Chapter 2: PilihanA Chapter by Aga ALanaHaruhi harus menetapkan pilihan hatinya, antara pergi meninggalkan luka hati atau harus menghadapinya. Ia harus memilih!Seminggu berlalu. Dan aku membiarkannya berlalu. Jika semuanya menikmati masa-masa sebagai murid baru, bagiku tak terlalu. Setiap hari yang kupikirkan hanyalah basket, basket dan basket. Aku sendiri juga heran kenapa hanya basket yang ada dalam pikiranku. Lembar pendaftaran klub baru hingga hari ini tak ada yang ingin mengisinya. Hanya namaku. Ya, cuman namaku saja yang tertulis pada baris pertama. FUKUSHIMA HARUHI, I-C. Besok hari Minggu. Sudah tak ada lagi kesempatan. Apa aku harus mengucapkan ‘selamat tinggal basket?’
Kring-kring-kring... Alarm pagi ini sangat bersemangat membangunkanku yang malas beranjak dari kasur. Cahaya pagi matahari masuk ke kamar melewati celah-celah gorden jendela. Suara ibu membangunkanku terdengar sayup-sayup dari luar kamar. Terpaksa aku harus bangun. Terpaksa? “Sudah sarapan?” tanya ibu padaku. Aku menggeleng. “Mika-ne mana, bu?” “Kakakmu itu, baru seminggu sekolah sudah disibukkan dengan kegiatan klubnya.” “Ooh..” O, iya, kenapa aku lupa. Minggu pertama ini, kata Mika-ne, klubnya akan sibuk dari pagi hingga sore karena pengenalan para senpai dengan murid baru di klubnya, latihan, pengenalan klub dan sebagainya. Huft, kayaknya hanya aku yang gak ada kegiatan sama sekali di hari libur ini. Aku kembali ke dalam untuk sarapan, beberapa lembar roti dan segelas susu coklat hangat. Setelah itu aku kembali ke kamar, mengganti baju dan celana untuk marathon pagi mengelilingi kompleks perumahan. Saat akan meninggalkan kamar, bola basket yang ada di sudut ruangan tampak kusam dan berabu. Tinggalkan saja, pikirku. Kututup pintu kamar, namun tak beranjak sama sekali di depan kamarku sendiri. “Sial!” umpatku kembali ke kamar mengambil bola kesayanganku dari kelas satu SMP. Aku pamit pergi marathon pada ibuku yang masih bermain dengan tanamannya. Ibuku memang menyukai tanaman hias hingga aku maupun Mika-ne tak dibolehkan memelihara binatang karena takut akan merusak tanaman kesayangannya. Seperti biasa, dribble sambil berlari kecil sampai pada lapangan basket yang ada di sekitar daerah perumahan ini. Sedikit pemanasan, dribble beberapa kali lalu melempar bola ke keranjang. Hal itu kuulangi terus hingga aku puas, namun pada dasarnya aku tak akan pernah puas dengan apa yang ada dalam diriku. Aku hanya seorang copier. Ciiiiitt... Suara sepeda berhenti. Kulihat seorang gadis bertopi dengan sepedanya berhenti di luar lapangan. Ia tersenyum padaku, kubalas senyumannya. Ia turun dari sepedanya menghampiriku. “One on one!” tantangnya padaku dengan menunjukkan telunjuknya. Kulempar bola padanya, ia melemparkannya kembali padaku. Lalu kuberikan lagi padanya, ia men-dribble bola dan mencoba melewatiku. Aku tahu ia juga suka bermain basket, namun ia amatir dalam permainan ini hingga dengan mudah kurebut bola darinya dan memasukkan bola ke ring. “Apa kamu akan kembali bermain basket, Haruhi-chan?” tanya Yuko padaku. Aku berhenti men-dribble bola. Kupeluk bola basket itu erat-erat. Kediamanku membuat Yuko tak enak hati. “Ah, andai saja