lama, aku pun pamit pulang. Dika mengantarku sampai ke halte dekat sekolah. Saat itu, di halte sudah tak ada lagi siswa yang sekedar duduk-duduk di sana, hanya memperlambat pulang atau pun duduk berkelompok sambil bergosip ria. Ia menemaniku sampai aku naik angkot untuk pulang. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan kami. Aku melihat respon Dika yang tampak takut, mencoba membuang muka. “Dika!” panggil seorang wanita yang sudah berumur "namun bagiku ia tetap terlihat cantik, keluar dari mobil itu. Lalu diikuti oleh seorang laki-laki, mungkin suaminya. Aku melihat mereka yang tengah menghampiri kami, lalu Dika. “Siapa?” bisikku. “Ayah dan bundaku,” jawab Dika lemah. Hee? Spontan aja aku kaget. Beberapa menit lalu Dika menceritakan permasalahan keluarganya dan sekarang di depanku ada ayah dan ibunya. Ibunya Dika langsung duduk di samping Dika dan memegang kedua tangan anaknya dengan erat. Ia hampir menangis. Sedangkan ayahnya berdiri di depan kami semua. Dan aku menghindar beberapa jengkal. “Pulanglah, nak. Bunda merindukanmu...” Banyak untaian kata, walau terkadang ada kalimat yang terus terulang, sebuah pengakuan yang diberikan bundanya Dika dan juga disusul oleh ayahnya, membujuk Dika agar pulang. Dan mereka berjanji tak akan bertengkar lagi, janji yang terakhir dan akan ditepati untuk selamanya. Aku merasa, cerita yang kualami dan juga Dika agak serupa dengan alur cerita sinetron yang sering ditonton oleh ibuku tiap malam, walau sebenarnya aku tak suka menonton sinetron, apa pun itu tema dan ceritanya, termasuk para pelakunya sekaligus. Namun, saat hati Dika luluh melihat sang bunda menangis, memecahkan keegoan dalam diri dan membuka hatinya sekali lagi untuk kedua orangtuanya. Ia mengiyakan untuk pulang bersama ayah dan bundanya. Setelah suasana lebih tentram, barulah kedua orangtuanya merasakan kehadiranku. Mungkin mereka mengira aku adalah seorang penonton setia yang akan mengikuti alur cerita sampai happy ending. Saat itulah aku merasa aneh sendiri. Bunda Dika menanyakanku pada Dika, siapa aku ini. Tentu aku gugup, kikuk dan tak bisa bicara sepatah katapun. Dika melihat ke arahku, ia mengerti bahasaku yang tak mungkin bicara dalam suasana seperti saat ini. Ia menjawab dengan jawaban yang tak ku duga. “Namanya Zahra. Kekasih Dika.” “Eh?” kagetku. Kita udah putus, bukan? Kedua orangtua Dika terkejut, namun setelah itu mereka tersenyum padaku. Saking malu, Aku membalas senyuman mereka, senyuman kaku seperti bibir robot yang mencoba tersenyum. Saat itu aku bertambah salah tingkah. Setelah itu, hubungan Dika dengan kedua orangtuanya membaik, begitu pun antara ayah dan bundanya. Sedangkan denganku. . . ^__^ © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|