aku juga masuk Seirin! Pasti bakal sekelas sama kamu. Nee, Haruhi-chan, ceritain dong SMA Seirin itu seperti apa? Aku penasaran, lho!” Ia mengalihkan pembicaraannya. Aku mencoba tersenyum di depannya. Rasanya tak enak merasa sedih di depan teman yang satu-satunya ada untukku. Aku kenal Yuko sejak sekolah dasar. Namun saat memilih SMP, kami berbeda hingga SMA pun kami tak satu sekolah. Hanya di sini kami bisa bertemu, di lapangan basket sambil menceritakan sekolah dan teman masing-masing. “Aku tahu kalau di Seirin tak ada klub basket perempuan,” kataku dengan nada sedikit datar. Yuko sedikit kaget mendengarnya. “Aku malah berusaha membuat tim basket perempuan dari nol seorang diri. Bodohnya aku yang masih mengharapkan basket padahal aku telah menyerah dengan "" ” “Menyerah?” potong Yuko. “Menurutku, kamu masih menyukai basket, masih bermain basket di depanku bukanlah suatu kepasrahan! Kalau kamu menyerah seharusnya kamu tinggalkan basket dan buang bolamu itu!” Tiba-tiba saja Yuko marah padaku. Kaget, tentu saja karena ia tak pernah berkata seperti itu padaku sebelumnya. Bahkan ia tak pernah kesal saat kujahili. “Walau begitu... perasaanmu pada basket tak akan pernah terbuang, bukan? Ia akan tumbuh dan terus tumbuh hingga menyesakkan hati. Pasti sakit jika ditahan. Aku tahu perasaan itu, Haruhi-chan.” Aah? Kata-kata yang sangat dewasa begitu saja keluar dari mulut teman sebayaku. Apa benar ia seumuran denganku. Jujur aku kaget. Aku tak percaya dengan sikapnya yang mulai dewasa, namun. . . aku percaya dengan kata-katanya. Seulas senyum terbentuk di wajahku. “Yah, kamu benar, Yuko-chan. Arigatou![1]” “Hmm!” ia membalasnya dengan senyum simpulnya. “Oh, iya, di Seirin ‘kan ada tim basket. Katanya tak kalah hebat dengan tim basket yang lain, lho! Contohnya saja tim basket SMA Seiho.” Dan entah kenapa ia mulai bersemangat kembali dengan topik basket. “Ya, aku tahu itu,” balasku lemas. “Kenapa kamu tidak pura-pura saja jadi laki-laki lalu masuk tim basket. . . itai![2]” Kupukul kepalanya yang berisi ide yang gak masuk akal itu. “Gak lucu!” “He..eh maaf, maaf,” sesalnya walau ia masih tertawa kecil. Yuko sangat suka membuat candaan walau aslinya ia sangat pemalu. Setelah letih bermain kami pun pulang bersama jalan kaki. Yuko mengiringi sepedanya. Dalam perjalanan kami masih menceritakan sekolah kami masing-masing. Mulai dari teman satu kelas, teman yang paling dekat dalam seminggu ini, guru-guru dan juga pasti kegiatan ekstrakurikuler apa saja yang ada. Sedikit terpikir olehku ingin masuk klub bulu tangkis kakakku tapi aku masih ragu. Walau aku dijuluki copier, selain basket aku tak bisa. Lain halnya dengan Yuko. Aku masih bingung dengan kemampuan yang ia miliki. Jika ia terfokus pada satu hal, ia akan mempelajarinya dan menguasai kemampuan itu, baik dalam belajar maupun olahraga. Namun ia tak begitu menonjol dalam pergaulan. Ia akan terbuka hanya kepada orang-orang yang mengenal akrab dengannya. Di persimpangan kami berpisah ke rumah masing-masing. Aku kembali ke rumah pas di saat ibu memintaku pergi ke minimarket. Dengan senyum khasnya membujukku agar mau pergi berbelanja karena cuman aku yang ada dirumah.
“Telur, tepung, shoyu[3], shungiku[4], mie kering, udang, teriyaki, nori, aonori, wakame[5], hah, kenapa jadi banyak begini?” Haruhi membaca catatan belanjaan yang diberikan ibunya sambil mencari yang tertulis pada catatan itu. Ia memang sering disuruh ibunya untuk berbelanja daripada kakaknya tapi untuk kali ini ia harus berbelanja lebih banyak dari yang biasa. Padahal mereka tinggal hanya bertiga, lagipula antara Haruhi maupun kakaknya tak ada yang hobi ngemil makanan ringan. Mereka makan selalu dengan porsi yang sesuai dan seimbang "mungkin karena kebiasaan seorang atlet yang menjaga fisik terutama kesehatan. Tak disangka keluar dari minimarket Haruhi telah membawa dua kantong besar. Ia sendiri juga kaget saat berbelanja, ternyata catatan belanja yang diberikan ibunya penuh dari depan ke belakang. Awalnya ia telah belanja dengan apa yang dicatat di depan, tanpa sadar saat membalikkan catatan itu ternyata masih ada lagi yang harus ia beli. Haruhi tertawa sambil memukul kepalanya, “Haha... pantas saja uang yang diberi ibu banyak berlebih. Kupikir bisa diminta sedikit ternyata. . . aku terlalu berharap,” mimik wajahnya berubah sedih. Ia pun berpikir rasanya setiap belanja, uang yang diberikan ibunya tak akan berlebih banyak "paling hanya untuk membeli minuman kaleng, karena mereka hanya hidup dari uang pensiunan ayah mereka yang telah tiada dan ditambah dengan menjual tanaman hias, hanya itu yang bisa dilakukan ibunya. Seperti biasa sebelum pulang, Haruhi duduk sebentar di sebuah taman kecil. Ia membeli minuman kaleng dari mesin yang tak jauh dari taman itu, lalu duduk di bangku panjang. “Nya~n...” Haruhi mendengar suara kucing. Ia melihat kiri-kanan, tak ada kucing di sekitar taman itu. Namun suara kucing itu makin terdengar jelas dan... “Huwa! Kucing nakal, jangan masuk ke kantong belanjaan!” kaget Haruhi saat melihat kucing putih itu mencoba mencongkel bungkusan daging sapi yang ada dalam kantong belanjaannya. Haruhi mengangkat kucing itu lalu mendudukkannya kepangkuannya. Ia mengambil snack dalam kantong belanjaannya, membukanya lalu memberikan beberapa potong pada kucing itu. Snack berasa seafood itu tentu saja mengundang selera kucing nakal itu dan dimakannya lahap. Haruhi pikir kucing itu hanya kucing jalanan namun ternyata kucing itu memiliki kalung dan ada hiasan terukir tulisan ‘DAIKI’. Mungkin itu namanya, pikir Haruhi saat melihat kalung itu lebih dekat. “Nama yang bagus, Daiki-kun,” kata Haruhi sambil mengelus kucing yang masih makan itu. Herannya, jika ia kucing peliharaan tak biasa langsung akrab dengan orang selain pemiliknya. Apa karena ia tersesat dan lapar? Kucing putih itu sangat jinak pada Haruhi. Dengan mata memintanya ia merayu Haruhi untuk memberikannya kembali snack yang masih dipegangnya. Haruhi memberinya kembali. “Daiki! Daiki!” Dari jauh seorang gadis sedang memanggil "atau lebih tepatnya mencari yang bernama Daiki. Haruhi mendengar panggilan gadis tersebut dan kemungkinan apa yang ia cari ada padanya. “Nee!” dari jauh Haruhi mencoba memanggil gadis itu dan melambaikan tangan sambil memeluk kucing putih itu. Gadis itu melihat Haruhi walau sebenarnya ia tak mendengar sorakan Haruhi. Namun sesaat setelah ia lihat apa yang ia pegang, gadis itu langsung berlari ke arah Haruhi sambil menitikkan air mata senang. “DAIKI!!!” Gadis itu langsung mengambil kucing itu dari Haruhi. Ia sangat senang bertemu dengan kucing yang ia cari. Begitu pula sebaliknya dengan kucing kecil itu. “Kamu udah bertemu dengan majikanmu, yokatta nee[6], Daiki-kun!” kata Haruhi senang. Gadis itu melihat Haruhi. Barulah ia merasa segan dengan sikapnya yang tiba-tiba datang lalu merebut kucing itu tanpa mengucapkan terimakasihnya. “A...ano... A..arigatou gozaimasu!” Dengan kegagapan dan rasa malu ia mengucapkan terimakasih pada Haruhi sambil menunduk menyesal. “Aa.. iie. Lagi pula kucing itu yang mendekatiku, bukan aku yang menemukannya,” balas Haruhi segan. Gadis itu menggeleng, “Iie! Justru karena itu aku berterimakasih. Tak masalah, yang penting Daiki sudah kutemukan,” senang gadis itu mengelus kepala kucingnya. “Lagipula, Daiki yang nakal! Pergi tanpa sepengetahuanku.” Ia menjitak lunak kepala kucingnya. “Waah, jadi kamu nakal, ya, Daiki-kun!” Haruhi ikut mengelus Daiki gemas. “Oh, iya! Aku Asuna, Tsuchimiya Asuna.” Pemilik kucing itu akhirnya memperkenalkan dirinya pada Haruhi. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada sebagai perkenalan. Haruhi agak bingung dengan sikapnya Asuna yang bisa dibilang ‘tidak seperti orang Jepang’ karena menurutnya perkenalan sambil bersalaman adalah gaya kebaratan "setidaknya orang Jepang tak akan dengan mudah mengulurkan tangan sebagai perkenalan. Agak ragu namun Haruhi tetap membalas jabatan tangan Asuna. “Aku Fukushima Haruhi. Salam kenal, Tsuchimiya-san.” Asuna kembali menggeleng. “Panggil Asuna saja.” “Ha.. hai’,” jawab haruhi gugup. “Kalau gitu aku panggil kamu Haruhi, ya! May I?” kata Asuna ringan. “Y..ya, terserah Tsu... mm... Asuna-san.” Asuna tersenyum. Sebenarnya ia sedikit tertawa dengan tingkah Haruhi yang malu karena hanya dipanggil nama kecilnya. Yah, memang seharusnya seperti itu bukan, orang Jepang? “Hmm... Haruhi, kamu tinggal di mana? Sepertinya belanjaan kamu cukup berat. Kuantar pulang, ya?” “Eh?” Kaget. Orang yang baru ia temui langsung saja membantu tanpa basa-basi. Haruhi agak curiga tapi dilihat dari tatapan wajah Asuna taklah mencurigakan seperti apa yang ia pikirkan. Haruhi akan menjawab untuk menolak tawaran Asuna tapi ia dicengangkan dengan kedatangan seorang pria berbadan besar dan berjas rapi juga memakai kacamata hitam. Orang itu menyapa Asuna dengan panggilan Oujo-sama[7], hal itu menambah kekagetan Haruhi. Ternyata dia adalah bodyguard-nya Asuna. Asuna menyuruhnya membawa barang belanjaannya Haruhi masuk dalam mobil sedangkan ia sendiri menarik dengan riang Haruhi ke mobilnya. Haruhi sendiri saking kaget ia tak bisa bicara apa pun dan hanya menurut. Dalam perjalanan, mereka berdua saling bercerita tentang diri mereka masing-masing. Ternyata Asuna setahun lebih tua dari Haruhi dan ia baru tiba di Jepang kemarin. Dan ia ingin berkeliling seharian ditemani oleh bodyguard-nya karena ia tak diperbolehkan jalan sendirian. Dan selama ini ia besar dan bersekolah di Amerika, tapi penampilannya tak terlihat kebarat-baratan. Baju yang ia kenakan sangat sopan dan rambut hitam panjang tanpa pewarna, benar-benar menggambarkan kesan ‘oujo-sama’ yang sebenarnya. “Wah, jadi kamu atlet basketball?” kagum Asuna. “Daripada atlet, lebih enak dibilang pemain. Tapi... itu sewaktu aku SMP, sekarang sudah tidak lagi.” “Sayang, ya. Padahal aku ingin lihat kamu main, lho! Perempuan main basket sangat jarang kutemui. Kenapa di SMA kamu gak main?” “E...eto... karena aku cidera,” jawab Haruhi terpaksa. “Apa parah?” cemas Asuna. “Ti..tidak juga. Tapi kalau dipaksakan gak bisa.” “Hmm, gitu, ya? Sayang, ya,” sesal Asuna. Tak begitu lama setelah percakapan itu, Haruhi mengarahkan supir untuk berhenti di depan rumahnya. Asuna menyuruh bodyguard-nya kembali untuk membantu Haruhi mengeluarkan barang belanjaannya. Haruhi keluar dari mobil Asuna lalu menunduk mengucapkan rasa terimakasihnya atas tumpangan yang diberikan padanya. “”Tidak mampir dulu ke rumahku?” tawar Haruhi. “Hm, tak perlu, tapi kapan-kapan jika aku ingin main ke rumahmu akan kuhubungi. Ayo Daiki, da-da ke Haruhi-chan.” Asuna memegang kaki kanan depan kucingnya lalu menggerakkannya seolah-olah kucing itu melambaikan tangan pada Haruhi. Haruhi membalas lambaian tangan Daiki lalu mengelus kucing itu. “Kalau cideramu sudah sembuh, janji bakal main basket, ya! Setidaknya di depanku. Memang cidera di hati sangat sulit diobati. Semangat, ya!” Eh? Asuna menyuruh sopirnya untuk menghidupkan mesin mobil dan pergi. Sebelum itu ia menunduk sedikit ke arah Haruhi. Ia memberikan senyuman perpisahan pada teman pertama yang ia dapat di Jepang, lalu menutup kaca jendela mobil. Mereka pun berlalu dengan kediaman Haruhi. Cidera hati? Haruhi kaget dengan apa yang Asuna katakan. Karena Asuna tahu kalau cidera yang dikatakan Haruhi bukanlah cidera fisik. Ibu Haruhi keluar dari rumah karena dari dalam ia mendengar suara mobil yang singgah di depan rumahnya. Namun saat tiba di luar, yang ia lihat hanya ada Haruhi yang terdiam. “Haru-chan?” panggil ibu. Haruhi menoleh ke arah ibunya. Ia menjinjing barang belanjaan ke dalam rumah. “Mobil tadi...?” “Ah, itu tadi seorang teman mengantarkanku pulang. Ia kasihan melihatku membawa barang sebanyak ini,” katanya sedikit tertawa. Jawaban Haruhi membuat hati ibunya lega. Awalnya ia sempat berpikir yang tidak-tidak. “Maaf ya, nak, harus menyuruhmu membawa barang sebanyak ini.” Haruhi menggeleng. Ia sama sekali tak keberatan. “Oh iya, Mika-ne masih belum pulang, ya?” “Belum. Jadi, Haruhi-chan, selagi ibu masak, tolong beres-beres, ya. Yoroshiku onegai nee~[8].” “Padahal baru aja pulang. Mika-ne, zuruii[9]!!” kesal Haruhi. Di ruang klub bulu tangkis, Mika yang sedang duduk bersama teman-temannya tiba-tiba saja bersin bersuara sedikit keras. Dan itu membuatnya sangat malu apalagi ada seniornya di sana. “Apa kamu kena demam?” tanya salah seorang temannya memberikan tisu. “Ah, sepertinya ada seseorang yang membicarakanku,” jawab Mika sedikit kesal dengan bersinnya sendiri.
*** “Haruhi, kenapa tidak kamu gabung di klub kakak? Atau kamu juga bisa jadi manajer di sini,” tawar Mika pada Haruhi saat mereka berdua berada dalam ruang klub bulu tangkis. “Entahlah, ne-chan,” bingungnya. Haruhi melihat beberapa piala dan piagam serta medali yang terpajang di lemari kaca serta foto-foto kemenangan dan juga orang-orang yang bergabung di klub tersebut. Ia tersenyum saat melihat foto kemenangan Mika dan medali emas yang ia genggam dalam foto itu. Mika agak segan melihatkan semua itu pada Haruhi yang baginya saat itu adalah waktu yang tak pas memperlihatkan apa yang ia raih dengan kondisi adiknya yang seperti ini. “Setidaknya kamu anak yang pintar. Tak harus memperoleh prestasi dari olahraga, bukan?” hibur Mika walau ia rasa katanya itu tak lah mempan. “Ne-chan,” panggil Haruhi. “Sepertinya...jadi manajer bukanlah hal yang buruk!” kata Haruhi ceria. “Eh?” Mika bingung namun menatap Haruhi dengan penuh harapan. [1] Terimakasih. [2] Sakit! [3] Kecap asin [4] Daun krisan [5] Macam-macam bahan makanan tumbuhan laut [6] Syukurlah [7] Sebutan gadis bagsawan [8] Mohon bantuannya, ya. [9] Curang! © 2014 Aga ALanaAuthor's Note
|
Stats
371 Views
Added on September 26, 2014 Last Updated on September 26, 2014 Tags: fanfiction, sport, teen, comedy AuthorAga ALanaPadang, Padang, IndonesiaAboutHi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..Writing
|